Mencari tempat makan atau kuliner malam di Jogja itu tidak sulit. Sego Koyor Bu Parman salah satunya. Sejak tahun 1968, warung ini buka jelang tengah malam. Awalnya hanya warung makan biasa, sampai kemudian muncul menu koyor atau otot sapi yang justru jadi primadona warung ini.
***
Saya melihat piring di atas meja, tempat orang yang duduk di kursi Warung Sego Koyor Bu Parman itu tandas tak bersisa. Saya menyapanya. Namanya, Budi (51), seorang karyawan sebuah peternakan ayam di Sidoarjo, Jawa Timur. Duduk di sebelahnya, Angga (30) piringnya masih menyisakan nasi yang beberapa suap terakhir ikut tandas juga.
Saat saya tanya gimana rasa menu koyor yang ia makan, Budi mengacungkan dua jempolnya. Ia masih menahan pedas dari makanannya. “Ueenaaak!” katanya. Budi kemudian bercerita, sebagai orang Jawa Timur yang identik lebih suka rasa gurih asin, menu sego koyor memang terasa lebih manis. Karena itu ia kemudian mengambil sambal agak banyak agar koyor yang ia makan rasanya menjadi seimbang. Nggak kemanisan.
“Tapi ini memang enak. Koyornya empuk,” kata Budi meyakinkan.
Angga tersenyum, nggak sia-sia ia mengajak Budi untuk makan di Sego Koyor Bu Parman. Setiap ada teman yang datang dari luar kota, Sego Koyor Bu Parman ada dalam list-nya untuk mengajak teman makan tengah malam.
“Sampai saat ini, semua teman dari luar daerah yang saya bawa ke sini pasti puas. Kata mereka selain enak, juga unik,” kata Angga.
Koyor sendiri adalah otot sapi atau urat sapi yang biasanya menempel pada daging serta tulang punggung dan lutut sapi. Kalau tidak tahu teknik memasaknya, koyor atau otot sapi ini benar-benar mengajak adu otot. Tentu saja adu otot yang dimaksud adalah antara otot dimulut orang yang memakannya dan koyor sapi.
Bermula dari sebuah warung makan di terminal
Warung Sego Koyor Bu Parman awalnya adalah warung makan di terminal Yogyakarta. Saat itu terminal pertama di Kota Yogyakarta berada di kawasan loji kecil di belakang Benteng Vrederburg atau tak jauh dari Jalan Sriwedani. Di sinilah warung makan kecil ini berdiri pada tahun 1968.
“Dulu itu simbah (Bu Parman) jualannya itu sayur terik dan brongkos,” kata Andung. Saat itu, anak Bu Parman yang bernama Suparti meminta untuk menambahkan koyor dalam menu terik, bukan daging seperti pada umumnya. Ternyata menu koyoran justru lebih disukai oleh para pelanggan.
“Bu Suparti itu ibu saya, anak sulungnya Bu Parman,” kata Andung. Saat itu menurut Andung, warung neneknya memang buka khusus di malam hari. Tidak ada alasan pasti, yang jelas memang untuk memenuhi kebutuhan makan pekerja malam di sekitar terminal. Apalagi dulu di sekitar itu juga ada Pasar Sriwedani.
Sekitar awal tahun 1970-an, terminal pindah di sekitaran Taman Hiburan Rakyat (THR) atau Jalan Brigjend Katamso (dulunya Jalan Kintelan).
Sego Koyor Bu Parman ikut pindah. Tahun 1980-an, karena sudah tidak bisa menampung kendaraan, terminal di tempat itu kembali pindah ke Umbulharjo. Namun, Bu Parman memilih tetap jualan di kawasan Brigjend Katamso, di depan sebuah bengkel motor.
“Simbah memutuskan untuk tidak ikut pindah, tetap jualan di sini. Bukanya juga tetap malam hari,” ujar Andung yang malam itu berjaga bersama istrinya. Ibunya, Bu Suparti masih dalam perjalanan dari rumah mereka di kawasan Prawirodirjan, nggak jauh dari lokasi mereka jualan.
Jam buka Sego Koyor Bu Parman setiap hari mulai pukul 22.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB. Setidaknya dalam rentang waktu itu, dua panci besar koyor dan tulang lunak habis. Satu panci berisi sekitar 10 kilogram koyor dan tulang lunak. Bahkan kadang mereka harus memasak nasi 3 hingga 4 kali dalam semalam karena banyaknya pengunjung yang datang atau sekadar membeli untuk dibungkus.
Cara masak yang benar dan bumbu rahasia
Soal bumbu koyor, Andung mengatakan sebenarnya sama seperti bumbu pada umumnya. Hanya saja, keistimewaan koyor dan tulang lunak tersebut ada pada cara memasaknya. “Tidak semua orang bisa mengolah koyor. Kalau salah, malah jadi alot. Selain itu memang ada resep rahasianya,” kata Andung tersenyum.
Kalau sudah alot, maka adu kuat antara otot sapi dan otot mulut bisa saja dimenangkan oleh otot sapi atau koyor. Saya beberapa kali mengalami ini di rumah makan yang menyajikan menu kikil dan otot sapi. Rasanya sayang kalau membiarkan kikil dan otot sapi nggak bisa dimakan.
Di tempat Bu Parman, otot sapi atau koyor tidak bersanding dengan kikil, tapi dengan tulang lunak sapi. Ketika menggigitnya ada sensasi empuk sekaligus ‘renyah’. Adu otot tak perlu ngoyo karena koyor Bu Parman mudah dikunyah.
Sego Koyor Bu Parman juga menyediakan lauk tambahan. Ada ayam goreng, telur, tahu, juga irisan babat. Seporsi sego koyor, dihargai Rp17.000, kalau tambah potongan babat jadi Rp25.000.
Sejak Bu Parman meninggal tahun 2011, usaha Sego Koyor Bu Parman dikelola oleh anak-anaknya. Bu Suparti, ibu Andung sebagai anak sulung dan orang yang dituangkan memegang kendali. Ia dibantu oleh adiknya secara bergantian. Sedang Andung, sudah sejak remaja mendapat tugas untuk menyiapakan warung serta merapikan warung usai jualan.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA: Warung Es Puter Pak Sumijan Lasem: Kemewahan di Balik Uang Rp5 Ribu