Gerjen, nama lawas satu ruas jalan yang terletak tak jauh dari Malioboro dan Keraton Yogyakarta. Konon, nama Gerjen berasal dari gerji, dalam bahasa Jawa memiliki arti penjahit. Dulu, lokasi ini merupakan pemukiman para abdi dalem penjahit keraton. Kini, walau namanya telah berubah, warung Es Buah Gerjen Pak Lantip tetap bertahan di kawasan itu sejak tahun 1985.
***
Gerobak itu berwarna putih cokelat, terletak di pinggir Jl. Nyai Ahmad Dahlan dan sangat dekat dengan perempatan Gapura Plengkung Ngasem. Paling-paling hanya berjarak 200 meter ke arah utara. Dari seberang jalan, terlihat toples-toples kaca yang penuh dengan berbagai buah terjejer rapi. Seorang wanita menyambut saya yang sudah berdiri di depan gerobak. Ia tersenyum ramah, menampilkan garis-garis halus di wajah.
Namanya Sulastri (58), perempuan asal Wonosari yang sudah lama menetap di kota Yogyakarta setelah menikah. Sejak beberapa tahun belakangan, perempuan inilah yang berada di balik Es Buah Gerjen Pak Lantip, menggantikan mendiang suaminya.
Ia tak ingat betul kapan awal mula suaminya mulai berjualan keliling menjajakan es buah. Sebelum memiliki lokasi tetap, Pak Lantip setiap hari berkeliling sambil mendorong gerobak kesana-kemari demi mencari pembeli. Jika hari menjelang siang, beliau sering berhenti di depan Pasar Pathuk, Yogyakarta. Berharap dapat mengumpulkan banyak pengunjung di kawasan perbelanjaan yang ramai itu.
“Almarhum Pak Lantip udah jualan sejak bujang, sebelum ketemu saya dia sudah jualan es buah,” ujar Sulastri tersenyum tipis (2/10), tatapannya tak lepas dari sesendok kolang kaling yang sedang dituangkan ke dalam mangkuk.
Baru pada tahun 1985, Pak Lantip memutuskan untuk tidak berkeliling lagi. Ia menyewa lokasi di pinggir jalan yang berjarak sekitar 300 meter dari tempat saya berdiri. “Setelah itu kami pindah ke sini karena tempat lama sudah dibikin toko,” ucap Sulastri, sekarang tangannya telah berganti memegang pisau untuk memotong kecil-kecil buah sawo.
Meneruskan usaha mendiang suami
Saat saya datang, Es Buah Pak Lantip sedang ramai pelanggan. Walau tak sampai menimbulkan antrean panjang, tapi cukup membuat tangan Sulastri tak berhenti bergerak karena harus meraciknya satu per satu. Semangkuk es buah ini terdiri dari beraneka macam isian seperti kolang-kaling, sawo, alpukat, melon, cincau, dan tape singkong. Semuanya dicampur dengan sirup racikan sendiri.
Ada yang berwarna coklat alias sirup gula jawa, serta ada yang berwarna merah muda alias sirup gula biasa diberi pewarna merah supaya menggugah selera.
Bila datang kemari juga jangan membayangkan akan menikmati es buah sambil duduk di kursi dan meja kecil sebagai tempat menaruh mangkuk. Es Buah Gerjen Pak Lantip tidak menyediakan kursi ataupun meja. Para pelanggan dengan bebas memilih tempat duduk masing-masing, bisa di emperan toko sebelah, emperan toko seberang, ataupun numpang di tangga-tangga kecil milik tetangga sebelah. Bagi saya, inilah yang membuat Es Buah Gerjen Pak Lantip menarik!
Saya mengamati Sulastri lekat-lekat. Di usianya yang tak lagi muda, ia masih cekatan mengantar mangkuk demi mangkuk ke para pelanggan yang duduk. Jika dulu Sulastri yang membantu dan menemani Pak Lantip. Sekarang, Sulastri harus melakukan segala sesuatunya sendiri.
“Sudah beberapa tahun ini, kadang ada anak atau keponakan yang membantu,” ucapnya. Suaminya, Pak Lantip, meninggal sekitar 4 tahun lalu.
Setiap menjelang subuh, ia bangun. Mempersiapkan segala keperluan untuk berjualan. Setiap bahan ia masukan ke wadah-wadah untuk dibawa. Sirup, tape, kelapa, kolang-kaling, cincau, serta tak lupa buah-buahan segar yang sudah ia beli dari penjual langganan. “Beresin rumah juga, setelah itu baru berangkat kesini,” ujar Sulastri. Pokoknya, pukul 10 pagi ia dan gerobak es buahnya sudah siap untuk buka.
Bagi Sulastri, menjadi seorang penjual memiliki nasib yang tidak tentu. Kadang berada di bawah, kadang berada di atas. Walaupun buka setiap hari dan es buahnya sudah cukup terkenal, Sulastri kerap pulang dengan dagangan yang masih sisa. Apalagi, menjadi penjual es sangat bergantung pada kondisi cuaca.
Seperti kemarin, saat dagangannya masih, langit tiba-tiba gelap. Rintikan hujan mulai turun. Mau tak mau, Sulastri akhirnya memutuskan untuk pulang lebih awal. Sebab, saat hujan turun dan udara semakin dingin, ia tahu, kemungkinan kecil orang akan mampir untuk membeli es nya.
“Kalau panas gini ya rame. Tapi kalau hujan, boro-boro orang pada beli es,” Sulastri tersenyum lebar. Meski demikian, ia tetap bersyukur. Setidaknya, es buah warisan suaminya lebih sering ramai dibanding sepi. Satu tekad dalam diri Sulastri, ia ingin meneruskan usaha milik suaminya ini menjadi usaha yang dapat diwariskan kepada anak-anak, bahkan cucunya.
Sirup gula jawa dan harga 250 perak
Terhitung sudah 37 tahun Es Buah Pak Lantip berdiri. Kenaikan harga bahan-bahan sudah khatam dialami mendiang Pak Lantip dan Sulastri. Namun, keduanya dulu tak pernah ambil pusing. Bagi mereka, penyesuaian harga tetap perlu dilakukan, agar tak rugi.
“Dulu awal jualan, sempet harganya cuma 250 rupiah. Terus naik jadi 750 rupiah, 1000, 1.200,” ucapnya terkekeh.
Lalu, pada tahun ini, Sulastri mantap membuat harga semangkuk es buah gerjen menjadi 10.000 rupiah, setelah beberapa tahun lalu hanya seharga 8.000-9.000 rupiah. Ia berharap, kenaikan harga ini sudah dianggap maklum oleh para pelanggan.
“Tapi, harga sepuluh ribu ini udah mentok, paling cocok. Nggak pengen naikin lagi,” ujar Sulastri, sambil tangannya tetap meracik es buah.
Semakin siang, perempuan itu tampak makin sibuk meladeni para pelanggan yang bergantian datang. Dibantu anak sulungnya, mereka melakukan bagi tugas. Sulastri biasanya yang akan memotong-motong buah yang sudah mulai habis stok dan meracik isian es buah ke dalam mangkok-mangkok. Sedangkan, anak Sulastri akan menyerut bongkahan es batu.
Beginilah, es buah gerjen Pak Lantip. Mereka tidak menggunakan potongan es batu, melainkan masih mempertahankan serutan es batu. Saya mengamati lekat-lekat putri sulung Pak Lantip yang sedang menyerut es batu, membantu ibunya.
Ia perempuan, namun dengan kuat mengangkat bongkahan demi bongkahan es batu ke atas papan kayu yang terdapat celah dan mata pisau di tengahnya. Tangan kirinya menahan sebuah balok es batu, menggesernya ke depan-belakang secara berulang. Sambil, tangan sebelah kanan memegang mangkuk di bawah papan, tempat serutan es batu mulai keluar.
Pemandangan yang semakin sibuk itu, membuat saya memutuskan untuk ikut memesan satu porsi es buah saja. Tentu, dengan pilihan sirup yang menurut saya menarik, sirup gula jawa. Setelah menuangkan sirup gula jawa, rupanya Sulastri juga menambahkan susu kental manis rasa cokelat di atasnya. Saya agak ragu, takut kemanisan.
“Gimana rasanya, Mbak?” rupanya Sulastri melirik saya yang mulai memasukan sesendok es serut yang telah tercampur sirup dan susu.
“Enak,Bu. Seger,” ucap saya cengengesan, sambil menyuap sendok berikutnya. Ternyata, firasat saya salah. Campuran susu kental manis dengan gula jawa nyatanya tidak terlalu buruk, tentu juga tak kemanisan. Cocok di mulut saya.
Sulastri tersenyum lebar, ia kembali ke pekerjaannya dan saya sibuk dengan mangkuk di hadapan saya. Walau serutan es batu tampak banyak, rupanya es batu tersebut akan cepat sekali mencair. Membuat tumpah-tumpah jika tak segera habis. Mulai hari ini, menyantap Es Buah Gerjen Pak Lantip di pinggir jalan, jadi satu hal favorit saya untuk menghabiskan waktu sendiri di hari Minggu.
Reporter: Rahma Ayu Nabila
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Kronyos Mak Adi dan Iqbaal Ramadhan yang Membuatnya Laris