Orang-orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, termasuk Jepang, sering kali dianggap kaya raya. Tak heran mereka jadi jujugan utang teman-teman atau tetangganya. Padahal di balik gaji tinggi mereka, ada banyak hal yang mereka korbankan.
Mojok bertemu dengan dua orang buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Jepang. Mereka blak-blakan cerita tentang bagaimana mereka bisa bekerja di Jepang, bertahan hidup dengan sistem kerja di negara tersebut hingga tetangga julid yang menuduh mereka menggunakan pesugihan.
***
Anis Tri Utami (22), gadis asal Sleman memutuskan berangkat ke Jepang untuk bekerja pada 2020 lalu. Setahun menyelesaikan masa kontrak, ia kembali ke kampung halamannya. Tak dimungkiri, ia memutuskan bekerja di Jepang karena alasan ekonomi.
“Temenku dulu rumahnya nggak layak huni, tapi sekarang jadi megah. Punya mobil, motornya juga banyak. Ada juga yang langsung punya usaha ternak ikan terus kaya banget. Jadi keren,” tuturnya.
Bagi Anis, Jepang juga memiliki keistimewaan tersendiri. Negeri Sakura ini adalah lokasi pelarian terjauh yang bisa ia pilih. Ada tetangganya yang biasa mencari para lulusan SMA/SMK untuk diberangkatkan ke Jepang. Dirinya turut mendapatkan tawaran yang sama.
“Waktu SMK aku merasa salah jurusan. Di situ aku semakin yakin kalau nggak ada harapan. Jadi, aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari Indonesia. Aku nggak siap liat teman-teman lain jadi mahasiswa. Sedangkan aku, harus kerja atau nguli di sini,” keluh perempuan asal Sleman ini.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini mengatakan jika sejujurnya ia adalah sosok yang manja. Namun, membuat orang tuanya harus membiayai kuliah bukanlah sebuah pilihan. Ongkos pendidikan SMK sudah cukup membuat ibu-bapaknya terbebani.
“Dulu aku taunya kalau kuliah gratis itu harus pakai kartu keluarga miskin dan aku nggak punya. Aku itu pengen membantu dan nggak nambahi beban orang tua. Jadi, aku pergi aja,” katanya.
Kala kembali pada Januari 2021 lalu, ia berhasil memperbaiki kondisi rumah orang tuanya, membeli motor, dan HP secara tunai. Sayangnya, para tetangga justru menuduhnya memiliki pesugihan.
“Aku dikatain melihara tuyul, pekok ncenan. Padahal yang ngatain punya rumah tingkat dan mobilnya tiga. Ini jadi desas-desus tetangga,” ucapnya sembari tertawa. Tahun ini Anis juga sedang menyiapkan diri untuk berangkat ke Jepang. Kali ini, bukan hanya kontrak satu tahun, tapi untuk lima tahun.
Saya juga berbincang dengan Susanto (30 pemuda asal Klaten yang pada 2019 lalu, baru kembali dari Jepang sebagai pekerja magang. Susanto mengatakan, dulu ia pergi bekerja di Jepang karena peluangnya menjadi pekerja tetap di sebuah perusahaan di Indonesia amat kecil karena hanya memiliki ijazah SMK. Ia akhirnya memutuskan bekerja di Jepang dengan modal dari orang tuanya dan tabungan adiknya.
“Kalau dulu orang tua punya sapi ya dijual. Sama pakai tabungan adik saya. Dia kan kerja di Jakarta, kebetulan tabungannya masih nganggur. Jadi, saya pakai dulu lah,” katanya.
Persiapan rumit dan risiko penipuan
Untuk bisa kerja di Jepang, setidaknya ada dua jalur yang bisa pilih. Jalur negeri dan swasta. Jalur negeri yang difasilitasi oleh dinas tenaga kerja memang gratis, tapi seleksinya begitu ketat. Pada akhirnya jalur swasta melalui lembaga pelatihan kerja (LPK) lebih sering dipilih meski harus mengeluarkan modal hingga puluhan juta.
Salah satu staf LPK Hotaru, Sofyan Kurniawan menjelaskan jika LPK akan menyiapkan siswa dengan jumlah tiga kali lebih banyak dari yang dibutuhkan perusahaan. “Nantinya peserta magang itu sudah disediakan tempat tinggal dan perlengkapan sehari-hari oleh perusahaan karena sudah terjalin kontrak,” jelas staf yang telah bekerja selama 1,5 tahun tersebut.
Harga yang dikenakan untuk seluruh fasilitas yang disediakan berkisar antara Rp20-30 juta. Perbedaan jumlahnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti bidang kerja, penempatan wilayah, sampai ketentuan LPK itu sendiri. Jumlah yang fantastis ini tentu sulit dimiliki oleh kebanyakan orang. Karena itu, LPK menyediakan dana talangan.
“Di Hotaru kita menyediakan dana pinjaman maksimal Rp20 juta untuk tiap anak. Karena nggak semua siswa itu polos, jadi harus ada jaminannya. Itu bisa berupa sertifikat tanah atau rumah. Nantinya juga disahkan oleh notaris,” papar Sofyan.
Anis menjelaskan jika untuk bekerja selama satu tahun lalu, dirinya menghabiskan modal hingga Rp45 juta. Uang tersebut ia pinjam dari ketiga temannya yang lebih dulu bekerja di Jepang. Opsi dana talangan tidak ia ambil demi menghindari bunga yang tinggi.
“Temenku kan banyak. Jadi, aku nggak hutang ke satu orang aja,” candanya.
Memiliki modal hanyalah satu faktor. Di sisi lain, kemampuan peserta magang juga harus dilatih dan diuji. Peserta akan menjalani pelatihan reguler setidaknya tiga bulan. Selanjutnya, melakukan wawancara langsung dengan user dari perusahaan Jepang. Ketika dinyatakan lolos, mereka perlu memasuki pelatihan intensif sekitar dua bulan.
Sofyan menjelaskan jika pada tahapan awal, peserta juga harus melalui psikotes. Menurutnya, mereka yang memiliki IQ di bawah 80 akan sulit untuk menerima pelajaran.
“Temenku itu gagal sampe 10 kali. Itu gak cuma di satu LPK, tapi di LPK-LPK lain juga. Sampai akhirnya dia lolos bareng sama aku,” tutur Anis.
Rumitnya prosedur yang harus dilewati menjadi peluang lahirnya para joki. Iming-iming kemudahan dan harga yang lebih murah tak jarang berhasil memakan korban. Salah satunya Sussanto sendiri.
“Ada informasi pendaftaran di Solo. Diadain tes segala macem, tapi ternyata itu cuma akal-akalan aja. Setelah uangku masuk Rp2,5 juta, ternyata nggak ada kelanjutannya. Waktu itu yang ikut banyak banget. Mungkin sekitar 100 orang,” tambahnya.
Baca halaman selanjutnya
Nekat berangkat meski kemampuan bahasa pas-pasan