Awal Juli lalu, KPU secara resmi menyampaikan kabar yang benar-benar menggembirakan, kabar tersebut berupa aturan yang menyebutkan bahwa mantan narapidana kasus korupsi dilarang ikut pemilihan legislatif DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota.
Aturan tentang tidak diperbolehkannya mantan koruptor untuk nyaleg tersebut tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Sebelumnya, hanya mantan narapidana atas kasus narkoba dan pelecehan seksual terhadap anak yang tidak boleh ikut pemilihan legislatif. Sekarang sudah ditambah narapidana kasus korupsi.
Namun begitu, ternyata masih banyak mantan napi korupsi yang tetap ngotot untuk ikut pemilihan legislatif 2019 mendatang.
Baru-baru ini, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan bahwa sejauh ini, pihaknya sudah menemukan 199 mantan napi korupsi yang mendaftar sebagai bakal caleg DPRD.
Dari 199 mantan napi korupsi —tidak tahu diri— ini, 30 di antaranya mendaftar sebagai caleg DPRD Provinsi, 148 mendaftar sebagai caleg DPRD Kabupaten, dan 21 sisanya mendaftar sebagai caleg DPRD Kota.
Jumlah 199 ini statusnya masih sementara, jumlahnya masih bisa terusbertambah seiring dengan pemantauan yang terus dilakukan oleh Bawaslu sampai batas pengumuman Daftar Calon Tetap oleh KPU pada 20 September mendatang.
Berdasarkan Aturan KPU, para mantan napi koruptor yang ketahuan mendaftar sebagai caleg maka KPU akan menolak dan mengembalikan berkas bakal caleg yang bersangkutan.
Wah, kalau melihat fenomena banyaknya mantan napi koruptor yang mendaftar sebagai caleg, rasanya masa depan politik Indonesia semakin tidak bisa diharapkan. Belum jadi caleg saja sudah goblok dan tidak paham aturan, apalagi nanti kalau sudah jadi caleg dan menang. Partainya lebih goblok lagi. Haduuuh, sureeeeem.
Lagian, sudah tahu kalau dirinya mantan napi korupsi, masih saja ngotot daftar caleg. Napi korupsi cocoknya ya daftar haji, biar bisa minta ampunan Allah di tanah suci sana, bukannya daftar jadi caleg. (A/M)