MOJOK.CO – Pembantaian buaya di Papua hingga 292 ekor menarik perhatian publik. Meski merupakan binatang liar yang berbahaya, patutkah buaya dihabisi secara massal? Benarkah buaya dan manusia kini mulai berebut hak hidup?
Setelah keberhasilan Lalu Muhammad Zohri meraih predikat juara dunia lari dalam nomor 100 meter putra, Indonesia kembali menjadi perbincangan internasional. Kali ini, penyebabnya adalah pembantaian buaya di Papua yang terjadi secara massal, hingga mencapai 292 ekor.
Iya, 292 ekor buaya ini dihabisi sekaligus oleh warga di Papua—tepatnya di wilayah SP 1, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat—karena dianggap membahayakan lingkungan sekitar, bahkan telah menelan korban jiwa.
Menjadi berita hangat di media lokal hingga internasional. berikut ini Mojok rangkumkan kronologi kejadian pembantaian 292 buaya di Sorong, Papua, yang mengenaskan.
1. Seorang warga bernama Sugito, pada hari Jumat (13/7), bermaksud untuk mencari rumput di sekitar tempat kejadian. Lelaki pembuat tahu ini berada di kawasan penangkaran buaya milik PT Mitra Lestari Abadi (MLA).
2. Menurut pihak MLA, Sugito masuk tanpa izin ke dalam area penangkaran karena di sana terdapat rumput dan kangkung. Alhasil, secara mendadak, Sugito langsung diterkam oleh seekor buaya.
3. Sekitar pukul 15.30 WIT, warga mendatangi lokasi penangkaran karena mendengar teriakan Sugito. Naas, Sugito ditemukan tewas karena digigit buaya.
4. Malam harinya, warga mendatangi pihak penangkaran dan meminta penangkaran untuk ditutup. Tak lupa, mereka mempertanyakan soal izin usaha MLA. Menanggapi hal ini, MLA berjanji akan menunjukkan izin usaha dan memberi uang santunan.
5. Keesokan harinya (14/7), usai pemakaman, seorang saksi menyebutkan bahwa puluhan warga mendatangi Polsek Aimas, Sorong. Mereka menuntut polisi agar segera menggelar penyelidikan tewasnya Sugito karena digigit buaya.
6. Warga yang telanjur marah mulai bersepakat untuk melakukan pembantaian buaya di penangkaran terkait. Alasannya, mereka ingin tidak ada lagi korban jiwa yang jatuh akibat keganasan buaya.
7. Beberapa sumber menyebutkan, pembantaian buaya di Papua ini juga terjadi karena kekesalan warga terhadap pihak MLA. Warga berpendapat bahwa penangkaran buaya tidak semestinya didirikan di kawasan pemukiman karena menimbulkan ketakutan.
8. Lokasi penangkaran yang saat itu tidak terkunci memudahkan warga yang marah untuk masuk ke dalam. Bersenjatakan parang, kayu, batu, dan tombak, warga yang berjumlah 400-an orang ini membantai buaya hingga berjumlah 292 ekor, mulai dari buaya yang berukuran sedang hingga indukan. Buaya yang masih berusia anak-anak dikabarkan dijarah oleh warga yang marah.
9. Ke-292 buaya yang mati disebut merupakan buaya milik pemerintah, mengingat indukan buaya bisa diambil dari penangkaran lain maupun alam bebas.
10. Buaya yang mati diseret keluar, lalu dibiarkan menumpuk di luar penangkaran. Momen pembantaian hingga penumpukan bangkai buaya ini direkam oleh beberapa warga dan diedarkan melalui smartphone.
11. Emosi warga tidak dapat dibendung. Dalam kerumunan aksi, terdapat Wakil Bupati Sorong, Sunaryo, dan anggota Polsek. Namun, mereka tidak dapat menenangkan ratusan warga yang marah ini.
12. Polisi mengadakan pengumpulan keterangan kejadian, termasuk pada sejumlah warga dan pihak MLA yang terdaftar atas nama Albert Siahaan selaku pemilik.
13. Kini, polisi masih terus melakukan pengusutan kasus pembantaian buaya di Papua. Jika kelak pembantaian ini terbukti dilakukan. warga setempat dapat terancam dikenai hukuman dari berlakunya Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, lebih tepatnya pada Pasal 21 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya.
Hingga tulisan ini diturunkan, kasus pembantaian buaya di Papua terus menjadi kontroversi. Sejumlah pihak pemerhati lingkungan dan hewan menyayangkan tindakan ini, meski mereka tentu saja menyatakan turut berduka atas hilangnya nyawa Sugito.
Peristiwa menyedihkan ini sejatinya bisa menjadi kaca besar bagi kita untuk saling berefleksi. Mengingat buaya adalah makhluk hidup yang juga memiliki hak, sudahkah kita memosisikan diri secara adil sebagai sesama penghuni Bumi? (A/K)