MOJOK.CO – Waktu masak rendang untuk hidangan Idul Fitri tahun ini, mendadak saya tahu alasan Lebaran di masa lalu rasanya rameee banget, tapi sekarang jadi nggak.
Ini Lebaran pertama saya beserta suami dan kami memutuskan tidak mudik. Sebagai gantinya, sejak Idul Fitri kurang seminggu, saya dan dua tetangga yang sama-sama sudah berkeluarga, Kalis dan Natia, memutuskan masak-masak bersama di perantauan ini.
Kalis dapat tugas bikin opor, sambal goreng ati, dan lodeh pepaya. Natia mengajukan diri jadi koki es blewah dan juru pesan ketupat. Saya sendiri tadinya nggak dapat tugas apa-apa, tapi kemudian nekat masak rendang (iya, iya, sebenarnya cuma masak kari. Saya tambahi gini biar yang orang Minang nggak protes deh).
Kami mulai memasak di hari terakhir Ramadan. Sebenarnya ada kecelakaan. Kalis yang kumat oonnya sudah mulai mengupas kentang sejak H-2 karena dipikir Lebaran itu hari Rabu. Dia teman saya yang kedua hari itu yang mengabarkan sudah mulai masak karena salah hari. Sebelumnya satu teman lain malah sudah mulai merebus ayam baru kemudian sadar, Lebaran masih dua hari lagi.
Semua masakan matang jam 11 malam, sambil ditemani sahut-menyahut takbiran dan sirine pawai malam Idul Fitri. Sebelumnya, sewaktu Magrib, saya menyebar undangan open house ke teman-teman dekat yang tidak mudik. Kami berencana makan bersama besok pagi selepas salat Id di rumah Kalis. Ben kaya Bada tenanan lhooo, kata Kalis dengan logat Bloranya.
Acara pagi ini berlangsung menyenangkan. Makanannya enak, setidaknya menurut orang yang masak. Teman-teman silih ganti berdatangan, sedikit memang tapi suasana hangat. Para keponakan yang masih balita tak luput diberi salam tempel. Dan walau ini hari Lebaran, tentu agenda menggojlok teman tak akan pernah absen.
Singkat kata acara cukup seru, ramai, dan emang kayak Lebaran beneran. Beda dengan Lebaran-lebaran sebelumnya yang walau saya di rumah orang tua, rasanya sepiii.
***
Waktu multitasking mengaduk rendang sambil mantau harga kripto, saya tiba-tiba ketawa sendiri kayak orang kelainan. Ya, habis tiba-tiba di batin saya muncul suara: Kok bisa ya dari jaman remaja sampai jelang nikah, saya selalu mempertanyakan kenapa Lebaran sekarang kalah meriah dan kalah festive dibanding Lebaran saat saya masih SD.
Ya jelas sepi lah, jawab batin saya sendiri. Nggak ding, waktu itu saya membatin, ya jelas sepi lah, blok.
Dulu waktu saya masih SD, bapak-ibu saya juga masih muda. Masih umur 30-an. Lalu mereka tinggal di lingkungan yang sebelah-sebelah rumah juga keluarga seumuran. Anak-anak rata-rata sebaya pula.
Di masa ketika Lebaran terasa seru, mungkinbapak-ibu saya beserta para tetangga juga seantusias saya, Kalis, dan Natia. Jelang Lebaran ya masak, bersih-bersih rumah, bikin ini-bikin itu, pakai baju baru, memangkas tanaman, merapikan halaman, menyetok kue kering, dan seterusnya.
Orang-orang muda ini juga masih sangat niat menyisihkan THR untuk membagi uang ke para keponakan. Jadi selain meluangkan waktu, juga meluangkan pendapatan. Setelah itu masih meluangkan tenaga. Sangat mungkin jika tidak sedang pandemi, usai salat Id dan makan, kami akan keliling kampung mendatangi keluarga, tetangga, dan teman. Seru (menurut saya yang ekstrover). Bertemu banyak orang dan bertukar candaan.
Tapi makin tua orang makin capek (nggak usah lama-lama nunggu tua, saya yang maniak bersih-bersih aja sekarang udah bisa prek kalau cucian piring numpuk). Lalu pula kebutuhan makin besar. Kalau Lebaran bertepatan dengan tahun ketika anak masuk sekolah, tentu jadi pikir-pikir. Apalagi ketika anak dan keponakan bertambah banyak, besar uang yang dibagikan tentu sangat bisa jadi turun.
Saya ingat sekali, salah satu parameter saya dulu tentang Lebaran rame atau tidak adalah berdasarkan amplop yang saya terima. Kalau dapat 500 ribu ke atas, masih bisa dibilang rame dan seru. Kalau sudah cuma 100-200, dianggaplah ini Lebaran yang melempem.
Seiring dengan orang tua makin sepuh, ya memang terasa sekali Idul Fitri hari pertama dan kedua semakin tak meriah. Bodohnya saya, yang mana baru tersadari sekarang, saya sebagai remaja waktu itu kok ya semangatnya ikut menurun. Apalagi jaman kuliah, benar-benar tidak antusias merayakan yang namanya Lebaran. Baru Lebaran hari pertama saja jam 1 siang udah tidur. Rasanya kurang suka gitu menyalami banyak sekali orang yang tak semua saya kenal.
Setelah menikah baru saya ngeh bahwa rame tidaknya Lebaran memang tergantung para orang tua atau orang-orang yang sudah berkeluarga ini. Jadi saya merasa, wah ini tongkat estafetnya udah nyampe ke saya. Misal memang pengin terasa rame, ya harus janjian sama orang-orang untuk saling berkunjung, misalnya. Atau adakan acara ini-itu. Ibu-ibu dan bapak-bapaknya emang yang kudu heboh duluan.
Ini mungkin yang dinamakan tahap kehidupan (anjrit, saya geli sendiri mengetik ini, kok terasa sok tua ya). Waktu masih kecil kan saya jadi penonton dan penikmat, kini saya sudah masuk golongan yang punya tugas moral gantian jadi EO-nya. Jika dulu saya merasa punya masa kecil bahagia dengan Lebaran yang berwarna, kini tugas kita (((kitaaa))) untuk gantian menciptakan memori yang sama bagi anak-anak dan keponakan kita.
Emang repot sih. Namanya bikin acara. Tapi kalau kata kitab Bhagawadgita, ada seni ketika bekerja bisa terasa seperti bekerja. Syaratnya, bekerja harus dibikin tulus dan gembira. Buset, dahsyat kan. Sudah terlihat seperti Lebaran yang pluralis, belum, ngutip-ngutip kitab Hindu?
Oh ya, selamat merayakan hari kenaikan Yesus Kristus untuk teman-teman Kristiani!
BACA JUGA Lebaran, 650 Tahun Setelah Kesultanan Majapahit dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.