Di Indonesia, negara tempat orang berusia 25 tahun ke atas bisa dapat undangan kawinan sekali seminggu dan berlipat jadi tiga saat dekat-dekat lebaran, cuma ada lima jenis kawinan yang memaksa portal online, koran, sampai televisi ramai-ramai memberitakan.
Pertama, kawinannya seorang bapak-bapak dengan peri perempuan di Ngawi. (Dua puluh tahun lalu cerita begitu cuma ada dalam cerpen Kuntowijoyo. Sekarang, menurut berita, istri si bapak sudah melahirkan bayi. Saya enggak tahu harus ketawa apa nangis.) Kedua, kawinannya pesohor atau anak presiden. Ketiga, kawinannya bapak-bapak jenggotan pakai kalung Tom Sam Cong asal Semarang dengan seorang perempuan yang lebih pantas jadi anaknya. Keempat, kawinannya Rais yang dihadiri Risna, mantannya, yang bikin kaum jomblo sedunia termehek-mehek. Dan terakhir, kawinannya Bayu Kumbara dengan Jennifer Brocklehurst.
Sebelum 8 Agustus, tanggal resepsinya Uda Bayu dan Miss Brocklehurst yang pakai adat Minang ini, Bayu bukan siapa-siapa di jagat selebritas media sosial Indonesia. Mendengar namanya, kita mungkin cuma akan menebak kalau bapak atau ibunya dulu suka mendengarkan Saur Sepuh di radiobuku.
Entah Bayu dan Jen pengin bilang kanciang atau justru berterima kasih kepada Dream.co.id, portal berita inspirasional inilah yang pertama kali meluncurkan berita Pernikahan Bayu Kumbara dan Jennifer Bikin Geger pada 10 Agustus. Isinya sih sebenarnya lebih menekankan pada usaha Jennifer ngumpulin sumbangan supaya bisa mendatangkan orang tuanya dari Inggris, negara asal Jennifer, ke Padang, tempat di mana perkawinan dilangsungkan. Dream mau bilang, ini lho ada cewek bule yang demi pujaan hati pribuminya sampai rela menadahkan tangan minta sumbangan.
Setelah Dream, ledakan berita yang menyusul kemudian isinya lari ke jurusan lain. Jurusan itu adalah soal keberuntungan seorang laki-laki pribumi yang mampu bikin klepek-klepek cewek bule. Lebih spesifik lagi, cowok pribumi jelek kawin sama cewek bule yang cakep banget. Ini membuat saya tak bisa tahan untuk tidak mengutip Saut Situmorang: Dasar inlander! #Sampah.
Foto yang sering dipakai sebagai ilustrasi berita tampaknya diambil dari Facebook Bayu Kumbara. Foto itu mulanya dipasang Jennifer di tilt.com, situs di mana ia mengumpulkan donasi. Di foto itu, kita bisa lihat rupa Bayu. Pria berkulit gosong memakai celana batik santai dan telanjang dada, dengan dua kalung beda warna dan gelang yang dikenakan di kaki. Sekilas mirip Nuran Wibisono kalau gondrong. Di sebelah Bayu duduk Jennifer, dengan latar sebuah teras rumah kayu sederhana.
Kita dengan mudah bisa menebak, berita pernikahan Bayu Kumbara yang meledak, bahkan jadi trending topic di Twitter selama dua hari, adalah karena kontradiksi pada diri masing-masing pasangan ini, yang terilustrasi kuat lewat foto tadi. “The beauty and the beast,” kata seorang teman mereka yang datang ke kawinan itu di Instagram.
Oke, Bayu jelek, Jennifer cantik, dan mereka kawin. Kenapa mesti heboh?
Kak Wisnu “Nunu” Prasetya Utomo, sang pengamat media, suatu ketika pernah bersabda: Media-media massa kita begitu keranjingan dengan “cantik”. Wajah dominasi patriarkal yang mengeksploitasi perempuan ala internet, yang kemudian menjadi semacam sindrom. Ada polwan cantik, kita heboh. Ada janda cantik dibunuh, heboh. Ada tukang jamu cantik, tambah heboh. Syahrini bilang maju-maju cantik mundur-mundur cantik, heboh juga.
Kehebohan Si Cantik Jennifer yang dipersunting Si Jelek Bayu pun tak jauh-jauh dari sindrom itu. Plus mental inlander yang inferior. Sindrom itu membawa prasangka bahwa Bayu adalah pungguk merindukan bulan yang kedatangan bulan beneran. Prasangka yang rasanya seperti merendahkan Bayu sebagai lelaki—yang dianggap tidak punya keistimewaan paras dan terlalu beruntung karena mendapatkan perempuan yang cantik, bule lagi.
Tapi bukankah kita memilih pasangan tidak melulu dengan standar muka? Selalu ada pertimbangan lain. Dan Bayu tidak jelek-jelek amat—walaupun kecelakaan yang membuat giginya jadi tidak estetis patut kita sesalkan. Dia juga anak pantai dan peselancar. Bukankah cowok legam karena keseringan selancar itu seksi?
Lebih dari itu, dugaan saya, daya tarik utama Bayu adalah bahwa ia seorang aktivis. Bayu alumnus Jurusan Antropologi Universitas Andalas angkatan 2007. Waktu mahasiswa, ia aktif di Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia—organisasi kece tempat anak Jurusan Antropologi se-Indonesia ngumpul. Ia kemudian sempat bekerja di Lembaga Perlindungan Anak Sumatra Barat. Saat ini pun ia masih berkutat di sebuah LSM perlindungan anak di Padang.
Cowok aktivis macho yang suka surfing dan sayang anak itu godaan yang sulit ditolak.
Jadi, bagi para lelaki jomblo di luar sana yang syok dan iri dengan nasib mujur Bayu, sebenarnya pelajaran yang bisa dipetik menurut saya hanya satu: kalau mau dapat pasangan hidup yang cantik, jadilah aktivis. Sebab jadi kiri aktivis itu seksi.
Demikianlah pesan ini ditujukan kepada jomblo sedunia pada umumnya dan Windu Jusuf serta Gita Wiryawan pada khususnya.