Delapan bukunya dimusnahkan militer, sebagian dengan cara diabukan. Sejumlah lain hilang di tangan penerbit. Arsip yang ia kumpulkan belasan tahun dihancurkan, juga oleh militer. Empat belas tahun diasingkan orde yang dipimpin seorang militer. Buku-bukunya dilarang, oleh pemerintahan yang masih dipimpin militer. Dan dihajar hingga setengah tuli, juga oleh militer. Memelesetkan Hemingway, Pramoedya Ananta Toer benar-benar “bisa dihancurkan, tapi tak bisa dikalahkan.” Bahkan nyaris oleh maut sekalipun.
Ia sempat meyakini akan mati muda, khususnya lagi karena TBC. “Tahun ’50, TBC membunuh ayah, ibu, adik, nenek, ipar, kemenakan saya,” katanya pada majalah Playboy Indonesia, 2006 silam. Ayah dan ibunya meninggal di usia muda, 55 dan 34. Jadi, ia pikir usianya hanya akan sampai di angka 40-an.
Keyakinan itu memiliki dua akibat. Pertama, membuatnya bekerja seperti kuda, menulis sebanyak-banyaknya sebelum dibalap ajal. Kedua, mati bukan ketakutan lagi buatnya. Dan jika mati pun tak takut, apa lagi yang tersisa untuk ditakutkan?
Untuk yang pertama, buktinya tampak dari karya tulis yang ia hasilkan: 41 buku, saya catat judul-judul yang muncul di Wikipedia, fiksi dan nonfiksi. Magnum opuses-nya, kuartet Buru, bahkan lahir di kamp kerja paksa. Setelah lepas dari Pulau Buru, dan kemudian mengaku tak bisa lagi menulis, ia beralih kesibukan. Mengkliping. Soal yang satu ini bahkan menyerupai sejenis kegilaan: ke mana-mana ia bawa gunting. Kegilaan lainnya adalah hobi membakar sampah. Hingga ia meninggal dunia, Pram masih menyisakan proyek besar, yakni menandaskan penyusunan Ensiklopedi Geografi Indonesia.
Soal membakar sampah, selain untuk “sport”, ia merasakan kenikmatan lain. “Aku bisa bilang: ‘lihat, aku bisa hancurkan kau!’” ucapnya, masih dengan Playboy.
Soal tidak takut mati, selain nyalinya menulis Hoa Kiau di Indonesia, yang kira-kira bisa jadi bukti adalah sebuah surat di tahun 1973. Di tahun itu, Pram, sudah empat tahun jadi penghuni Pulau Buru, mendapat surat dari Presiden Indonesia Jendral TNI Soeharto, orang yang saat itu paling berkuasa di republik. Surat Presiden itu dibuka dengan,
Presiden
Republik Indonesia
Kepada:
Sdr. Pramudya Ananta Tur
di Tefaat Pulau Buru
dan ditutup dengan,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
(tanda tangan)
Soeharto
Jendral TNI
Kisah ini, serta kutipan surat Presiden dan balasannya, termuat dalam memoar Pram yang begitu gelap, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid I. Surat balasan Pram adalah salah satu dari amat sedikit humor dalam buku tersebut, walau juga sama gelapnya. Mungkin dengan rasa nikmat yang kelak menyerupai membakar sampah, ia membuka balasan itu dengan,
Kepada Yth.
Bapak Presiden Republik Indonesia
Jendral Suharto
Dan kemudian menutupnya dengan,
Hormat dan salam
dari Tahanan Politik No. 641
Pramoedya Ananta Toer
Korepondensi pendek itu cuma secuil “penghiburan” yang amat jarang dalam beratnya sepuluh tahun pengasingan di Buru. Jika sampai, mungkin mesin tik yang dihadiahkan filsuf Prancis Jean-Paul Sartre (begitu yang Pram dengar) akan jadi penghiburan lain.
Kebahagiaan yang sebenarnya barulah datang pasca-Buru, terutama selepas karya-karya yang ia tulis di tahanan disebarluaskan lewat Hasta Mitra, penerbit milik kongsi Pram, Joesoef Isak, dan Hasjim Rachman. Kehidupannya sebagai penulis telah kembali, bahkan perhatian yang datang melebihi masa sebelum Buru.
Ketika namanya disebut-sebut sebagai calon penerima Nobel Sastra, nyatalah bahwa empat belas tahun kerangkeng Orde Baru meski menghancurkan (fisik)nya, tak bisa mengalahkannya (saya tak bisa lupa lelucon historis yang memang khas Muhidin M. Dahlan. Pada 2003, kisahnya, Pram hadir di hadapan ribuan mahasiswa di sebuah seminar di UGM bersama Gus Dur. “Kasihan moderatornya. Yang satu buta, yang satu tuli,” ia menyeletuk. Daripada merendahkan, ini justru pujian berkait keterbatasan fisik yang tak menyurutkan pamor keduanya).
Dan setelah segala macam kesulitan yang negara sebabkan, ia bahkan tak membenci, apalagi malu (sebagaimana penyair gaek yang memusuhinya), pada negaranya.
“Saya bangga jadi orang Indonesia,” katanya pada Playboy. Sebab, “Saya mendapatkan kewarganegaraan saya tidak secara gratis, tetapi dengan perkelahian dan dengan risiko,” demikian jawabnya dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir.
Tahun 1999, Pram menulis artikel berjudul “The Book That Killed Colonialism” di The New York Times tentang novel Max Havelaar sebagai buku yang menghabisi penjajahan di Hindia Belanda. Buku-buku Pram sendiri menjadi simbol perlawanan terhadap rezim fasis Orde Baru.
Bagaimanapun, Pram tetap manusia biasa. Walau amat jauh dari prediksinya, maut akhirnya mengalahkannya pada 30 April 2006. Ia berpulang di usia 81 tahun. Dan hari ini, 6 Februari 2017, bersamaan dengan perayaan hari lahir seorang tukang protes lain dari Jamaika yang menyerukan “Get up, stand up. Stand up for your right,” ia, pemberani yang menulis “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”, berulang tahun yang ke-92.