MOJOK.CO – Membuka WhatsApp pakai laptop di kafe adalah hal yang biasa dan tak perlu di-judge sebagai aktivitas gaya-gayaan.
Melalui Twitter, Asdwin Noor, seorang trainer hipnosis mencuitkan hal yang memang susah untuk tidak memancing keributan. “Sekarang banyak yang gaya banget pake laptop di coffee shop, setelah saya lirik ternyata cuma buka WA. Kirain kerja bikin dokumen atau programmer.” Begitu tulis Asdwin.
Cuitannya tersebut tentu saja tak ubahnya seperti tantangan terbuka bagi warga Twitter. Twit Asdwin, selain terlihat mengejek, juga mereduksi makna bekerja. Seolah bekerja di depan laptop itu harus dalam wujud menggarap dokumen atau mendesain sesuatu. Maka, tak butuh waktu lama bagi Adswin untuk mendapatkan “salam silaturahmi” dari netizen dalam bentuk nyinyiran dan kalimat-kalimat tak sedap lainnya.
Serangan yang sangat barbar dari netizen tampaknya membuat Asdwin ciut. Belakangan, Asdwin menghapus twitnya tersebut dan meminta maaf. Ia mengatakan tak ada niatan untuk merendahkan atau julid terhadap aktivitas orang-orang yang hanya membuka WA di kafe.
Tentu saja saya tak ingin memperpanjang masalah tersebut, toh yang bersangkutan sudah meminta maaf dan sudah menghapus twitnya. Aneka hujatan yang mampir itu anggap saja sebagai imbalan atas keberaniannya dalam menuliskan twit yang pasti membuat banyak orang tersindir itu. Namun yang jelas, saya merasa perlu meluruskan dan menegaskan, bahwasanya aktivitas membuka WA melalui laptop di kafe memanglah bukanlah aktivitas yang layak untuk disebut sebagai “gaya-gayaan”.
Pertama, aktivitas WhatsApp-an itu bagi banyak orang memanglah sebuah pekerjaan. Setidaknya, itu adalah bentuk kerja-kerja koordinasi dan komunikasi yang memang ada dalam seluruh lini bisnis apa pun.
Saya punya seorang kawan yang pekerjaannya adalah agen dan supplier salah satu merek minyak kesehatan yang namanya sedang cukup kondang beberapa tahun terakhir. Dan hampir sebagian besar bentuk nyata pekerjaannya adalah justru dengan WhatsApp-an.
Ia mengatur stok, membimbing reseller, melakukan kerja-kerja promosi, menyebarkan penawaran, dan aneka pekerjaan lainnya hampir semuanya ia lakukan dengan WhatsApp-an.
Kawan saya yang lain, seorang mentor kelas menulis, menghabiskan sebagian besar waktu kerjanya dengan WhatsApp-an, sebab memang pekerjaannya adalah memberikan materi melalui grup WhatsApp, lalu mengoreksi tulisan-tulisan dari dari peserta kelasnya itu juga melalui grup WhatsApp tersebut, lalu membalas satu per satu konsultasi naskah juga melalui pesan WhatsApp.
Maka, adalah salah besar jika di era yang sudah sangat digital ini, WhatsApp-an tidak dianggap sebagai bagian dari aktivitas kerja.
Kedua, ini yang lebih penting, kalaupun aktivitas WhatsApp-an pakai laptop di kafe itu kebetulan bukan aktivitas kerja, maka itu tetaplah aktivitas yang wajar belaka, dalam artian, bukan bentuk “gaya-gayaan”, sebab memang banyak orang suka melakukan hal-hal tertentu di tempat-tempat tertentu itu semata bukan karena efektivitasnya, namun karena suasananya.
Nah, WhatsApp-an di kafe itu adalah salah satunya.
Saya sendiri merasakannya, bukan WhatsApp-an sih, melainkan Youtube-an. Entah kenapa, Youtube-an di kafe itu rasanya lebih menyenangkan, walaupun koneksi internetnya boleh jadi tak sekencang internet di rumah sendiri.
Suasana yang tenang namun tidak sepi, ditemani segelas cappuccino panas, sambil sesekali melihat pasangan muda-mudi yang bercanda di meja seberang, sungguh menjadikan aktivitas Youtube-an menjadi jauh lebih namaste.
Saya pikir, itu terjadi pada banyak aktivitas lainnya. Ada banyak orang berduit yang lebih suka menonton film di layar tancap, bukan di bioskop, meskipun ia sadar bahwa kualitas layar dan sound-nya kalah jauh.
Banyak orang yang lebih memilih bermain PS di rental PS walaupun ia sebenarnya punya PS sendiri di rumah dengan ukuran TV yang jauh lebih jumbo, semata karena suasana bermain PS di rental PS memang lebih mengasyikkan dan lebih puas untuk teriak-teriak.
Banyak orang yang lebih excited mendengarkan lagu favoritnya di radio walaupun ia bisa saja memutarnya setiap saat melalui Spotify di hapenya.
Banyak orang yang memilih menonton pertandingan dari tribun ekonomi ketimbang tribun VIP semata karena ia menyukai atmosfer suporter yang penuh dengan semangat dan chants.
Maka, bukan hal yang aneh juga jika mungkin banyak orang yang merasa lebih nikmat WhatsApp-an pakai laptop di kafe ketimbang WhatsApp-an melalui hape di dalam kamar sambil rebahan.
Sekali lagi, ini soal suasana dan juga selera. Dan kita semua harus paham, apa saja kalau sudah menyangkut selera, maka adalah hal bodoh untuk memperdebatkannya apalagi men-judge-nya.
Nah, di titik inilah “kecerobohan” Asdwin Noor.
BACA JUGA WhatsApp Sekarang Jadi Medsos yang Bikin Capek Lahir Batin dan artikel AGUS MULYADI lainnya.