MOJOK.CO – Tidak semua lagu bisa menjadi solusi atas sebuah permasalahan, bahkan jika lagu tersebut dinyanyikan oleh para menteri.
Bagi sebagian orang, musik memanglah hal yang menyenangkan dan bisa membantu menyelesaikan banyak masalah.
Kiranya sudah tak terhitung lagi berapa banyak orang yang sukses merampungkan pekerjaan karena ia mengerjakannya sembari mendengarkan musik yang ia suka. Tak terhitung berapa banyak orang yang jadi lebih mudah tidur sebab ia memutar lagu-lagu instrumen relaksasi macam lagu-lagunya Kitaro dan sebangsanya itu. Tak terhitung pula berapa banyak orang yang menjadi tenang dan jernih pikirannya setelah mendengarkan musik yang merdu dan bikin adem.
Saya pikir, itulah fungsi ideal sebuah musik.
Sayangnya, fungsi ideal musik sebagai hal yang mampu membantu menyelesaikan banyak masalah ini terlalu dipahami secara serampangan oleh banyak pihak. Termasuk oleh para pejabat.
Musik dianggap sebagai entitas yang kelewat solutif sehingga semuanya dianggap bisa diselesaikan dengannya.
Lagu “Nggak Mudik Asyik” yang dinyanyikan oleh para menteri untuk mengajak orang-orang agar tidak mudik itu menjadi bukti yang sangat nyata.
Kalau kalian belum lihat, silakan dulu videonya.
Lihat, apa yang kalian rasakan setelah mendengarkan lagu dengan iringan musik remix ala-ala mamang penunggang Daihatsu Hijet itu? Apakah kalian merasakan eargasm dengan lagu tersebut? Apakah hasrat dan gairah kalian untuk mudik mendadak langsung luruh setelah melihat para menteri kita yang baik hati itu menyanyi?
Jika tidak, maka itu pula yang yang saya, dan mungkin banyak orang lainnya rasakan.
Memang lagu tersebut adalah iklan layanan masyarakat, namun jujur saja, sebagai masyarakat, selera dan hak saya untuk mendengarkan suara yang enak tidak terlayani dengan baik oleh lagu tersebut.
Ketika Pak Johnny G Plate (yang Plate-nya dibaca Plate, bukan Plate), Menteri Komunikasi dan Informatika itu mulai mengeluarkan suaranya, kepala saya langsung nggliyeng.
Betapa tidak merdunya suara beliau.
Saya ingin segera berhenti memutar lagu tersebut, namun saya masih menyimpan harapan. Siapa tahu menteri lainnya bakal bersuara lebih enak ketimbang Pak Plate.
Harapan saya agaknya mulai menunjukkan titik terang saat Ibu Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri kita itu, dengan gaya centilnya, melanjutkan lirik lagu Nggak Mudik Asyik dengan suara yang jauh lebih mendingan ketimbang suara Bapak Plate.
“Wah, ini kelihatannya disetting, disusun berdasarkan yang suaranya paling jelek, ke suara yang paling bagus,” batin saya.
Saya pun tak sabar ingin mendengarkan kemerduan suara menteri-menteri yang lain setelah Ibu Retno.
Namun, harapan saya tampaknya buyar. Pelantun berikutnya, yakni Pak Zainudin Amali, Menteri Pemuda dan Olahraga ternyata punya suara yang tidak lebih baik ketimbang Ibu Retno.
Pelantun berikutnya, lebih memprihatinkan lagi. Ibu Ida Fauziah, Menteri Ketenagakerjaan, bukan hanya tidak merdu suaranya, namun juga meleset ketukan nadanya. (No hard feeling ya, Bu Ida, tapi njenengan ini kan namanya sudah sangat harum sebagai salah satu kader jempolan Fatayat NU, mbok ya jangan bikin nama baik Njenengan tercemar).
Penyanyi berikutnya adalah Pak Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan. Saya sempat memasang ekspektasi tinggi pada Pak Budi Karya, sebab hanya dia yang menyanyikan lagu sambil memakai headset ukuran besar. Keseriusannya dalam menggunakan alat bantu itu saya tebak akan melahirkan setidaknya hasil olah vokal yang cespleng.
Kenyataannya tidak. Walau bentuk muka bagian rahang Pak Budi punya sedikit kemiripan dengan Harvey Malaiholo yang bersuara emas itu, namun tetap saja suaranya fals-fals bobrok.
Setali tiga uang dengan Bapak Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan kita itu. Walau ia menyanyikan lagunya dengan wajah yang tampak sumringah dan ceria bak anak PAUD saat menyanyikan lagu sayonara, namun tetap saja kapabilitas olah vokalnya tak bisa banyak terbantu.
Tak susah bagi kita untuk mengatakan bahwa para menteri yang ikut bernyanyi di lagu “Nggak Mudik Asyik” di atas memang tidak bisa menyanyi. Atau kalau setidaknya bisa, suaranya tidak semerdu dan tidak memenuhi standar kelayakan merdu minimal.
Singkatnya, jelek saya belum.
Dengan suara yang demikian, yang terjadi kemudian adalah hal yang sudah saya duga sebelumnya: para menteri tersebut menjadi sasaran olok-olokan bersama.
“Bukannya memberikan solusi yang baik, malah nyanyi-nyanyi nggak jelas,” begitu banyak komentar yang muncul.
Ini yang saya takutkan. Orang-orang kemudian menjadi ringan untuk menegasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh para menteri di bidangnya masing-masing dalam menghadapi penyebaran virus corona.
Pada titik tertentu, ini membikin kepercayaan publik semakin menurun, sebab publik kadung menganggap bahwa menteri-menteri mereka kerjaannya cuma main-main saja. Padahal dalam kondisi seperti sekarang ini, sikap percaya pada pejabat sedang sangat krusial-krusialnya.
Para menteri seharusnya belajar dari banyak kasus yang sudah terjadi sebelumnya. Walikota Depok, misalnya. Orang nggak akan peduli dengan sekian banyak usaha yang mungkin sudah ia dan timnya lakukan untuk mengurangi kemacetan di Depok yang memang ngaudubillah setan parahnya itu. Orang justru akan lebih mengingat polemik lagu “Hati-hati” ciptaannya yang diputar di beberapa sudut lampu merah di Kota Depok.
Sama seperti suara para menteri, suara Bapak Walikota Depok ini juga sangat tidak merdu. Sangat tidak penyanyi, lah.
Bukannya menenangkan, justru mengganggu pendengaran. Setidaknya, itulah komentar yang meluncur dari banyak warga Depok yang sudah mendengarkan lagu walikotanya tercinta itu.
Sang Walikota pun langsung menjadi bulan-bulanan di sosial media, bukan hanya oleh warga Depok, tapi juga oleh orang-orang di luar Depok yang bahkan mungkin nggak tahu Depok itu ada di mana.
Pejabat, seharusnya punya sikap sadar diri akan kemampuan dan kapabilitas, termasuk dalam urusan bernyanyi.
Ini bukannya saya nggak suka dengan sosoknya lho ya, ini murni kritik saya sebagai seorang pendengar. Ini kritik yang sama yang pernah saya lontarkan untuk (mantan) menteri kelautan dan perikanan Ibu Susi Pudjiastuti tahun lalu.
Saya itu ngefans banget dengan Ibu Susi Pudjiastuti, namun saya tetap saja mangkel setengah mati saat tahu ia berduet dengan Karni Ilyas dan nekat bernyanyi dalam acara ulang tahun TV One awal tahun 2019 silam.
Walau saya tahu kapasitas Bu Susi dalam bidang laut dan ikan, namun dalam urusan tarik suara, dia tetaplah pemula. Laut adalah satu hal, dan menyanyi adalah hal yang lain. Singkatnya, suara Ibu Susi kala itu buruk dan nadanya sering meleset.
Hal tersebut diperparah oleh pasangan duetnya, Karni Ilyas, yang kita tahu, suaranya sangat tidak penyanyi dan suara yang keluar dari mulutnya kerap dicicil sehingga sering melambatkan tempo. Sudah begitu, liriknya nggak hafal pula. Sempurna sudah bobroknya.
Lagu “Perahu retak”-nya Franky Sahilatua yang seharusnya menjadi lagu yang sakral itu berubah menjadi lagu yang kacau dan sangat tidak sedap untuk didengar. Kalau saja Franky masih hidup, mungkin ia sudah langsung merapat ke studio TV One untuk kemudian berlutut memohon agar lagunya tidak usah dinyanyikan saja.
Tidak, tidak, saya tidak sedang melarang para pejabat untuk berkreasi dalam dunia tarik suara. Silakan saja. Saya hanya meminta agar para pejabat itu sadar diri, bahwa tidak semua bidang bisa mereka terjuni.
Kalau pengin sekali bernyanyi, setidaknya pastikan sudah punya suara yang merdu, minimal sudah semerdu suaranya Pak Wiranto. Sebab kalau tidak, ia justru akan menjadi olok-olokan yang abadi, yang akan terus berlanjut, bahkan sampai sudah tidak menjabat. Wong Pak Wiranto yang suaranya merdu saja masih tetap kena gebuk bacot netizen, apalagi yang suaranya bobrok.
Para menteri harus belajar mengambil pelajaran dari hal ini.
Cukuplah Pak SBY menjadi peringatan yang nyata.
Cukuplah Pak SBY menjadi peringatan.
Cukuplah Pak SBY.