Video TikTok Mbak-mbak Joget Anti-Malu Demi FYP dan Benteng Moral ‘KPI’ versi Netizen

Video TikTok Mbak-mbak Joget Anti-Malu Demi FYP dan Benteng Moral ‘KPI’ versi Netizen

Video TikTok Mbak-mbak Joget Anti-Malu Demi FYP dan Benteng Moral ‘KPI’ versi Netizen

MOJOK.COViralnya video TikTok Mbak-mbak anti-malu yang joget-joget demi FYP bikin banyak netizen gerah. Kamu ngapain sih, Mbaaak?

Jika dulu ada istilah anti-air, kayaknya istilah anti-malu bakal mulai familiar belakangan ini. Terutama dengan mulai masifnya penikmat video TikTok di Indonesia.

Setidaknya gejala itu sudah muncul ketika ada mbak-mbak random yang berulah dengan joget-joget rada ekstrem di beberapa spot yang nggak mashook.

Kamu bisa nonton salah satu contoh video itu di bawah ini.

 

Atau ketika acara kondangan orang kayak di bawah ini.

Buat sampean yang penasaran, “Itu orang yang sama kah?”

Iya, itu mbak-mbak yang sama.

Tentu saja, netizen Indonesia banyak yang menyayangkan tingkah mbak-mbak random ini. Demi video TikTok bisa FYP, mbak-mbak ini rela melakukan “segalanya”.

Sebelum kita ikut mencerca atau marah-marah karena video TikTok tersebut menunjukkan nir-etika dari si mbak-mbak random ini, ada baiknya kita lihat masalah ini agak daleman dikit.

Kalau sampean sempet selo melihat bio dari pemilik TikTok ini, si pemilik akun video TikTok absurd ini memang mengupayakan untuk dapat perhatian ekstra dari netizen Indonesia.

Oleh sebab itu, ketika banyak yang menghujatnya, sebenarnya itu adalah efek samping dari capaiannya. Dibicarakan, viral, kalau bisa FYP, lalu mulai deh buka endors.

Setidaknya, itu bisa dibuktikan dengan tangkapan layar akunnya, kalau mbak-mbak yang bersangkutan emang membuka penawaran endors.

Makanya, mau sampean kasih nasihat moral setinggi apapun, nasihat sampean hanya akan nangkring di tong sampah belaka. Sebab, yang dicari emang perhatian sampean-sampean itu. Termasuk ketika saya menulis tulisan ini dan sampean yang bahkan sampai rela baca tulisan ini.

Dalam kacamata mencari potensi ekonomi, mbak-mbak di video TikTok ini bisa dibilang cukup berhasil. Perkara itu mengganggu orang lain (terutama orang-orang nggak kenal di tangkapan video TikTok tersebut) ya bodoamat buat dia.

Ini hal yang tak jauh beda dengan cara Aldi Taher mengais-ngais lagi sisa-sisa popularitasnya dengan bikin postingan-postingan “mengganggu”.

Dengan mengganggu, orang-orang jadi ngeh, lalu membicarakannya. Jika pada titik tertentu itu jadi kontroversi, maka potensi viral atau FYP dalam semesta video TikTok bakal terjadi.

Dalam skema itu, pundi-pundi uang pun mengalir. Diawali dari followers yang meningkat pesat, penawaran endors, sampai diundang sana-sini sebagai seorang influencer.

Sekali lagi, influencer. Perkara meng-influence-nya ini ke arah positif atau negatif, toh setidaknya ada angka-angka kesuksesan yang cukup bisa mengafirmasi (dalam bentuk seberapa sering FYP, jumlah followers, dan tarif endros misalnya).

Nah, skema inilah yang kemudian ingin saya katakan sebagai “aldi-taher-effect”, bagaimana ketika seseorang rela melakukan hampir segala cara agar bisa meraih kepopuleran.

Demi apa? Ya demi duit. Apalagi?

Apakah itu salah? Nah, itu dia pro-kontranya.

Kalau kita lihat di Twitter, banyak orang yang menyayangkan tingkah mbak-mbak ini.  Wajar, di Twitter kan tempatnya orang-orang pinter dan SJW-SJW. Ada standar moral yang lumayan baku lah.

Namun, ketika kita melihat akun TikTok-nya, dengan jumlah followers yang “lumayan” dan likers yang sampai 6,7 juta, itu artinya netizen di video-video TikTok cukup banyak yang menyukainya. Perkara di komen-komennya video TikTok-nya banyak yang menghujat, toh yang follow tetep banyak tuh nyatanya.

Artinya, jika dalam kacamata netizen Twitter itu tindakan amoral, maka hal yang sama belum tentu berlaku bagi konsumen video-video TikTok, terutama buat pendukung mbaknya.

Ini sama kayak orang yang memberi panggung Aldi Taher baru-baru ini, apakah mereka bener-bener “respect” pada usaha Aldi Taher?

Ah, nggak juga. Deddy Corbuzier, Coki-Muslim, sampai Rigen dengan GJLS-nya pun “terpaksa” harus mengakomodasi panggung untuk Aldi Taher karena perhatian netizen emang pada ke sana.

Pasar baru yang diciptakan karena kontroversi semacam itu pada akhirnya kelewat sayang dilewatkan. Akhirnya, motif ekonomi juga yang bicara. Takluk juga mereka si seleb-seleb itu.

Lagian, kalau kita mau balik mundur agak ke belakang. Ketika kita ngamuk-ngamuk ke siaran televisi yang gitu-gitu doang, lalu suka mencak-mencak sama KPI karena sensornya yang suka nggak asyik, ya kayaknya kita perlu “siap” dengan kebebasan di semesta baru bernama media sosial yang kadang tak terkendali kayak gini.

Siap ini bisa diartikan macam-macam ya, termasuk ketika menemukan konten-konten yang tidak sefrekuensi dengan kita gini. Mau marah silakan, mau negur silakan, bahkan mau nge-block pun dipersilakan.

Itu semua adalah kemewahan yang bisa kita dapat sebagai pengguna medsos ketimbang sebagai penonton televisi konvensional.

Hanya saja, kita juga harus siap dengan risikonya ketika menjadi penjaga benteng moral di sana. Siap dikatain sebagai “KPI-KPI baru media sosial” oleh orang-orang yang satu frekuensi dengan pendukung video TikTok absurd model begitu, misalnya.

Gimana? Siap?

BACA JUGA 7 Alasan Orang Perlu Pindah Medsos ke TikTok atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.

Exit mobile version