Urusan Buang Air yang Mempengaruhi Harga Diri di Masa Depan

kebelet

Urusan buang air, baik besar maupun kecil, memanglah urusan yang tidak boleh disepelekan. Ia merupakan perkara yang, boleh jadi, bisa mempengaruhi kehormatan seseorang di masa depan.

Ini serius. Apa saja yang berhubungan erat dengan kemaluan pastilah juga bisa berakibat pada rasa malu. Apapun itu. Baik kentut, air kencing, sampai tahi.

Saya jadi ingat, dulu saat hari pertama masuk SD, saya langsung membuat kehebohan di sekolah. Tentu bukan karena prestasi. Melainkan karena aib.

Di hari pertama masuk SD, saya langsung menjadi satu-satunya siswa yang buang air kecil di kelas. Yap, saya ngompol di kelas.

Tanda-tanda akan hadirnya aib tersebut sejatinya sudah muncul sejak saya dan kawan-kawan satu kelas mulai berbaris sebelum masuk kelas. Kantung kemih saya berdenyut hebat. Ada sesuatu yang dahsyat yang bergejolak di dalamnya. Saya kebelet pipis. Kebelet dengan sangat.

Entah kenapa, saat itu, saya tak berani untuk sekadar ijin pada Bu Guru untuk pergi ke  belakang. Mungkin karena faktor hari pertama atau faktor Ibu Guru yang baru. Padahal dulu pas di TK, kalau saya kebelet, saya bisa dengan santainya berteriak pada Ibu Guru sambil mengacungkan tangan. Hal yang memang dipraktekkan oleh seluruh siswa tatkala ia ingin buang air kecil: “Bu, saya pengin pipis!”

Nah, di hari pertama saat masuk SD itu, dengan segenap kepengecutan yang saya miliki, saya berusaha menahan agar pertahanan kemih saya tak jebol, setidaknya sampai waktu istirahat tiba.

Namun hal tersebut tentu saja mustahil. Saya sudah kebelet sejak jam tujuh, sedangkan jam istirahat masih dua jam lagi.

Akhirnya, setelah melalui perjuangan yang sangat berat, adik kecil saya pun mengaku kalah.

Cuuuuuuuuuur….

Air seni yang sangat tidak seni itu kemudian mulai membasahi celana, dan kemudian mengalir ke lantai.

Adik kecil saya lega, tapi perasaan saya tentu saja menjadi takut. Saya kemudian diam saja. Tak berbicara apa-apa.

Perlu waktu sekitar sepuluh menit bagi guru saya untuk menyadari bahwa saya ngompol di kelas. Dia berkeliling dari meja satu ke meja yang lain, dan kemudian berhenti di samping meja saya karena ada sesuatu yang menggenang.

“Ya ampun, kamu pipis, Nak?” tanya Ibu Guru.

Saya terdesak. Tak bisa lagi berkelit. Pertahanan sudah jebol. Maka langkah paling masuk akal adalah menyerah pada musuh.

“Iya, bu, saya sudah tak tahan…” jawab saya.

“Kenapa nggak ngomong sama Ibu?”

“Nggak berani, Bu, malu.”

Maka, yang berikutnya terjadi adalah acara bersih-bersih. Pak bon harus turun tangan mengepel lantai kelas.

Satu jam berlalu. Lantai sudah bersih. Tapi tidak dengan kehormatan saya. Sebab, sampai beberapa hari ke depan, saya kemudian dipanggil dengan panggilan “Agus ompol” oleh kawan-kawan saya.

Ejekan Agus ompol itu baru benar-benar hilang saat saya naik kelas dua. Namun, obrolan soal saya yang ngompol itu masih saja terus dibicarakan oleh kawan-kawan saya kalau kami mengadakan acara reuni SD.

Hal yang lebih parah dialami oleh kawan SMP saya. Sebut saja namanya Yanto.

Yanto ini ngompol di kelas saat proses seleksi penerimaan siswa SMP. Kebetulan saat tes seleksi, saya dan dia satu ruangan. Dan kebetulan lagi, saya duduk di belakangnya persis.

Mungkin dengan sebab yang sama dengan saya saat ngompol dulu, yakni tak berani ngomong sama guru, Yanto yang pasti sudah sedari pagi menahan kencing pun akhirnya takluk juga.

Bedanya, jika saat saya ngompol, gurulah yang pertama kali tahu. Sedangkan saat Yanto ngompol, sayalah yag pertama kali menyadarinya.

Hal tersebut karena posisi duduk saya di belakang Yanto, dan aliran air seni Yanto ikut mengalir sampai meja saya.

Ketika saya memainkan kaki saya lantai ujung meja, kok rasanya agak becek.

“Asuuuu, Bocah di depanku ngompol!” umpat saya dalam hati.

Yang terjadi kemudian adalah hal yang tak beda jauh dengan kejadian saat saya ngompol dulu. Seisi kelas heboh. Yanto kemudian dipinjami celana ganti oleh Ibu Kantin yang rumahnya kebetulan berada di dalam kompleks sekolah.

Belakangan, saya dan Yanto diterima di SMP tersebut. Dan kebetulan lagi, saat pembagian kelas, kami berada dalam kelas yang sama.

Saat saya berkenalan, saya langsung ingat dengan sosoknya.

“Eh, kamu yang pas seleksi masuk waktu itu….”

“Sssttt, tolong, jangan bilang-bilang, aku malu.” Potong Yanto sambil tolah-toleh kanan-kiri.

Saya menurut. Ini bukan soal saya yang mudah didikte, ini lebih karena saya pernah punya rasa malu yang sama. Sehingga jiwa korsa saya seakan terpanggil.

“Tenang, rahasiamu aman,” kata saya.

“Suwun ya,” balasnya. “Eh, siapa namamu?”

“Agus. Agus Mulyadi!” Jawab saya. “Kalau kamu?”

“Yanto!”

Belakangan, janji saya untuk menjaga rahasia Yanto ternyata saya ingkari. Maafkan saya, Yanto. Saya memang kawan yang munafik.

Nah, urusan buang air yang paling saya ingat adalah kisah epik adik kelas saya di SD. Kuntul namanya. Tentu saja nama samaran.

Ia merasakan pengalaman seperti yang saya dan Yanto rasakan. Bedanya ia jauh lebih ekstrem. Kenapa? Karena ia bukan sekadar buang air kecil, melainkan buang air besar. Dan ia melakukannya bukan hanya di kelas, melainkan di halaman sekolah saat senam kesehatan jasmani.

Entah saya berjodoh dengan dunia buang air besar atau tidak, namun kali ini, saya lagi-lagi menjadi salah satu saksi saat Kuntul buang air besar.

Kebetulan, saat senam, posisi saya berada di belakang serong kanan Kuntul.

Saya sudah menyadari gelagat tidak baik. Saat semua peserta senam bergerak sesuai dengan arahan instruktur, Kuntul hanya berdiri mematung. Ia tak mengikuti instruksi.

Benar saja, sejurus kemudian, dari balik celananya, jatuh sepotong tahi berwarna gelap. Entah bagaimana caranya, tahinya Kuntul kok bisa sampai jatuh, padahal seharusnya ia tertampung di dalam celana dalamnya.

Kenapa bisa sampai… Ah, bangsat. Kenapa saya justru kepikiran hal ini.

Kisah beraknya Kuntul saat mengikuti SKJ tersebut kemudian menjadi cerita yang kesohor. Ia terus diceritakan dari generasi ke generasi. Dari angkatan satu ke angkatan yang lain.

Entah apa yang dirasakan oleh Kuntul, namun yang jelas, rasa malu yang ia dapat pasti jauh lebih besar ketimbang rasa malu yang saya dan Yanto pernah alami.

Sambil menulis ini, ingatan saya terlempar jauh ke masa lalu, terlempar pada bagaimana bentuk tahi Kuntul yang sangat tidak estetis itu.

Ah, memang benar apa kata peribahasa: Malu ijin ke belakang, sesat di kehormatan…

Exit mobile version