Terus Kenapa Kalau Kami Tidak Suka Durian? Please, Deh!

MOJOK.CO Perasaan tidak suka durian ini bukanlah semata-mata karena kami tidak mau merasakan surga dunia. Tolong dipahami, dong!

Kalau kamu sedang berjalan-jalan di Jogja dan melewati area depan GOR UNY atau TVRI, bau khas menusuk tajam bakal sontak tercium: bau durian.

Iya, Saudara-saudara—di pinggir jalan sana, ada banyak sekali penjual buah-buahan, termasuk buah durian. Kebanyakan orang akan mencium aromanya dalam-dalam, bahkan rela memperlambat laju kendaraannya demi lebih lama terbuai dalam bau yang menggoda.

Tapi, tidak demikian dengan saya. No. No way. Never. Hueeek.

Saya tak pernah santai saat motor saya melaju di area mambu itu. Kalaupun harus membawa motor pelan-pelan karena terjebak macet, yang saya lakukan adalah istigfar dalam hati sepanjang waktu sambil bernapas melalui mulut.

Bahkan, saking takutnya mencium bau durian, alih-alih mengucapkan, “Astagfirullah,” saya pernah mengucapkan, “Assalamualaikum,”—persis kayak kalau kita lewat di depan kuburan. Hadeeh! :(((

Banyaaaaak sekali keluarga, sahabat, kolega, tetangga, sampai orang lewat yang penasaran kenapa saya tidak suka durian. Selalu, pertanyaan dan pernyataan mereka adalah:

“Loh, kok, kamu nggak suka durian, sih???”

“Durian kan surga dunia, Li, please!!!”

“Wah, kamu nggak menikmati hidup kalau nggak suka durian.”

“Ini tuh bau surga, Li, BAU SURGA!!!”

Saya tidak selalu membalas ucapan-ucapan itu. Bukan, bukan karena saya kalah pada pernyataan mereka yang mengagung-agungkan durian, tapi karena saya saat itu sedang sibuk menutup hidung dan tak bisa bicara bebas.

Tuh, bener, kan—bau durian bahkan menghambat aktivitas saya!!!

Yang menjadi concern saya kemudian adalah: kenapa, sih, orang-orang hobi banget protes kalau ada orang lain yang nggak suka durian? Apakah karena jumlah pencinta durian lebih banyak daripada pembencinya? Terus, karena mereka menang jumlah, mereka merasa superior dan berhak memandang saya sebagai seseorang yang aneh dan nggak normal, gitu???

Jadi gini, loh, ya, Mbak-Mbak dan Mas-Mas pencinta durian. Alasan kami membenci bau durian itu bukan karena kaminya aneh atau tidak normal. Silakan dibaca dan pahami kami lebih baik lagi.

Pertama, ketidaksukaan kami pada bau durian bukanlah semata-mata karena kami tidak mau merasakan ‘surga dunia’. Perlu juga dipahami, definisi ‘surga dunia’ kita pun agaknya jelas berbeda.

Lagi pula, sejak kapan ada kesepakatan internasional yang mengartikan ‘surga dunia’ serupa dengan buah hijau tajam-tajam yang baunya lebih menyebalkan dari aroma kenangan mantan??? Nggak ada, kan???

Maaf-maaf aja, nih, tapi alih-alih ‘surga dunia’, kami lebih suka mengasosiasikan bau durian dengan ‘neraka dadakan’ karena baunya yang menjebak akal sehat kami!!! Camkan itu!!!

Kedua, nggak perlulah situ maksa-maksa kami makan durian dengan harapan kami bakal jatuh cinta pada durian pada jilatan pertama.

Maksud saya—hellooooo, ngapain sih kamu berharap seseorang bakal berubah hanya demi kata-katamu??? Memangnya kamu pikir kamu itu siapa: Voldemort yang lagi merapal mantra Imperio???

Lagian nih, ya, sekali nggak suka durian, ya nggak suka aja. Nggak usahlah dipaksa-paksa biar suka. Kalau kami kelepasan sampai muntah, nanti yang mau disalahin siapa? Duriannya? Nggak mungkin~

Ketiga, pendapat kami soal bau durian yang bau banget ini didukung pula oleh kajian ilmiah.

Sudahlah, tak perlu marah-marah ke kami dan menuduh kami tidak menikmati dunia hanya karena kami melarikan diri dari bau durian yang datang mendadak. FYI, sikap antipati terhadap bau durian ini toh sudah menyebar ke dunia mancanegara. Nggak percaya?

Seorang chef ternama, Anthony Bourdain, pernah mendeskripsikan aroma durian dengan cukup kejam. Katanya, setiap kali selesai memakan durian, penikmatnya bakal memiliki napas yang berbau seperti seseorang yang baru saja berciuman dengan nenek-nenek yang sudah meninggal.

[!!!!!!!!!!!!11!!!11!!!!]

Dalam film Julia Roberts yang berjudul Eat, Pray, Love, ada sebuah adegan yang diambil di Ubud, Bali. Pada scene tersebut, buah durian menjadi topik perbincangan dan disebut dengan ungkapan “berbau seperti kaki nenek”.

[!!!!!!!!!!!!11!!!11!!!!]

‘Hinaan-hinaan’ soal durian ini lantas membuat saya merasa terwakili, meski dalam hati juga bertanya-tanya, “Emang nenek-nenek bule baunya gitu-gitu amat apa, ya???”

Yang lebih ilmiah, Journal of Agriculture and Food Chemistry pernah menjadikan buah durian sebagai bahan penelitian. Dari hasil laboratorium, ditemukanlah fakta bahwa setidaknya ada 20 bahan kimia yang dimungkinkan ada dalam aroma buah durian. Dari kedua puluh senyawa ini, ada dua yang dianggap berpengaruh pada bau durian, yaitu…

…bau bawang panggang dan bawang busuk!!!

Tuh, Mas, Mbak, buah kebanggan sampeyan sekalian baunya seperti bawang panggang dan bawang busuk menurut penelitian. Masih mau ngatain kami sebagai orang yang ogah merasakan surga dunia? Lagi pula, sejak kapan surga didefinisikan dengan aroma bawang busuk, nih, monmaap?

Surga, bagi kami, bukan sebatas buah durian kegemaran Anda-Anda sekalian, Mas, Mbak. Surga, bagi kami, adalah hidup yang wangi dengan kepala yang terbebas dari kenangan mantan.

Eh, tunggu dulu—itu sih surga bagi saya. Hehe.

Exit mobile version