MOJOK.CO – Kita mencemooh orang yang melakukan body shaming ke orang lain. Eh, kita malah sering body shaming ke diri sendiri. Gimana, sih?
Kita sering menganggap bahwa body shaming adalah sedosa-dosanya mengejek. Pasalnya, ejekan yang ini menggunakan anggota tubuh orang lain untuk diolok-olok, serta untuk direndahkan sehingga membuat orang yang diejek berkurang kepercayaan dirinya.
Orang yang melakukan body shaming pun sangat dipersalahkan. Pasalnya perilaku ini tidak dapat dibenarkan, dan mengejek ‘kekurangan’ orang lain memang tidak patut dilakukan. Mengomentari, “Kamu gendutan, ya?” dan lain sebagainya memang sangat menyebalkan untuk didengar. Ya jelas, sebab anggota badan kita adalah otoritas kita. My body my authority. Tak elok rasanya jika orang lain ikut campur di dalamnya.
Namun, sadarkah kita? Justru terkadang, kita yang belum bisa menerima diri kita sendiri? Ada kalanya, kita yang kesulitan menerima segala yang diberikan oleh Tuhan kepada kita? Ayo, coba hitung, sejak kita mulai mengenal cantik atau tampan versi iklan kosmetik di berbagai media. Berapa kali kita merasa ada yang kurang dalam anggota tubuh kita. Seberapa sering kita mencoba meraih body goals tertentu untuk menyumpal mulut para handai tolan?
Misal, mengeluhkan muka yang tidak pernah bisa terlihat putih bersinar nan alami. Alis yang seperti tak terlihat ada wujudnya dan harus diperjelas dengan pensil alis. Pipi yang tembem sekali. Perut yang berlemak sehingga membuatnya bergelambir. Rambut yang terlalu mudah nampak kusut. Jidat yang mirip lapangan bola. Ayo, ejekan yang mana yang pernah kamu berikan pada dirimu sendiri?
Jika kita amati itu baik-baik dan pahami itu dengan saksama, sadarkah justru kitalah yang menjadi pem-bully terbesar dalam hidup kita, dan melakukan body shaming terbanyak. Bertahun-tahun. Jauh lebih banyak dibanding yang dilakukan orang lain. Pasalnya, bisa jadi, kita melakukan hal tersebut setiap saat. Setidaknya, setiap melihat ke cermin.
Seharusnya, kalau memang diri kita tidak apa-apa dengan hal itu, ya tidak apa-apa. Jika sebelumnya kita tidak pernah mem-bully diri sendri, seharusnya kita dapat menerima diri kita sendiri, Sayang. Kita tetap bisa cengengesan dengan namaste meski diejek bagaimanapun juga. Ejekan macam apapun yang dilemparkan kepada kita, tidak menjadi ganjalan supaya kita dapat mencintai diri kita sendiri.
Lagian kamu tahu kan, siapa yang akan diuntungkan jika kita masih saja belum bisa menerima dan mencintai diri kita? Ya jelas produk kosmetik, obat pelangsing, dan peninggi itu, lah! Lha wong, yang mereka jual adalah ketidakpercayaan diri orang lain supaya bersedia membeli produk-produk mereka.
Oke sedikit intermezo, sadarkah kita mengapa produk skincare dari Korea begitu banyak macamnya, dan kelihatannya laku semua? Sebab, sejak selesai perang, ekonomi Korea Selatan maju dengan pesat, sehingga kehidupan di sana menjadi sangat kompetitif, bahkan bikin nilai-nilai tradisional tergerus dengan cepat. Efeknya, saking kompetitifnya dan kehilangan nilai tradisional, banyak yang nggak kuat terus bunuh diri. Pasalnya mereka nggak kuat dengan persaingan yang ada dan belum bisa menerima keadaannya yang mungkin berbeda dari orang lain. Nah, masalah belum mencintai diri sendiri memang tidak dapat dikatakan sederhana, kan?
Saya tahu. Mencintai diri sendiri memang bukan sesuatu yang mudah. Apalagi kalau itu dilakukan secara tiba-tiba dan serba mendadak. Setelah bertahun-tahun di sepanjang usia kita, kita selalu fokus dengan jeleknya diri kita—yang terkadang semacam mendapatkan konfirmasi yang sama oleh orang lain.
Saya pun begitu. Bertahun-tahun sejak saya SD, saya selalu fokus dengan muka saya yang tidak pernah mulus. Memiliki pori-pori muka yang besar dan kulit berminyak sehingga mudah berjerawat. Bahkan rasanya jerawat itu akan muncul seperti alergi—muncul jika berada di suhu atau iklim yang berbeda. Bertahun-tahun saya mengutuki diri saya sendiri, mengapa terlahir dengan muka berminyak dan pori-pori besar.
Bahkan saat SMP, ketika zaman-zamannya sedang jatuh cinta pada teman sekelas, saking nggak pedenya dengan jerawat yang njendul dengan ukuran yang gede di jidat, saya memilih untuk menutupinya dengan plester.
Ketidakpercayaan diri saya tersebut mendapat semacam konfirmasi dari orang lain, yang juga turut mengomentari jerawat saya. Hingga saat ini, saya sudah mencoba berbagai produk perawatan yang menawarkan khasiat dapat mencegah jerawat. Dari yang murah sampai yang harganya harus nabung beberapa minggu dulu—bagi keuangan saya. Hasilnya? Sama aja. Muka saya tetap gini-gini aja.
Dulu, saya sering merasa sensitif dan jadi bad girl mood, jika ada yang mengomentari jerawat saya tersebut. Yang biasanya, justru datang dari keluarga saya sendiri. Saya pun semakin mengutuki diri saya sendiri. Terus menerus seperti itu.
Namun, suatu malam sebelum tidur. Saya berkontemplasi—akhirnya ya! Saya pikir, kok kayaknya malah saya ya, yang jadinya lebih sering merasa tidak puas dengan diri saya sendiri. Oke, orang lain pernah melakukan hal tersebut kepada saya. Namun, berapa banyak yang justru saya lakukan pada diri saya sendiri?
Pertama, lantas saya mengingat mantra yang sering diucapkan Kirana—si selebgram cilik itu. “It’s okay, I’m special. I like myself!”. Saya coba ucapkan berulang-ulang. Memang efeknya tidak berdampak secara langsung. Namun mantra ini membuat alam pikir saya berkata: kamu mau ngejek bagaimanapun nggak akan mempan ke hidupku. Pasalnya, aku mencintai diriku sendiri. Ejekan macam apapun, itu hanya akan seperti angin lalu.
Kedua, saya menyadari terlalu sering memikirkan tentang kekurangan diri saya. Padahal, ada dari tubuh saya, yang saya suka dan kebetulan sering dipuji orang lain, yakni bulu mata yang sudah panjang sejak saya lahir—langsung kedip-kedipin mata. Lantas, mengapa selama ini, bulu mata saya tidak dijadikan sumber kepercayaan diri?
Ketiga, dengan menatap diri kita di depan cermin dan mencoba berbicara dengan diri kita sendiri. Bahwa kita mencintainya. Hahaha, iya saya tahu pasti awalnya merasa geli-geli dan memalukan, kan? Apalagi kalau kita merasa kurang akrab dengan diri kita sendiri. Hmmm, jangan-jangan rasa kurang akrab ini karena fokus mendapatkan cinta kepada orang lain, ya? Lantas lupa untuk memberikan cinta pada diri kita sendiri.
Efeknya bagi saya? Belum terlalu kelihatan sih. Namun setidaknya, jika ada orang yang mengejek anggota tubuh saya, saya akan lebih menerima. Masalah ia melakukan hal yang tidak pantas—yakni body shaming, itu urusan lain. Lantaran, saya sedang belajar untuk menerima diri saya sendiri. Jadi ejekan yang dilontarkan orang lain, saya anggap sehagai guyonan belaka—yang sedang bingung bagaimana caranya untuk akrab dengan kita.
Begitu ya, Sayang. Jadi, dikurang-kurangilah, body shaming ke diri sendiri. Yang ada, nanti makin capek dan dompet makin tipis, tauk!