Teriak Bahaya Radikalisme, Ngurus Masjid di Kampung Sendiri Aja Nggak Mau

MOJOK.CO – Suka teriak radikalisme sudah merebak di mana-mana, tapi sama masjid di kampung kita sendiri, kita nggak peduli. Kenal sama pengurus masjidnya pun nggak.

Baru-baru ini di beranda Twitter, muncul perbandingan soal gaya berpakaian anak SMA zaman sekarang dengan pakaian anak SMA zaman 1980-1990-an. Anak SMA zaman dulu, digambarkan memakai rok selutut. Lalu disandingkan dengan gambar anak SMA di zaman sekarang yang divisualisasikan memakai burqa alias cadar.

Tentu saja tidak ada masalah dengan perbandingan dua gambar ini. Tidak masalah juga kalau kemudian ada orang berasumsi; “Wah zaman dulu enak ya, anak SMA-nya masih gaul-gaul, sekarang anak SMA banyak juga yang radikal. Lha itu, berangkat sekolah aja pada pakai cadar. Wah, bahaya nih, radikalisme udah sampai masuk ke anak SMA. Mereka ada di mana-mana.”

Udah deh, nggak usah teriak-teriak radikalisme sudah ada di mana-mana—apalagi hanya karena terpancing munculnya foto anak-anak SMA pakai cadar. Ini belum kalau kita mau pakai hasil riset SETARA Institute yang menyebut 10 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia terpapar radikalisme.

Yap, kita boleh aja khawatir. Waswas. Bagaimana kalau mereka semakin besar? Lalu bikin kita yang mendaku moderat ini malah tersingkir sedikit demi sedikit?

Yah, kekhawatiran ini memang nggak salah. Yang salah adalah ketika kita nggak ngambil peran. Lalu cuma bisa nyinyir aja. Kemudian menuding bahwa mereka yang radikal-radikal itu sebagai penyebab maraknya kasus intoleransi di Indonesia.

Fenomena kayak gini sebenarnya kasusnya nggak pernah jauh-jauh dari kita. Nggak pernah jauh-jauh akar masalahnya. Cuma kita mau nggak jadi orang yang nggak dikenal dan berjuang di wilayah yang jauh dari sorot kamera.

Paling tidak, di kampung saya sendiri di Jogja, saya bersinggungan langsung sama yang model-model begini.

Harus kita akui, kita emang suka teriak radikalisme sudah merebak di mana-mana, tapi lingkungan terdekat, ambil contoh: sama masjid di kampung sendiri, kita enggan peduli. Boro-boro ikut meramaikan salat di masjid, kenal sama pengurus masjid kampung sendiri pun nggak.

Padahal radikalisme bisa tersebar dengan asyik ya karena orang-orang kayak kita cuek dengan lingkungan sendiri. Dan ini yang terjadi di masjid kampung saya, setidaknya tiga tahun ke belakang.

Tiga tahu lalu, berdiri sebuah swalayan yang sangat dekat dengan masjid kampung di daerah saya. Kebetulan rumah saya ada di belakang masjid pas. Pemilik swalayan berkali-kali melakukan sosialisasi ke warga. Bahkan tak cuma sosialisasi, beliau kasih bantuan untuk masjid juga. Nggak main-main, angkanya puluhan juta.

Di tengah-tengah izin mendirikan swalayan itu ke warga, saat rapat kampung si pemilik juga punya izin lain, “Jadi begini bapak-bapak. Selain buka swalayan, kami juga akan rutin menggelar pengajian satu bulan sekali di tempat kami. Jadi mungkin bakal agak ramai.”

Tidak ada kecurigaan sama sekali. Meski kalau saya ingat-ingat lagi pertemuan itu, tidak ada ajakan untuk ikut serta pengajian dari si pemilik swalayan kepada warga kampung.

Benar saja, seiring jalannya usaha swalayan itu, beberapa kali diadakan pengajian. Bahkan pernah ada pengajian yang gede banget. Nggak main-main, yang diundang sekelas Ustaz Velik Siauw. Tentu saja, kecurigaan warga menjadi-jadi. Terutama ketika masjid kampung sering diisi oleh orang-orang dari “swalayan”.

Saat waktu azan dzuhur dan ashar, suara azan akan mengalun merdu dari speaker masjid. Ini jelas beda dengan suara azan biasanya yang seringnya malah kayak suara radio nggak dapat sinyal.

Awalnya warga kampung senang. Suara azannya bagus. Apalagi kalau azan dzuhur sama ashar—dua waktu di mana kampung lagi sepi karena warganya pada kerja. Namun lama-lama ada yang aneh. Di dua waktu itu, saf masjid urutan pertama selalu dipenuhi oleh orang-orang yang tidak saya kenal. Imamnya pun saya nggak kenal.

Saya tahu betul karena sejarang apapun warga salat di masjid, paling tidak saya pasti hapal mukanya—meski mungkin nggak tahu namanya. Sampai kemudian warga bikin rapat sendiri. Menindaklanjuti ada yang tidak beres dengan berdirinya swalayan ini.

Bisa saja saat itu, warga kampung langsung main usir. Karena setelah kami telusuri, swalayan ini jauh lebih ramai ketika pengajian ketimbang ramai orang beli. Tapi saya juga paham, bakal jadi masalah kalau warga sampai lakukan persekusi, bisa jadi berita nasional ini. Kami bisa saja dianggap nggak pro-Islam dan sebagainya. Ya kan bahaya.

Persoalan lain yang lebih rumit, hampir 80 persen pegawai di swalayan adalah warga kampung saya juga. Belum termasuk dengan tukang parkir dadakan saat pengajian yang melibatkan banyak bapak-bapak di kampung saya.

Kalau kami main usir-usir aja, jelas sebagian warga kami akan kehilangan mata pencahariannya. Padahal saya juga nggak bisa kasih mereka kerjaan. Kasih kerjaan sih bisa. Kasih gajinya yang nggak bisa.

Hal yang bisa dilakukan ya kita cuma bikin proteksi sendiri. Sambil tetap berhubungan baik dengan pemilik swalayan. Awalnya sih sulit—tentu saja. Kamu salat di masjid kampungmu sendiri, tapi selalu dibarengi oleh kelompok asing yang juga rutin salat di masjid. Udah jadi kayak kompetisi rajin-rajinan salat di masjid aja.

Tapi ya saya dan warga kampung cuek-cuek saja. Soalnya kalau kita merasa risih, lalu akhirnya jadi nggak mau lagi ke masjid, wah masalahnya bisa lebih runyam. Untungnya, justru mereka yang akhirnya risih. Terutama di waktu dzuhur dan ashar. Dua waktu yang akhirnya selalu diramaikan warga.

Saya pikir, ketimbang memakai teori-teori njlimet di bangku kuliah tentang bagaimana menangkal radikalisme, apa yang dilakukan warga kampung saya ini pantas dibanggakan. Mereka nggak main persekusi, main keras, main tutup-tutup aja, mereka mainnya alus banget.

Tahu bahwa yang disasar adalah masjid kampung, ya mereka penuhi terus masjid kampung tiap lima salat waktu (kadang kalau subuh sampai mau penuh). Ini cara melawan yang sederhana tapi manjur.

Lha kalau kita enggan salat di masjid kampung kita sendiri, terus siapa dong yang mau ngisi? Orang luar? Orang yang nanti kita tuduh radikal-radikal itu? Lalu kita mencak-mencak marah-marah sendiri.

Ealah, selama ini masjid kampung kita itu butuh muazin dan imam salat je, lha kita selama ini ke mana aja? Baru “ngeh” kok ketika mereka udah gedhe aja?

Boleh sih, main jauh-jauh, tapi ya mbok jangan terlalu jauh. Kalau piknik, pulang lah sekali-kali. Tengok keadaan di kampung halaman. Masa iya, cadar di seberang lautan tampak, masjid di depan teras rumah sendiri nggak tampak sih?

Exit mobile version