Tanpa Disadari, Kita Memasuki Alam Sinetron Melalui Politik

Debat capres Jokowi Prabowo MOJOK.CO

Setiap kisah selalu punya khasnya sendiri. Setiap drama selalu punya konfliknya sendiri.

Untuk urusan yang satu ini, negeri kita punya satu aset keunikan drama yang rasa-rasanya susah untuk dicari tandingannya di negara-negara lain: Sinetron.

Ada satu hal yang sangat khas yang kerap tidak kita sadari dari konsep sinetron yang banyak beredar di stasiun-stasiun televisi kebanggaan kita itu, yakni dalam setiap tokoh di sinetron, hampir tidak ada tokoh yang nanggung, selalu total. Kalau baik yang pasti baik banget. Kalau jahat ya jahat banget.

Konsep itu seperti sudah menjadi prosedur tetap. Dan itu sudah bertahan sejak lama. Sedari dulu.

Di sinetron legendaris Bidadari, misalnya, Lala mau dijahatin bagaimanapun sama Bombom, ia akan tetap baik sama saudaranya itu. Begitu pula dengan Revalina “bawang putih” Temat itu, mau diperlakukan seburuk apapun oleh Nia “bawang merah” Ramadani, ia tetaplah menjadi pribadi yang baik hati dan lemah lembut bagi saudari tirinya yang jahat itu.

Sebaliknya, Mbak Leily Sagita, mau dibaikin gimana juga, ia akan tetap mendelik-mendelik dengan tatapan mata yang sangat mengerikan. Saking mengerikannya tatapannya, ia sampai layak untuk dijadikan ancaman buat anak kecil yang nggak mau makan atau nggak mau mandi. “Hayo, makan nggak? kalau nggak mau makan nanti tak panggilin mbak Leily Sagita, lho!”

Tentu kita semua sadar betul, bahwa konsep total dalam sinetron itu muskil terjadi di dunia nyata. Sebab semua orang paham, alam di luar tivi adalah alam yang kompleks. Alam di mana kebaikan dan keburukan berpadu sempurna.

Di dunia nyata, rasanya susah betul ketemu sama orang yang jahatnya atau baiknya full nggak setengah-setengah. Sebaik-baiknya orang pasti ada jahatnya, begitu pula sebaliknya, sejahat-jahatnya orang, pasti ada baiknya.

Semakin hari, kemuskilan ini agaknya semakin luntur. Kontestasi politiklah yang membuat begitu.

Sekarang, bagi segelintir orang (untuk tidak menyebutnya banyak), Jokowi beserta para pendukungnya itu sebaik-baiknya manusia, dan Prabowo serta para pendukungnya itu seburuk-buruknya. Dan begitu pula sebaliknya bagi segelintir yang lain.

Saya banyak menemukan di kolom komentar, bagaimana sosok Prabowo dianggap sebagai sosok tanpa cela, pembawa harapan, pembela agama, ketika di pihak yang lain, Jokowi dianggap sebagai pembela penista agama, perusak bangsa, pemimpin zalim, dan segala label buruk lainnya.

Di kolom komentar yang lain, saya menemukan yang sebaliknya. Jokowi dianggap sebagai pemimpin harapan, baik hati, tulus, paham agama, dan label-label baik lainnya, ketika di pihak yang lain, Prabowo dianggap sebagai calon presiden yang sangat ambisius, tidak paham agama, pelanggar HAM, kejam, dan label buruk lainnya.

Pada akhirnya, diakui atau tidak, kita memang hidup di alam yang semakin sinetron.

Kita semakin mudah bertemu Lala dan Bombom dalam bentuk yang nyata.

Ya Tuhan, jika memang hidup ini adalah sinetron, ijinkan hambamu ini menjadi Boy anak jalanan: parasnya tampan, keluarganya makmur sentosa, pacarnya cantik, motornya bagus, kawan-kawannya setia, dan kalau berkelahi jarang kalahnya.

Exit mobile version