Susahnya Membuat Orang Lain Tertawa

tertawa

Dalam pergaulan, kita selalu ingin menjadi seseorang yang menarik dan menyenangkan. Oke, kalaupun tidak bisa menjadi sosok yang menarik, minimal menjadi sosok yang menyenangkan.

Ada banyak faktor yang bisa membuat seseorang menyenangkan dalam sebuah forum pergaulan. Salah satu faktor yang cukup dominan adalah selera humor. Seseorang yang mampu membuat orang lain tertawa, entah dengan sikap, polah, gerak-gerik, atau leluconnya, kemungkinan besar memang akan lebih mudah untuk disukai.

Nah, sayangnya, membuat orang lain tertawa ini bagi banyak orang bukan perkara mudah. Utamanya bagi seseorang yang memang prejengan ataupun pembawaannya blas tidak menunjukkan pembawaan yang lucu.

Kalau sudah begini, leluconlah yang menjadi senjatanya.

Namun, sayang lagi, lelucon yang lucu pun ternyata kadang tak cukup mampu untuk membuat kawan-kawan, lawan bicara, atau audien di hadapan Anda.

Saya, yang setidaknya oleh banyak kawan, dianggap sebagai pribadi yang lucu pun pernah gagal. Salah satu yang paling saya ingat tentu saat saya diundang sebagai pembicara di acara talkshow yang diselenggarakan oleh forum diskusi kampus di salah satu Universitas di Yogyakarta. Saya diminta untuk membawakan materi tentang sesuatu yang sebenarnya saya kurang menguasai.

Saya sih maklum, soalnya saya sadar, saya memang biasa diundang bukan karena faktor derajat keilmuan, melainkan karena saya dianggap lucu. 

Ini wajar, karena dalam sebuah talkshow, selama pembicaranya lucu, audien biasanya akan tetap khusyuk mengikuti talkshow, seburuk apapun materi yang disampaikan.

Mungkin saya memang sudah dikenal sebagai pembicara yang goblok, tapi rodo lucu (yang di jaman sekarang semakin susah dicari, hehehe).

Padahal saya sendiri sih sebenarnya merasa nggak lucu-lucu amat (kalau elegan sih iya). 

Tapi tak apa lah, sudah kadung ini.

Maka, sebagai pembicara yang diharapkan “kelucuannya” (bukan keilmuannya), pas talkshow, saya pun berusaha membawakan materi dengan se-jenaka mungkin dan penuh semangat (terlebih setelah tahu ternyata audien-nya cantik-cantik).

Saya bahkan sengaja banyak menggunakan bahasa jawa untuk menambah nuansa kejenakaan lokal. Harapannya satu, agar audien setidaknya bisa mudeng sedikit materi yang saya sampaikan, dan tetap terhibur dengan guyon yang saya bawakan.

Beberapa kali saya menyisipkan cerita tentang kawan-kawan saya yang saya anggap lucu.

Namun ternyata, krik-krik. Banyak audien yang terdiam, tak banyak yang tertawa.

Saja jadi salah tingkah dan penuh tanya. “Perasaan, saya sudah mencoba membawakan materi dengan sense of humor yang cukup berkelas, tapi kok sedikit ya yang tertawa?”

Batin saya mulai berkecamuk. Apakah saya salah dalam membawakan materi? atau memang humor yang saya bawakan materinya cukup jayus? Ah, perasaan nggak deh. Soalnya beberapa materi humor yang saya bawakan, pernah saya bawakan juga acara talkshow saya yang lain, dan hasilnya audien tertawa tergelak.

Apa yang salah ya? Saya kok merasa jadi garing begini.

Kondisi yang penuh kegaringan ini pun kemudian membuat tenggorokan saya kering. Dan saya pun meminta air pada panitia.

“Mbak, aku njaluk wedange yo, ngelak je, cangkemku garing iki!”

Si mbak Panitia pun hanya mengerutkan dahinya dengan wajah penuh tanya. Saya mencoba menebak, apa yang terjadi, dan sekelebat, saya baru menyadari, si mbak panitia ternyata nggak mudeng bahasa Jawa.

Bagai disambar geledek, saya kemudian tersadar pada sesuatu yang lain.

“Disini siapa yang bisa bahasa Jawa?” tanya saya pada audien.

Dan dari sekitar 50 audien, Tak sampai 10 orang yang mengangkat tangan.

Semprul…

Kini terjawab sudah pertanyaan saya. Pantes saja nggak ada yang tertawa dengan materi saya, lha jebul banyak yang ndak bisa bahasa jawa. 

Cuuuk, Tiwas cangkemku ngasi mumpluk le ngomong je. Trembelane…

Agaknya Sun Tzu memang benar, bahwa senjata terbaik dalam sebuah perang adalah “Pahami musuhmu terlebih dahulu.”

Exit mobile version