Sesukses dan Sebobrok Apa Pun Hidup di Rantau, Mudiklah

mudik

Mudiklah. Tak banyak lagi orang tua yang tersisa. Lebaran depan bisa jadi aku berikutnya. (Nasihat Nenek)

~Prie GS

Dalam sebuah wawancara di salah satu acara talkshow di TVRI yang disiarkan tahun 2003 silam, Cak Nun pernah dengan sangat baik dan menawan menjelaskan tentang epistemologi mudik.

Mudik, menurut Cak Nun kala itu, merupakan pengejawantahan paling dasar atas naluri manusia yang senantiasa punya keinginan untuk kembali pada asal-usulnya. Asal-usul jasmani dan ruhani. Asal-usul berupa kampung halaman, sanak famili, dan juga nuansa budaya yang membesarkan dia sewaktu kecil.

“Orang itu mau maju ke mana saja, dia pada akhirnya akan kembali ke tempat semula.” Begitu kata Cak Nun.

Penjelasan Cak Nun tersebut saya pikir adalah penjelasan yang paling menarik bagi saya tentang mudik.

Pada kenyataannya, mudik bagi saya, dan tentu saja bagi banyak orang lainnya memang merupakan perjalanan klangenan untuk menyempurnakan nostalgia kita akan kampung halaman.

Bertemu kawan-kawan lama yang selama setahun terakhir mungkin tak bisa kita jumpai secara langsung karena sibuk dengan pekerjaannya di rantau. Bertemu kembali saudara jauh yang mungkin hanya bisa kita temui kalau ada hajatan pernikahan. Menyusuri jalanan-jalanan kecil yang dulu kita lewati sambil berlarian membawa gundu. Memandangi tanah-tanah yang dulu mungkin ditumbuhi pohon jambu yang kerap kita panjat.

Mudik menjadi sebuah obat penenang bagi banyak orang yang sudah terlalu mabuk pekerjaan. Menjadi semacam oase bagi kegersangan jiwa yang terjebak dalam kumparan sosial media yang panas dan lama sekali dinginnya.

Tiket mahal, keruwetan sepanjang perjalanan, biaya oleh-oleh, gengsi yang besar, dan segala rupa adalah harga yang memang layak ditebus untuk bisa menemui asal-usul kita.

Semua manusia kelak akan akan mati. Akan kembali. Dan mudik adalah bagian dari rangkaian-rangkaian kecil atas peristiwa kembali itu.

Kau boleh saja menunaikan salat subuh di Masjidil Haram, salat duhur di mushola kecil di salah satu sudut pusat perbelanjaan, salat asar di rest area tepi jalan Pantura, salat magrib di Masjidil Aqsa, salat isya di kamar kos yang bau dan butut, atau salat tarawih di Pelataran Monas. Tapi khusus untuk Salat Ied, tak ada tempat yang lebih baik ketimbang halaman masjid di kampung kelahiranmu.

Sesukses apa pun kau di rantau, jangan lupa untuk mudik. Sebobrok apa pun kau di rantau, jangan malu untuk mudik. Cium tangan ibumu, cium tangan bapakmu, pijak tanah kelahiranmu. Boleh jadi, kepulanganmu menjadikan berkah untuk kesuksesanmu atau solusi bagi kebobrokanmu.

Temui kakek dan nenekmu jika mereka masih hidup, temui kerabat-kerabat sebaya mereka. Biarkan mereka membalurimu dengan doa sederhana yang luar biasa: “Mugo dosamu, dosaku, dilebur ing dino bodo iki, Mugo aku lan awakmu iso menangi bodo ngarep.”

Doa sederhana yang bisa jadi adalah musabab kita belum akan mampus setidaknya sampai lebaran tahun depan.

Selamat mudik, kawan-kawanku semuanya. Semoga mudikmu kali ini menjadi obat atas semua kesakitanmu.

Exit mobile version