MOJOK.CO – Satu-satunya yang berhak negur calon pemimpin rakyat yang keliru adalah Partai Untuk Kebutuhan Iman (PUKI) dengan capres-cawapres nomor urut 10; Nurhadi-Aldo, bukan PSI.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali bikin heboh dunia politik Indonesia. Usai ramai soal isu penolakan praktik poligami untuk kadernya, beberapa waktu lalu Partai yang diketuai Grace Natalie ini membuat guyonan yang—yah agak garing-garing gimana gitu.
Dengan cukup percaya diri, PSI mengirim piala “penghargaan” sekaligus piagam untuk Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, dan Andi Arief sebagai tiga tokoh oposisi yang pantas menerima piala kebohongan. Piala sebagai ejekan tentu saja.
Tiga piala ini diberikan dengan kategori masing-masing untuk ketiga tokoh oposisi. Dari Piala Kebohongan ter-lebay untuk Prabowo Subianto karena pernyataan keliru Prabowo soal selang darah RSCM. Kebohongan ter-HQQ untuk Sandiaga Uno, soal Tol Cipali yang disebut dibangun tanpa utang—meski ternyata ada pinjaman dari beberapa bank. Dan terakhir Piala Kebohongan ter-Halu, diberikan Andi Arief soal hoax 7 kontainer surat suara.
Sebagai partai baru yang akan berlaga pertama kalinya dalam Pemilu, PSI memang doyan bikin manuver-manuver yang mengejutkan—beberapa kali malah cenderung mengarah ke kontroversi. Meski begitu, sebagai sebuah partai baru dengan kader muda potensial yang berlimpah, PSI harus diakui memberi warna baru dalam dunia politik Indonesia.
Hal yang kemudian bisa dipahami, sebagai “pemain baru” jika kamu biasa-biasa saja dalam mencitrakan diri, maka kamu bakalan digerus oleh partai-partai senior yang sudah lebih dulu punya basis massa. Dan PSI melakukan semua manuver out of the box tersebut dengan agresif—bisa dibilang sedikit caper.
Untuk apa? Ya biar rakyat melirik ke mereka.
Apalagi soal gebrakan terakhir mengirim Piala Kebohongan kepada Prabowo, Sandi, dan Andi Arief rasanya terlalu berlebihan dan tak sepantasnya dilakukan oleh partai politik sekelas PSI. Sekali pun memang betul tiga tokoh dari oposisi tersebut menciptakan polemik persoalan dengan menyebarkan kabar hoax, tapi langkah PSI ini malah jadi langkah yang “berbahaya” untuk mereka sendiri.
Sebab, mau bagaimana pun PSI berada di arena yang sama dengan Prabowo, Sandi, dan Andi Arief. Tidak ada jaminan di masa depan, mereka tidak akan tersandung persoalan yang sama. Tidak etis rasanya sesama peserta Pemilu mengejek peserta Pemilu lain—dengan cara yang “serius” lagi. Sebab urusan ejek-mengejek seperti itu sebaiknya dilakukan oleh rakyat saja—tidak perlu pakai baju partai.
Kalau pun mau menggunakan baju partai, satu-satunya partai yang berhak mengejek adalah Partai Untuk Kebutuhan Iman (PUKI) yang mengusung capres-cawapres nomor urut 10; Nurhadi-Aldo yang disingkat Dildo. Sebab, PUKI dan Dildo merupakan gambaran betapa banyak yang muak dengan dunia politik di Indonesia. Hm, with PUKI and Dildo we trust.
Semakin kencangnya polarisasi antara cebong dan kampret, lalu lintas hoax yang tiada henti, sekaligus permainan identitas keagamaan yang makin kencang bikin banyak rakyat benar-benar menaruh harapan ke Dildo. Dengan guyon-guyon yang sebenarnya receh—tapi karena Dildo tidak mungkin mengkhianati rakyat, segala macam ide kampanye mereka justru jadi begitu renyah dan mashoook.
Keberadaan Dildo dan PUKI benar-benar memberi angin segar, usai PSI semakin hari semakin sok-sokan menilai diri terlalu tinggi. Sikap percaya diri memang penting, tapi tidak ada yang suka kalau caranya kelewatan.
Seperti pemberian piala kebohongan ini misalnya, PSI secara tidak langsung mencitrakan diri sebagai partai yang paling tidak bisa terpapar hoax, paling suci, paling bersih, sampai paling progresif. Hal yang justru memberi beban yang kelewat berat untuk mereka sendiri.
Akan sangat mengerikan jika misalnya—semoga tidak—kalau mereka terkena kasus yang sama di masa depan. PSI seolah tidak belajar dari Partai Demokrat pada Pemilu 2004 yang mencitrakan diri sebagai partai paling anti dengan korupsi.
Kenyataannya? Partai Demokrat justru menjadi partai yang tersandung mega-skandal korupsi Hambalang. Citra negatif yang sampai sekarang sulit dilepaskan dari mereka. Semoga saja PSI tidak bernasib sama.
Padahal ketimbang PSI, hanya PUKI dan Dildo saja yang pantas merasa paling suci dan paling nggak mungkin nyebar hoax—karena betulan bebas kepentingan.
Kalau PSI mah sudah jelas-jelas ingin Jokowi menang dan Prabowo nyungsep. Kritik-kritiknya nggak bakal bisa netral dong. Beda dengan PUKI dan Dildo dengan memberi wajah politik yang jebul bisa menyenangkan kalau bebas kepentingan, atau kepentingannya cuma satu: hiburan.
Hal ini bisa dibuktikan dengan postingan Dildo di Facebooknya, yang sempat dimintai tolong oleh timses salah satu capres untuk ikut mendukung. Tapi dengan elegan, Dildo membalas dengan cara: mem-posting percakapan tawaran itu. Kurang ajar brilian memang cara membalasnya.
Independensi PUKI dan Dildo benar-benar canggih sekaligus mempertontonkan betapa politik bikin para timses sudah tidak peduli rakyatnya mau bahagia atau tidak. Semuanya kok ya mau dikuasai dengan kemaruk untuk kepentingan sendiri. Satu-satunya hiburan rakyat ini saja kok ya tetep mau diambil juga. Kurang ajar sekali memang.
Uniknya, dengan bukti utuh seperti itu pun, Dildo tetap menyembunyikan identitas pihak yang menawari “proyek” tersebut. Nggak ada kok kemudian bikin piala atau piagam terus ditandatangani ketua partai lalu diberikan ke pihak yang nawari. Soalnya memang Dildo ini sudah tiada lawan politik yang sepadan. Karena mereka memang sudah berhasil memenangkan hati rakyat.
Benar-benar jauh lebih elegan ketimbang cara receh PSI.