Sayang Orang Tua Tidak Menghalangi Kita untuk Membohongi Mereka. Kenapa Ya?

MOJOK.CO Beberapa orang anak berbohong kepada orang tua dengan niat maksimal, tapi beberapa lainnya jadi merasa bersalah seumur hidup.

Saya baru tahu ada laptop yang beratnya kurang lebih sama dengan jatah beras zakat fitrah waktu adik saya SMP. Sebagai videografer andalan di ekstrakurikuler yang dia ikuti di sekolahnya, adik saya gigih menunjukkan katalog laptop pada bapak saya yang memang sudah menjanjikan hadiah kalau karya adik saya berhasil jadi juara.

“Ini bagus.”

“Tapi, kok,” potong saya, “namanya laptop gaming? Buat main game?”

“Kamu jangan jadi anak berbohong kepada orang tua, dong!” kata saya kemudian, mendadak bersikap sangat motivasional.

“Ya udah sih, Mbak, hidup hidup gue. Kadang yang bener buat lo kan nggak harus diikutin,” jawab adik saya sambil scroll Twitter-nya Kirana Larasati.

Hehehe. Nggak, ding. Bercanda.

Pada akhirnya, laptop gaming itu kebeli juga dan saya kedapatan tugas untuk mengantar laptop tadi ke adik saya yang kala itu bersekolah di Solo. Allahuakbar, hampir sepanjang jalan saya diuji kesabarannya. Heran, kok ada sih orang yang niat banget nyiptain laptop yang beratnya udah kayak beban hidup gini???

Laptop gaming kemarin jadi bahan pembicaraan di lini masa gara-gara sesuatu yang mengingatkan saya pada si adik. Kalau adik saya berhasil membujuk Bapak gara-gara Bapak nggak tahu-tahu amat soal laptop, seseorang yang lain malah benar-benar berniat membeli laptop gaming dengan harapan ibunya bakal percaya laptop tadi akan mendongkrak prestasinya di sekolah.

https://twitter.com/juriglagu/status/1171459510533160960?s=21

Hanya dengan melihat gambar yang ditayangkan, kita langsung tahu ke arah mana utas tadi bercerita: tentang seorang anak berbohong kepada orang tua. Maksud saya, ya ngapain niat amat minta penjualnya untuk menghilangkan kata “gaming” kalau bukan untuk menipu ibunya sendiri???

Uniknya, si penjual mendukung skenario permintaan si calon pembeli—entah karena merasa punya solidaritas atau memang dia BU banget dan akhirnya menuruti request super absurd tadi. Saya belum tahu apakah akhirnya calon pembeli tadi berhasil membeli si laptop “GApai rankING” atau tidak, tapi ada sesuatu yang perlu digarisbawahi di sini.

Fenomena anak berbohong kepada orang tua sebenernya bukan hal yang baru-baru banget. Bahkan, disadari atau nggak, kita mungkin juga pernah berbohong pada orang tua, apa pun alasannya. Saya pernah berbohong dan membuat mesin cuci ibu saya rusak (saya pernah menuliskannya sedikit di sini), dan saya yakin saya masih punya banyak daftar kebohongan lain.

Tapi, kenapa sih anak berbohong kepada orang tua?

(((Loh, kok nanya? Kamu tu harusnya ngaca, Sis, ngaca!!!1!!!1!!!!!)))

Dilansir dari PsychologyToday.com,kebohongan anak pada orang tuanya memiliki beberapa alasan, termasuk di antaranya adalah karena ketakutan bakal dihukum atau merasa orang tua tidak berhak masuk ke beberapa “area” tertentu.

Hampir semua orang pernah berbohong pada orang tuanya—masih dikutip dari situs yang sama. Tapi sayangnya, orang tua memang tak sehebat itu mendeteksi kebohongan anak-anaknya. Setidaknya, mereka tidak betul-betul bakal langsung paham bagian apa yang sedang menjadi kebohongan—mungkin itulah sebabnya ada anak yang berani-beraninya berniat menipu ibunya sendiri soal laptop gaming yang mendadak berubah nama menjadi laptop “GApai rankING”. Ckck.

Tapi, yang lebih menyedihkan, dalam penelitian yang sama, sebuah simpulan menunjukkan bahwa ada hal lain yang lebih sering terjadi, yaitu…

…kitanya udah jujur, eh masih tetep aja dikira sebagai anak berbohong kepada orang tua.

BACA JUGA Sudahlah, Jangan Bohong Saja Sudah Cukup untuk Belajar Islam atau tulisan Aprilia Kumala lainnya.

Exit mobile version