Saya Kira Cuma Kola-Kola yang Palsu, eh Ternyata Coca-Cola Sama Aja!

tebak-tebakan

MOJOK.COAda yang klaim Coca-Cola yang selama ini beredar di Indonesia adalah palsu. Ealah, saya kira yang palsu cuma Kola-Kola.

Sepanjang usia saya hingga seperempat abad ini, saya baru saja memperoleh fakta yang cukup mengejutkan. Suatu hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya, masuk menjadi pengetahuan baru di hidup saya. Tiba-tiba, ada seseorang di Twitter yang ngasih tahu kalau Coca-Cola yang selama ini beredar di Indonesia, adalah palsu.

Bagaimana saya nggak terkejut? Awalnya, saya cukup nggak terima kalau ternyata merek minuman yang beberapa kali saya beli dan tenggak itu dinyatakan palsu oleh seseorang. Kok bisa? Padahal kan, selama ini saya sudah berusaha membelinya di toko-toko bertanda khusus yang kelihatannya kecil kemungkinan bakal menjual barang-barang palsu. Masak sih, para pemilik toko-toko itu telah membohongi saya dengan menjual Coca-Cola palsu?

Usut punya usut, ternyata ada sejarah panjang soal produk ini yang dijelaskan dalam thread berikut.

 

Setelah membaca penjelasan tersebut, saya tidak lagi merasa terkejut. Akan tetapi, merasa sedih dan kesal. Begini, saat masih sekolah dulu, rasa-rasanya uang saku saya nggak ada cukup-cukupnya untuk beli Coca-Cola. Ya, kalau saya memaksa untuk membelinya, itu artinya saya harus mengikhlaskan diri untuk nggak jajan seharian atau mungkin beberapa hari.

Sebetulnya, saya nggak ngerti-ngerti amat berapa harga produk ini saat saya masih kecil dulu. Namun, dari ke-eksklusif-an bentukannya dan nama besar mereknya, saya yakin betul pasti harganya nggak murah. Saking merasa ciutnya melihat kemampuan untuk membeli, untuk mengetahui soal harganya saja saya nggak berani.

Kalaupun saya punya uang jajan lebih, misalnya dikasih Om dan Tante yang datang berkunjung, kecil kemungkinan orang tua saya memperbolehkan untuk membelinya. Minuman bersoda, dianggap nggak sehat dan bisa menyebabkan batuk. Dengan hitung-hitungan keuangan keluarga, mereka nggak mau mengeluarkan uang lebih banyak lagi untuk membelikan saya obat. Jadi, langkah preventif adalah jalan satu-satunya.

Maka, minuman bersoda paling enak bagi saya saat kecil, ya cuma Kola-Kola. Rasa krenyes di lidah saat minum Kola-Kola, menjadi perkenalan saya dengan soda. Sambil berdoa diam-diam: Semoga saya punya kebebasan minum Coca-Cola suatu saat nanti.

Hingga akhirnya, waktu berjalan dan saya punya cukup uang dan kebebasan—karena telah dianggap besar. Sekadar membeli Coca-Cola, tidak menjadi keputusan yang besar bagi saya. Kalau pengin, ya tinggal beli saja. Kalau nggak merasa puas sama botol yang kecil, ya tinggal beli yang besar. Kalau nggak habis, ya tinggal dibagi-bagikan.

Pokoknya, si Coca-Cola ini tidak lagi menjadi barang tersier. Dia tak lebih dari barang primer yang bisa saya beli sewaktu-waktu kalau lagi pengin. Hingga akhirnya saya mendapatkan informasi bahwa dia yang selama ini saya minum adalah palsu. Bagaimana nggak remuk hati saya?

Ya, bayangkan saya, mengetahui fakta bahwa minuman yang saya idam-idamkan sejak kecil ternyata diklaim sebagai produk “palsu”. Betapa mimpi yang selama ini saya kira sudah tercapai ternyata nggak ada apa-apanya dibanding kenyataannya. Malu sekali mengetahui fakta bahwa pencapaian yang sudah saya sombongkan itu, tak berarti apa-apa.

Saya kesal. Kenapa mbaknya malah ngasih tahu, sih?

Ia palsu. Sementara yang asli di Meksiko. Sebuah tempat yang sangat jauh dan butuh biaya besar untuk mendatanginya. Saya sedih, ketika tahu bahwa untuk bisa meminum Coca-Cola asli, butuh usaha berkali-kali lipat dibadingkan perubahan dari minum Kola-Kola ke Coca-Cola yang dibilang sama-sama palsu itu.

Jadi ingat “punggung ayam” di cerpen Hanya Isyarat-nya Dewi Lestari. Terkadang, kebahagiaan memang bisa lahir justru saat kita tak mengetahui apa-apa.

Exit mobile version