MOJOK.CO – Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) memprotes soal larangan penggunaan plastik di Indonesia. Pendapatan dari sampah plastik jadi menurun drastis, Bosque.
Sudah sejak lama penggunaan plastik di dunia dikritisi karena persoalan lingkungan. Sampah plastik memang jadi masalah karena kelewat lama untuk bisa diurai di Bumi.
Wajar kemudian kalau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah giat menyelesaikan aturan soal plastik sejak lama. Bahkan KLHK memberi target kalau urusan sampah plastik ini bisa berkurang sebesar 30 persen untuk 10 tahun ke depan.
Masalahnya, urusan membatasi penggunaan plastik ini ternyata nggak semudah itu. Dalam bayangan kita, urusan plastik ini tentu bakal bermasalah dengan pengusaha-pengusaha plastik, namun ternyata pihak yang protes justru bukan dari sana, melainkan dari teman-teman pemulung.
Ya, situ nggak salah baca: pemulung.
Baru-baru ini, Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) memprotes perilaku pembatasan plastik. Bentar, bentar, jebul ada tho itu paguyupan pemulung di Indonesia tuh. Baru tahu. Hehe.
Protes kayak gini sih wajar, sebab paguyupan yang menyuarakan aspirasi pemulung di seluruh Indonesia ini merasa terusik karena program yang disiapkan KLHK ini jelas sangat berpengaruh pada mata pencaharian mereka.
Bahkan, di Jakarta saja sudah ada pengurangan volume sampah plastik yang berarti mengurangi potensi pendapatan para pemulung. Mungkin jumlahnya nggak begitu kelihatan bagi masyarakat kelas menengah kayak kita, tapi bagi pemulung, jelas terasa.
“Di tempat kami, Pulo Gadung dan Bantar Gebang, di dua tempat itu botol plastik sudah menurun,” kata Pris Polly Lengkong, Ketua IPI seperti laporan CNN Indonesia.
Protes mereka pun juga berlandaskan pada data, bahwa sebanyak 3,7 juta pemulung dari 25 provinsi di Indonesia sangat bergantung dengan sampah plastik. Sebab tidak seperti sampah yang lain, plastik sangat mengutungkan karena bisa dijual sebagai bahan daur ulang.
Ketua Ikatan Pemulung Indonesia ini juga menjelaskan kalau dari sampah plastik, seorang pemulung bisa menghasilkan duit sebesar Rp100-150 ribu untuk satu kampung saja. Sedangkan kalau di jalanan perkotaan, dari plastik, pemulung cuma bisa menghasilkan Rp50 ribu per hari.
Angka ini tentu bakal mengalami penurunan dari tahun ke tahun karena sudah mulai muncul kesadaran dari masyarakat soal penggunaan plastik. Apalagi saat ini kalau beli sesuatu di minimarket bisa kena tambahan biaya . Daripada kena biaya untuk plastik, mending buat donasi yee kan?
Melihat kesadaran yang (sebenarnya) bagus itu, wajar kalau para pemulung protes karena kantong-kantong sampah jadi makin sedikit plastiknya. Apalagi mulai ada tren-tren untuk mengurangi penggunaan plastik, seperti penggunaan sedotan stainless atau pakai sedotan bamboo.
Tentu saja pihak IPI juga menyadari akan bahaya plastik untuk lingkungan, oleh karena itu IPI tidak protes secara ngawur.
Menurut IPI ada baiknya pihak-pihak terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup atau LSM yang peduli dengan lingkungan, tidak mengampanyekan larangan plastik, melainkan menggalakkan kesadaran daur ulang plastik lebih dulu.
Sebab, berkaca dari aspirasi teman-teman pemulung ini, bisa jadi persoalan plastik yang terjadi belakangan ini sebenarnya bukan pada penggunaan plastiknya, melainkan pada mentalitas buang sampah sembarangannya. Wabilkhusus sampah plastik.
Ya iya dong.
Pada kenyataannya, masalah yang terjadi seperti pada 2018 lalu ada 5 kilogram sampah plastik berada di dalam perut paus yang mati di Wakatobi, sebenarnya bukan pada persoalan penggunaan plastik, melainkan ya karena plastik dibuang sembarangan di laut.
Jadi kalau teman-teman pemulung protes karena kampanye pengurangan penggunaan plastik mulai berhasil, ya itu wajar aja sih.
Selain karena “mata pencaharian gue, elu usik”, bisa jadi mereka berpikir:
Masalahnya ada di buang sampah plastik sembarangan kok solusinya kurangi penggunaan plastik sih?
BACA JUGA SAMPAH PLASTIK DI INDONESIA TERBANYAK KEDUA DI DUNIA, KITA HARUS BAGAIMANA? atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.