Selayaknya pasar, tempat wisata pun bisa diciptakan. Dan dalam urusan menciptakan tempat wisata baru, tak ada yang lebih dahsyat ketimbang masyarakat Indonesia.
Kita memang masyarakat yang sangat mendambakan liburan. Maklum saja, sebagai salah satu negara yang menjunjung tinggi sopan-santuy, kebutuhan akan piknik dan jalan-jalan memang menjadi kebutuhan yang semi-pokok. Dengan atau tanpa status “sebagai syarat untuk mengikuti ujian nasional”, berdarma wisata tetaplah menjadi hal yang sangat-sangat prinsipil.
Ini tentu saja sebuah peluang tersendiri bagi banyak orang. Menciptakan peluang berupa tempat-tempat liburan dan objek wisata baru.
Nah, di sinilah keseimbangan kosmis semesta bekerja. Sebagai negara yang masyarakatnya sangat mendambakan wisata, ternyata masyarakat Indonesia juga punya bakat untuk menciptakan banyak objek wisata.
Kemampuan rakyat Indonesia dalam mengubah tempat apa saja menjadi tempat wisata saya kira adalah salah satu kemampuan endemik yang tak banyak masyarakat di belahan dunia lain mempunyainya.
Salah satu kasus yang paling terbaru tentu saja adalah tempat wisata dadakan lokasi Keraton Agung Sejagat (KAS) di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Tak ada yang menyangka, kerajaan dadakan yang dipimpin oleh Totok Santosa Hadiningrat dengan didampingi oleh istrinya yang dipanggil Kanjeng Ratu dan memiliki nama asli Dyah Gitarja ini bakal menjadi sebuah fenomena menghebohkan. Ia menjadi perintis dari saga kerajaan-kerajaan baru yang bermunculan di Indonesia.
Tak pelak, banyak orang yang penasaran dengan lokasi keraton kerajaan ini. Dalam sehari, jumlah pengunjung yang mengunjungi keraton kerajaan baru ini bisa mencapai 300 orang. Sebuah angka yang tentu saja sangat banyak untuk ukuran kerajaan yang bahkan pakaian prajuritnya dikira seragam drumband oleh penjahitnya.
Itu baru satu.
Tempat wisata lain yang tak kalah dahsyat tentu saja adalah rumah kosong di Kawasan PTPN VIII, Kampung Kertamanah, Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Rumah terpencil ini mendadak menjadi ramai dan kemudian menjadi tempat wisata baru lantaran menjadi tempat syuting film horor Pengabdi Setan garapan sutradara Joko Anwar.
Tak butuh waktu lama bagi pedagang makanan dan minuman untuk mulai membuka lapak di sekitar rumah ini setelah keberadaan rumah ini menjadi viral. Maklum saja, film Pengabdi Setan menjadi salah satu film terlaris di Indonesia saat itu.
Jumlah wisatawan “horor” yang mengunjungi rumah ini tak main-main. Saking banyaknya, sampai ada jasa guide-nya.
Saya yakin, kalaupun rumah tersebut memang-memang benar berhantu, maka ia bakal menjadi hantu yang terkagum-kagum kepada kecakapan masyarakat sekitar dalam mengolah hawa mistis mereka menjadi sumber penghasilan. Hal yang memang sangat-sangat Indonesia.
Tak jauh berbeda dengan rumah di Pangalengan itu, tempat wisata rumah lain yang juga tak kalah heboh tentu saja adalah rumah di daerah Kedu, Temanggung. Rumah tersebut merupakan rumah yang menjadi tempat baku tembak antara polisi dengan kelompok terduga teroris yang mana salah satunya adalah Noordin M Top.
Baku tembak antara kelompok teroris dengan pasukan Densus 88 yang terjadi pada media 2009 itu menjadi salah satu drama perang polisi melawan teroris yang boleh jadi paling menegangkan. Proses baku tembak dan penyergapannya disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi.
Penyergapan disertai dengan baku tembak itu akhirnya menewaskan Noordin M Top.
Kelak, tak berselang lama setelah penyergapan itu selesai, rumah itu kemudian kosong dan mulai menjadi destinasi wisata baru.
Banyak orang yang berkunjung ke rumah tersebut untuk melihat bagaimana penampakan rumah yang enjeadi tempat persembunyian kelompok teroris itu. Mereka ingin melihat bekas lubang-lubang peluru di tembok rumah.
Bayangkan, di banyak tempat, terorisme adalah hal yang menakutkan, tapi di sini, ketakutan itu bisa dikemas satu paket dengan wisata. Kalau bukan Indonesia, mana lagi yang bisa?
Nah, yang paling bangsat tentu saja adalah tempat wisata berupa tiang lampu di jalan Permata Berlian, Jakarta Selatan. Tak ada yang menarik dari tiang lampu tersebut, selain fakta bahwa tiang tersebut pernah ditabrak oleh Setya Novanto.
Hanya berselang sehari setelah tiang lampu itu ditabrak, nama lokasi tersebut langsung muncul di Google maps. Sebuah karangan bunga yang tak begitu utuh juga diletakkan di dekat tiang. Terdapat tulisan ‘Get Well Soon’ serta sebuah patung terbuat dari koran berukuran kecil.
Banyak masyarakat yang tertarik untuk melihat secara dekat tiang tersebut. Beberapa bahkan dengan selonya berfoto di samping tiang.
Bayangkan, daerah lain butuh bikin program visit-visitan, konser-konser jazz, aneka festival, lomba olahraga, parade budaya, dan sebangsanya untuk menarik wisatawan datang ke daerahnya. Sementara itu, Jakarta Selatan cuma butuh tiang lampunya ditabrak Setya Novanto agar wisatawan mau datang.
Fenomena itulah yang selayaknya menjadi masukan bagi Kementerian Pariwisata agar mereka jeli melihat celah peluang ini. Berdayakan Setya Novanto untuk menabrak tiang-tiang lampu di daerah-daerah yang lain untuk meningkatkan geliat pariwisata. Kalau perlu, bikin program satu kabupaten satu tiang lampu.
Ah, saya rasanya jadi semakin cinta dengan Indonesia.