MOJOK.CO – Hasrat buang air besar bukannya hal manusiawi, ya? Lantas, kenapa saat kecil kita malu untuk mengakuinya?
Dulu saat kecil, untuk mengatakan pengin buang air besar ke teman-teman sepergaulan rasanya sungguh memalukan. Rasa-rasanya buang air besar semacam aib yang harus diredam dalam-dalam. Nggak boleh ada orang lain yang tahu.
Akhirnya kalau lagi kebelet dan lagi kumpul sama teman-teman saya sering kali cuma sanggup bilang, “Mau pipis ke toilet.” Itu artinya, saya nggak bakal mungkin lama-lama di toilet dan menikmati setiap edenan yang keluar dengan namaste-nya. Karena saya mengingat, hanya bilang ke mereka pengin pipis saja. Kalau saya kelamaan di toilet, nanti mereka nggak percaya saya ini memang sebatas buang air kecil.
Saya rasa, tidak hanya saya saja yang malu untuk bilang pengin buang air besar. Sepertinya, teman-teman saya saat SD dulu juga banyak yang malu untuk mengakui hasrat itu. Oleh karena itu, nggak heran kalau waktu kelas 5 dulu, ada teman sekelas saya yang sampai buang air besar di kelas. Iya, betul-betul di dalam kelas.
Saya ingat sekali, ketika itu sedang jam kosong. Selayaknya kelas yang sedang jam kosong, kelas jadi sangat ramai. Ada yang main lompat tali di kelas, ada yang bergerombol dan bergosip ria, ada yang serius saling bertukar kertas binder, ada pula yang sedang fokus mengisi biodata di buku diary temannya.
Semua asyik bermain sendiri-sendiri. Hingga akhirnya ada salah satu teman saya yang nyeletuk, “Siapa yang kentut?” Pertanyaan tersebut cukup bikin suasana kelas menjadi lebih tenang karena sibuk untuk menutup hidung masing-masing dan saling menoleh ke teman-temannya yang lain. Saling toleh ini dilakukan untuk mendeteksi muka-muka mencurigakan yang nggak ngaku udah kentut sembarangan.
Namun, selayaknya aktivitas yang dianggap memalukan harga diri, tidak ada satu pun yang mengaku. Akan tetapi, bukannya bau itu menghilang, justru menjadi semakin kuat. Hingga akhirnya kami menyadari: ini bukan sekadar bau kentut belaka!
Perlahan tapi pasti, bau tersebut menguat di salah satu sisi kelas. Sedikit demi sedikit, teman-teman menghindari dari sisi kelas yang tertuduh, saking baunya. Dan hanya menyisahakan satu teman saya yang bertahan. Tak bergerak sama sekali, hingga kemudian dia menangis.
Orang-orang berprestasi di kelas dan sering menjadi andalan, langsung menghubungi guru kami. Karena, tanpa dijelaskan lebih lanjut, kami sudah tahu apa yang terjadi pada teman kami ini. Tidak lama kemudian, guru kami datang ke kelas. Dan membujuk teman kami untuk keluar kelas dan akhirnya mengantarkannya pulang ke rumah. Dan tentu saja, kejadian yang lumayan drama di jam kosong tersebut tidak mungkin terjadi, kalau saja teman saya ini nggak males atau mungkin malu untuk ke toilet karena kebelet buang air besar.
Tidak hanya saat SD, saat SMP maupun SMA pun, rasa-rasanya saya masih malu untuk mengakui hasrat tersebut. Hingga tak jarang, memilih untuk lebih baik menahannya saja. Dan berharap kentut-kentut kecil yang keluar tidak sampai keluar beserta ampasnya. Saya tidak ingin kejadian yang menimpa saya saat SD dulu, harus dialami oleh diri saya sendiri. Kejadian tersebut, sudah cukup memberikan pelajaran bagi saya untuk mamahami antara batas menahan dan mengeluarkannya.
Namun, semakin bertambah tua, saya menganggap hasrat pengin buang air besar ini adalah sesuatu yang manusiawi. Mungkin, ini juga dibantu dengan lingkungan pertemanan saya yang sama-sama memahaminya sebagai hal yang sama. Jadi, sudah tidak aneh dan tidak perlu lagi merasa malu, saat sedang berkumpul dengan teman-teman kemudian mengakui kalau memang lagi pengin buang air besar.
Tentu saja ini bukan sesuatu yang memalukan, sehingga harus ditutup-tutupi dengan usaha keras. Bukan pula, sesuatu yang salah atau bahkan merugikan orang lain. Justru akan tidak baik bagi kesehatan kita, kalau kita memilih untuk menahannya hanya karena malu belaka.
Sepertinya ada urgensi untuk mencamkan baik-baik pada generasi muda kita, kalau mengakui keinginan buang air besar ini sama halnya dengan keinginan manusiawi lainnya. Seperti, pengin makan, pengin tidur, ataupun pengin disayang gebetan. Jadi, tidak seharusnya kita memilih menjadi munafik untuk kebutuhan dasar yang nggak mau diakuin seperti ini.
Sudah tahu kan, nggak ada manfaat apa pun dari menahan sesuatu? Seperti menahan-nahan perasaan pada seseorang tanpa pernah berusaha untuk mengungkapkan. Duh Gusti, abooottt~