MOJOK.CO – Tren nama anak-anak semakin hari semakin rumit. Nama anak menjadi tak ubahnya seperti karya seni abstrak. Semakin tidak dimengerti semakin bagus.
Saya hampir tak pernah tertarik dengan isu atau gosip seputar artis (kecuali tentang isu Andika “Babang Tamvan” yang ternyata akan —atau malah sudah?— menikah lima kali, khusus yang satu ini, saya tak tahan untuk tidak antusias).
Pertahanan saya akan ketidaktertarikan saya akan isu-isu artis selama ini akhirnya roboh juga. Isu yang pada akhirnya meruntuhkan pertahanan saya itu adalah soal Franda yang marah dan geram karena nama anaknya dijiplak oleh orang lain.
Bagi saya, ini isu yang bukan hanya menarik, tapi juga unik dan kelihatannya baru terjadi kali ini dalam dunia hiburan showbiz yang gemerlap.
Ada banyak artis yang namanya, atau nama anaknya dijiplak oleh orang lain. Hampir semuanya tak mempermasalahkan, beberapa malah merasa bangga. Tapi khusus Franda, berbeda ceritanya. Franda merasa, nama yang ia beri untuk anaknya adalah nama yang spesial, butuh banyak daya dan upaya untuk benar-benar bisa menemukan nama tersebut. Mangkanya, Franda murka saat tahu nama anaknya itu dijiplak.
Kisruh menjadi lebih panas sebab yang menjiplak nama anaknya Franda ternyata tidak tinggal diam. Ia, dengan segala argumen yang ia punya, merasa bahwa tidak ada yang salah meniru nama anak orang lain.
Nah, menyimak insiden marahnya Franda ini sungguh membikin saya harus mengeluarkan banyak energi. Maklum, kasus ini membuat saya mau tak mau belajar mengeja kembali. Lha gimana, nama artisnya Franda, alias Efranda Stefanus. Nama suaminya Samuel Zylgwyn. Nama anaknya yang dijiplak Zylvechia Ecclesie Heckenbucker, sedangkan nama akun ibu yang menjiplak nama anaknya Franda adalah Zylvechia Kimberly. Untuk membaca secara seksama, saya harus sedia banyak cairan, sebab kalau tidak, lidah saya bakalan mudah kecethit karena namanya susah-susah semua. Ngeropa semua.
Bayangkan, bahkan untuk sekadar menulis nama-nama di atas, saya harus mengeceknya di Google agar benar-benar tepat.
Setelah mengikuti kasus tersebut, perhatian utama saya justru pada kebiasaan masyarakat kita yang semakin hobi untuk memberikan nama yang, saya menyebutnya “keminggris” dan semakin kompleks.
Tren nama anak-anak semakin hari semakin rumit. Nama anak menjadi tak ubahnya seperti karya seni abstrak. Semakin tidak dimengerti semakin bagus.
Seorang kawan yang berprofesi menjadi guru SD suatu ketika mengeluhkan betapa zaman sekarang susah betul untuk mengabsen nama-nama muridnya yang seiring bergantinya angkatan semakin njlimet.
Orangtua tak segan memberi nama anaknya dengan nama yang pokoknya “barat”, atau minimal punya unsur hurur Z atau X, dua huruf yang dulu jarang sekali dipakai. Lebih dari itu, namanya sering lebih dati tiga kata. Ada yang lima, bahkan tak sedikit yang enam.
Saya tentu saja paham dengan curhatan kawan saya itu, sebab pada kenyataannya, memang demikian yang terjadi. Perkembangan nama “barat” di Indonesia ini memang semakin kolosal.
Nama-nama yang jika disebut niscaya akan membuat kita serasa tidak sedang berada di Indonesia, melainkan sedang berada di sebuah restoran di bilangan lereng pegunungan Alpen sana.
Ini sama rasanya seperti bertemu dengan poster film Indonesia yang berjudul “One Fine Day”, yang mana nama pemainnya adalah Michelle Ziudith, Jefri Nichol, Maxime Bouttier, Amanda Rawles. Atau film “Meet Me After Sunset” yang pemainnya adalah Agatha Chelsea, Maxime Bouttier, dan Billy Davidson.
Dua film yang walaupun itu film Indonesia, tapi buat mengeja nama pemainnya susahnya ngaudubillah setan.
Kalau saja nama sutradaranya bukan Danial Rifky dan Asep Kusdinar, maka sudah pasti saya menganggapnya sebagai film luar negeri.
Dalam kondisi yang demikian, yang lantas saya anggap bakal sangat kesulitan dengan tren ini tentu saja adalah guru bahasa Indonesia yang harus mengajari murid-murid mereka membaca.
Kalau cuma Budi, Susi, Tono, Agus, Kalis, Hasan, dll tentu enak dan mudah buat mengeja. Lha kalau Zylvechia? Empat huruf konsonan beriringan? Ha remuk, buos. Mending ngajar Kertangkes.
Pada lubuk hati saya yang terdalam, saya sebenarnya sangat penuh harap, kisruh kasus Franda soal penjiplakan nama ini menjadi momentum yang memantik dan memicu banyak orangtua untuk tidak memberi nama yang njlimet dan keminggris untuk anak-anaknya, setidaknya itu menjadi andil dalam meringankan beban para guru Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.
Boleh ngasih nama unik, tapi kalau bisa yang tetap mudah untuk dieja. Rina Nananina, misalnya. Atau Danu Ninuninu. Atau Jaka Likaliku Lakilaki.
Ah, tapi apalah saya ini.
BACA JUGA Siapa yang Teriak Monyet, Siapa yang Malu atau artikel Agus Mulyadi lainnya.