Kemiskinan memang hal yang menyakitkan. Namun pada titik tertentu, ia menjadi sesuatu yang paling indah untuk diromantisasikan.
Saya masih ingat dengan cerita-cerita kemiskinan yang indah dan sangat sentimentil. Tentang seorang anak yang girang bukan main karena akhirnya kesampaian buat menonton film di bioskop. Ia girang karena selama menonton film di bioskop, ia tak perlu menonton selingan iklan seperti yang ia lihat ketika ia menonton film di televisi.
Saya juga ingat dengan cerita seorang anak sekolah yang menabung berhari-hari demi bisa membeli Sprite karena sebelumnya, ia sama sekali belum pernah meminum minuman bersoda tersebut. Ketika akhirnya ia meminumnya untuk pertama kalinya, ia begitu takjub.
“Airnya kayak ada semutnya, bikin lidah gatel dan bikin hidung semriwing,” ujarnya.
Saya tentu punya kisah sendiri soal kemiskinan. Sebab, kemiskinan adalah bagian dari hidup saya. Ia nama tengah saya. Saya menghabiskan sebagian besar hidup saya bersamanya.
Salah satu instrumen kemiskinan yang paling saya ingat adalah roti tawar.
Ya, saya punya banyak kenangan tentang kemiskinan dengan jenis makanan ini.
Dulu sewaktu kecil, roti tawar menjadi makanan yang rasa-rasanya mustahil untuk saya gapai. Seingin-inginnya saya makan roti tawar, ia tetap saja tak akan pernah terwujud.
Harga roti tawar bagi keluarga saya terlalu mahal. Apalagi jika lengkap dengan bluben dan mesesnya.
Saking jauhnya jarak saya dengan roti tawar, saat kecil, saya sampai punya standar tersendiri soal kemiskinan melalui roti tawar.
Bagi saya, orang miskin adalah ia yang tak kuat membeli roti tawar. Keluarga saya masuk dalam golongan ini. Orang kaya adalah ia yang kuat membeli roti tawar. Sedangkan orang kaya raya adalah ia yang kuat membeli roti tawar yang sudah dihilangkan kulit rotinya.
Waktu kemudian bergerak sesuai dengan garis edarnya.
Sekarang saya menjadi seorang penulis dengan gaji dan uang royalti yang, walau tidak bisa dianggap sangat besar, namun sangat cukup untuk menghidupi saya, dan orang-orang yang saya sayangi.
Saya sekarang punya kesempatan untuk membalaskan dendam kemiskinan masa kecil saya. Tiga hari sekali saya membeli roti tawar tanpa kulit. Lengkap dengan margarin, meses, ataupun selainya.
Tiap malam, di sela-sela mengerjakan pekerjaan menulis, saya menyempatkan diri menikmati balas dendam saya. Mengoleskan margarin ke roti tawar dengan lotro, kemudian menaburkan meses dengan porsi yang kolosal, kemudian melahapnya dengan penuh nafsu selayaknya anak manusia yang penuh dendam.
Jika saya masih bertahan menggunakan standar kemiskinan masa kecil saya, maka sekarang saya adalah orang yang kaya raya.
Tiap kali saya pulang kampung ke Magelang. Di Pagi hari, saya selalu mendengar sirine dari gerobak penjual roti Swiss atau Sariroti yang melintas di jalan kompleks perumahan dekat tempat tinggal saya.
Saat mendengar suara sirine tersebut, saya selalu sentimentil dan kemudian merenung sejenak.
“Itu roti yang dulu pas kecil saya nggak sanggup beli,” batin saya.
Ya Tuhan. Terima kasih atas kekayaan yang Engkau titipkan kepada saya. Maafkan jika hambamu ini masih belum bisa bersyukur sebagaimana mestinya.