MOJOK.CO – Berlandaskan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, Ustaz Syafiq Riza Basalamah menyarankan orang Islam dengan nama Sanskerta berbau dewa-dewi Hindu ganti nama.
Demi Tuhan, kenapa setiap bulan selalu saja ada keributan soal nama di Internet Indonesia. Bulan lalu sudahlah artis Franda yang emosi berat nama Zylvechia yang disandang putrinya dijiplak oleh penggemar, kali ini potongan ceramah Ustaz Syafiq Riza Basalamah yang jadi perkara.
Ceramah Ustaz Basalamah ini menyerang banyak pemilik atau keluarganya orang yang punya nama Wisnu, Sri, dan Pertiwi. Berikut saya ketikkan ulang perkataan sang ustaz dalam potongan ceramah tersebut.
“Dan ingat! Ada satu bahasa yang sering diungkapkan oleh beberapa manusia, beberapa insan, yang sebenarnya tidak boleh, yaitu dewi pertiwi atau bumi pertiwi. Pertiwi itu dewi penguasa Bumi. Kalau kita ngomong bumi pertiwi, berarti kita meyakini ada Tuhan selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena kita tahu, orang-orang selain Islam, mereka memiliki beberapa tuhan, bahkan mereka ada dewi… dewi padi, siapa namanya? Sri. Ibu-ibu ada yang namanya Sri? Diganti itu. Sri itu dewi padi. Ketika kita ngomong, Sri Rahayu, kita [perkataan Ustaz tidak jelas], maka tadi ada yang namanya Wisnu, mudah-mudahan cepat diganti nama.”
Bagaimana menanggapi seruan kepada orang Islam untuk mengganti nama Sanskerta yang terhubung dengan dewa-dewi Hindu semacam ini?
Sebagai orang dengan nama Sanskerta yang walau tidak otomatis kehindu-hinduan dan kedewa-dewaan, saya punya aspirasi tentang perkara ini.
Saya sendiri tak tahu apa arti nama saya yang lain. Yang saya tahu, nama depan saya, Prima, dimaksudkan untuk menandai bahwa saya ini anak pertama. Saya nggak tertarik cari tahu setelah orang tua saya suatu kali menceritakan sejarah nama saya. Lagian nama itu membuat saya bertahun-tahun jadi korban gojek kere guru-guru sekolah saya yang berhumor rendah
“Sekarang, Astrea Prima, silakan maju ke depan dan jawab soal nomor 2.”
Hati saya menangis mendengar becandaan garing seperti itu.
Orang tua saya menyambut kelahiran anak pertama mereka dengan bertengkar hebat sampai mengeluarkan kata “cerai” hanya karena tidak bisa bersepakat saya mau dinamai apa-apa. Masing-masing dari mereka punya pilihan nama sendiri.
Untuk menyelamatkan rumah tangga seumur jagung mereka, saya yang bayi merah dibawa ke rumah paman dan bibi ayah saya. Kakek dan nenek saya itulah yang memberi saya nama.
Nafsu mencari arti nama Sanskerta saya juga hilang setelah saya tahu sejarah nama adik ketiga saya, Devi. Devi adalah ejaan asli untuk kata Dewi yang sudah dijawakan. Apakah ia dinamai begitu karena ayah saya punya aspirasi kehindu-hinduan yang menyelip di iman Islam-nya? Nggak juga. Makna nama Devi as simply as singkatan “Adek Afi”. Dia dinamai Devi karena kakaknya, adik saya nomor dua, bernama Afi.
Kreatif. Bangat.
Saya rasa, sangat mungkin orang tua menamai anaknya Pertiwi, Wisnu, Sri, Dewi, Devi, Laksmi, Ganesa, Saraswati, Rama, Krisna, Kresna, Agni, Surya, dan seterusnya, dan seterusnya hanya karena merasa nama-nama itu keren, enak disebut, dan terdengar seperti nama-nama bangsawan, tanpa mengerti sama sekali bahwa itu nama-nama dewa Hindu.
Ataupun kalau ngerti, mereka cuma merasa nama itu keren, tanpa bermaksud menduakan tuhan. Mau menduakan Tuhan macam apa, aktualnya orang tua teman-teman masa kecil saya yang bernama Wisnu, Dewi, dan Pertiwi toh tetap sama kerasnya dalam menyuruh kami berangkat ngaji di TPA.
Wisnu Prasetya Utomo, teman saya yang pengamat media itu, bahkan tahun ini diajak kakak dan orang tuanya berangkat umrah.
Jadi, terlepas dari semua kerepotan yang orang tua sudah limpahkan kepada kita akibat nama yang mereka berikan, biarkanlah apa yang sudah terjadi, tetap terjadi. Mari kita tinggalkan masa lalu untuk fokus menatap masa depan.
Sebab, kalau masalah ini kita besar-besarkan, saya takut perilaku semacam ini akan ditiru oleh kelompok lain yang tak kalah ekstremnya dalam hal anti-antian.
Mereka adalah kelompok Kiri ekstrem. Dan ini saya alami sendiri dengan pacar saya yang membanggakan diri sebagai seorang stalinis.
Dalam cakap-cakap halu ketika saya dan dia sedang sama-sama bosan, kami kadang membicarakan rencana nama anak(-anak) kami. Walau kami masih berdebat akan punya anak berapa, sementara adik saya pesimistis saya akan menikah dengannya mengingat kelakuan saya yang tiap tahun ganti pacar, obrolan itu lumayan menyenangkan.
Sampai kami masuk ke usulan-usulan nama.
Semua nama yang saya usulkan ditolak.
Alasannya? Berkisar dari “nama itu terlalu feodal”, “nama itu seperti nama tuan tanah”, “nama itu seperti nama borjuis”, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Kalau semua-semua kamu tolak, lalu anaknya nanti kita namai apa, Yang?” tanya saya.
“Iosif.”
Demi Tuhan, dia mau namai anak saya pakai nama depan Stalin.
Sampai dia mencabut usulan itu, saya sudah sangat yakin, saya nggak akan nikah sama dia. Sekali tidak, tetap tidak.
BACA JUGA Nasib Punya Bapak Nggak Kreatif, Kasih Nama Anak Cuma Satu Kata dan Njawani atau artikel Prima Sulistya lainnya.