Review Love for Sale 2 yang Katanya The Most Horror Love Story

review love for sale 2 resensi film mojok.co arini ican indra tauhid richard rokok film horor film bagus film indonesia terbaru

review love for sale 2 resensi film mojok.co arini ican indra tauhid richard rokok film horor film bagus film indonesia terbaru

MOJOK.COFilm Love for Sale 2 (Andibachtiar Yusuf, 2019) melanjutkan film pendahulunya yang berkisar pada kisah Arini dan Richard. Kali ini Arini dapat klien baru, yaitu Indra Tauhid alias Ican.

Jika Richard (Gading Marten) membutuhkan cinta untuk dirinya sendiri, beda kasus dengan Ican (Adipati Dolken) yang banyak “cinta”. Namun, Ican butuh cinta yang sesuai dengan kriteria calon mantu idaman versi ibundanya. Ajaib, semua kriteria itu ada pada diri Arini (Della Dartyan).

Hebat memang Arini ini. Bisa menyesuaikan diri di berbagai situasi. Di lingkungan urban di arc Richard, Arini menjelma menjadi karakter yang penuh inisiatif dan pinter ngeles. Di perkampungan Ican, Arini berubah jadi pribadi yang kalem nan supel. Lantas Arini jadi tetangga favorit semua warga kampung.

Arini yang adaptif jadi sosok yang adiktif. Ketergantungan Ican dan keluarganya kepada Arini inilah yang jadi bom waktu. Sebagai pacar sewaan, Arini terbilang profesional. Dia bisa masuk ke kehidupan kliennya secara halus. Ucapannya penuh soft selling. Namun, Arini tetaplah seorang karyawan Love, Inc.

Seharusnya kliennya baca term and condition sebelum pesan jasa Arini, jangan main setuju-setuju aja. Saking Arini menghayati peran, kliennya terlena. Baik Richard maupun Ican lupa bahwa segala drama dan romansa ini berdasarkan kontrak.

Sebagai pekerja di industri kreatif, Arini hanya menjalankan tugasnya. Arini memang menaruh hati pada pekerjaannya. Namun, bukan berarti ia tak berbahaya. Soalnya Arini tetap akan pergi setelah masa sewanya habis. Ketika kliennya baper, maka perasaan kehilangan adalah sebuah keniscayaan. Dan itu bukan tanggung jawab Arini.

Di mata penonton yang sudah hafal jalan cerita film pertamanya, Love for Sale 2 masih menampilkan kengerian yang sama. Berhubung masih trauma dengan horor di film pertama, tentulah penonton sudah menyiapkan hati untuk hati-hati terhadap jalinan cerita sekuelnya ini. Kalaupun ujung-ujungnya tetap dibuat patah hati, nggak terlalu berkeping-keping amat.

Namun, para karakter di film tidak punya kesadaran yang sama. Naifnya, mereka menikmati alunan yang dimainkan oleh kecerdasaan sosial Arini. Tak sadar jika Arini hanya pelaku industri. Sementara mereka mendefinisikan cintanya tulus tanpa batas.

Di semesta Love for Sale, ketika cinta sudah didigitalisasi dan dimonetasi, cinta didesain jadi zat adiktif. Untuk menikmatinya, seseorang seperti Richard dan Ican mesti menggelontorkan dana. Seram? O, jelas. Jika tak awas, kita sendiri bisa menuju ke masa cyberpunk itu.

Ngomong-ngomong adiktif, dialog-dialog di seri film Love for Sale bikin nagih untuk didengarkan sebagai bahan kontemplasi. Salah satunya, dialog Richard kepada karyawannya yang menghabiskan jam istirahat dengan merokok. Richard menyampaikan trivia tentang rokok sebagai penyumbang cukai terbesar di negeri ini. Richard memandang perokok sebagai orang dermawan.

Namun, di film Love for Sale 2, rokok diperlakukan berbeda. Seorang tetangga berpesan kepada Ican untuk tidak merokok dan minum kopi di saat dirinya sendiri sedang ngopi dan sebats di pagi hari. Di lain kesempatan, tetangga Ican itu melontarkan tebakan, “Pohon, pohon apa yang berani?”

Ican tak pernah tahu jawaban dari tebak-tebakan itu. Sebab tetangganya keburu wafat.

Jawabannya adalah pohon pisang. Pohon pisang berani karena jantungnya di luar. Dan orang yang menanyakan tebakan itu meninggal dunia diduga karena serangan jantung. Kambing hitamnya? Rokok membunuhmu.

Sama seperti polemik rokok sebagai penyelamat atau penjahat, Arini pun masih bisa diperdebatkan apakah dia baik atau bangsat.

(hrs)

BACA JUGA Halo Jokower, Serangan Kalian ke Anies Baswedan Bisa Jadi Bumerang atau komentar lainnya di rubrik POJOKAN.

Exit mobile version