Pramuka yang Menyenangkan Namun Kadang Bikin Muak

pramuka

Saya punya semacam love-hate relationships dengan Pramuka. Sejak kecil, saya sudah sangat menyukai Pramuka. Maklum saja, sejak kecil, saya sudah sering teracuni dengan sindrom petualangan: menjelajah, berburu harta karun, menaklukkan tantangan, tidur di alam liar, dan sebangsanya. Dan Pramuka, adalah entitas yang, setidaknya bagi saya yang masih kecil, sangat masuk akal untuk memenuhi hasrat petualangan.

Ketika SD, walau tak sesuai-sesuai amat dengan bayangan saya akan konsep petualangan, namun setidaknya, Pramuka toh berhasil membuat saya bahagia.

Pramuka membuat saya akhirnya bisa merasakan berkemah, ikut pesta siaga, dan yang paling penting, bisa membuat saya petantang-petenteng dengan seragam dilengkapi tali dan belati (yang tentu saja tidak tajam, sebab keberadaannya memang lebih bersifat hiasan pelengkap semata alih-alih sebagai alat pemotong). Bagi saya itu memang sangat keren dan sangat militeristik.

Oke, saya paham bahwa militerisme jaman sekarang sangat tidak keren dan tidak wuks, bahkan bagi beberapa orang cenderung menyebalkan. Tapi percayalah, dulu, bagi saya yang rumahnya berada di seberang kompleks akademi militer, melihat tentara dengan belati tergantung di ikat pinggang memang tampak sangat macho dan jagoan. Ayolah, Rambo yang pakai belati itu jauh lebih sangar ketimbang Inspektur Vijay yang pakai pistol.

Namun saat masuk SMP, Pramuka yang dulu saya kenal sebagai kegiatan yang menyenangkan dan penuh petualangan perlahan menjadi tidak lagi menyenangkan.

Senioritas dalam hierarki kepramukaan membuat segala kesenangan berubah. Dulu saat SD kita diasuh oleh kakak pembina yang tak lain dan tak bukan adalah guru kita sendiri. Sedangkan saat SMP, kita diurus oleh kakak kelas yang mentang-mentang lebih senior menjadi sangat menyebalkan. Mereka seperti gagap kekuasaan.

Saat masuk SMA, Pramuka menjadi semakin menyebalkan. Saya yang dulu sangat menyukai pramuka, dengan segala yang menyertainya (termasuk tali dan belatinya yang tidak tajam itu), kini menjadi sangat benci.

Kelak, perjalanan hidup saya kemudian justru mempertemukan saya dengan orang-orang yang ternyata tumbuh dengan baik salah satunya karena Pramuka.

Sebagai penulis, saya tak menyangka jika ada banyak penulis berbakat yang dulu adalah anak-anak Pramuka.

Saya merasa antara penulis dan pramuka kerap punya keterikatan. Saya pikir memang ada sehimpun syaraf di tangan yang membuat seseorang yang ahli tali-temali juga piawai dalam tulis-menulis.

Contoh yang saya pakai tentu saja adalah Puthut EA.

Banyak yang tak tahu, kalau Puthut EA yang penulis dan cerpenis jempolan itu dulunya merupakan pramuka pilih tanding. Seingat saya, ia bahkan sampai pernah ditunjuk untuk mewakili Rembang dalam sebuah ajang pramuka nasional (atau malah internasional? Saya agak lupa).

Itulah kenapa, kalau soal Pramuka, Puthut EA sangat otoritatif. Bahkan kalau kita perhatikan dengan teliti, setiap kedipan mata Puthut EA adalah serupa sandi morse yang memberontak untuk dipecahkan.

Penulis lain yang juga layak untuk dijadikan contoh adalah Pak Bondan Winarno almarhum. Penulis handal yang oleh banyak orang lebih dikenal sebagai ahli kuliner itu ternyata adalah anak Pramuka jempolan.

Saking jempolannya, Pak Bondan yang Maknyus itu bahkan pernah memimpin penggalang Indonesia dalam ajang Jambore Pramuka Dunia di Amerika Serikat tahun 1967.

Contoh lain adalah Yusi Avianto Pareanom. Penulis yang novel terbarunya membuat saya tak henti-hentinya terkagum-kagum itu belakangan saya ketahui pernah menjadi Siaga terbaik se-Jawa Tengah. Tak heran, sebab jika diamati lekat-lekat, di balik tampang Paman Yusi yang tua namun ceria itu, memang tersirat kehidupan masa muda yang keras, masa muda yang penuh halang-rintang, masa muda yang hemat, cermat, dan bersahaja.

Nah, yang paling sahih dan dekat tentu saja adalah calon istri saya sendiri, Kalis Mardiasih. Penulis yang selalu membuat saya terkagum-kagum itu ternyata adalah seorang pramuka teladan. Saat SMA, ia bahkan menjabat sebagai ketua Pradana putri. Lebih dari itu, tulisan pertama dia yang tembus di koran (saat itu Solopos) juga adalah tulisan tentang reformasi Pramuka.   

Singkat kata, sebagai penulis, saya punya semacam hubungan emosional yang, walau nggak dekat-dekat amat, cukup berkesan dengan Pramuka.

Namun, seperti yang sudah saya tulis di atas, saya memang merasakan bahwa pada titik tertentu, Pramuka menjadi hal yang sangat menyebalkan.

Salah satu episode yang membuat saya begitu meyakini hal tersebut adalah sebuah kejadian yang terjadi saat saya kelas 1 SMA.

Saat itu, saya ditanya oleh Bantara, “Dek, kamu cinta sama tanah air nggak?”

Tentu saja saya jawab, “Cinta, Kak!”

Eh, bedebah, setelah saya jawab begitu, Si Bantara tidak tahu diuntung itu kemudian menyuruh saya untuk berbaring di tanah, “Kalau memang cinta, sekarang cium tanahnya!” Ujarnya sambil membentak.

Bangsat. Pramuka kok jadi goblok begini.

Belakangan saya agak merasa bersyukur, sebab apa yang saya alami ternyata masih belum ada apa-apanya ketimbang kawan saya. Amalia namanya.

Suatu ketika, ia pernah ditanya oleh Bantara, “Dasa Dharma pramuka yg kelima apa?”

Ia kemudian menjawab “Rela menolong dan tabah, kak.”

“Kalau begitu, kamu mau nggak nolongin kakak?”

“Siap, mau, Kak!”

“Petik bunga itu”, pinta sang Bantara sembari menunjuk bunga.

Kawan saya kemudian memetiknya, ia lantas memberikannya kepada Si Bantara, “Ini, kak.”

Bukannya berterima kasih, Si Bantara justru mengajukan pertanyaan lain. “Kamu tahu Dasa Hharma kedua?”

“Tahu, Kak. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.”

“Terus kenapa kamu petik bunganya?”

Modiaaaaaaaar.

Exit mobile version