Plagiarisme dalam Motif Absurd Seseorang Ingin Disebut Penulis

Emang apa enaknya coba disebut sebagai penulis? Kan itu bukan pilihan profesi yang aman buat diajukan ke calon mertua?

MOJOK.COPlagiarisme harus diakui sudah jadi budaya laten di negeri ini. Beririsan dengan budaya korupsi, suap, dan kuat-kuatan bekingan.

Tak ada raut bahagia dari Marwoto, seorang mahasiswa semester empat, yang takut-takut karena harus menghadap saya. Air muka dan keringat yang kuyup membasahi kaosnya siang itu sudah menggambarkan kegugupannya yang luar biasa.

Marwoto hanya satu di antara beberapa mahasiswa yang saya minta untuk menemui saya usai kelas hari itu. Tugasnya menulis artikel minggu lalu menurut saya cukup bermasalah. Dan karena masalahnya cukup berat, saya memintanya bertemu di kantin kampus.

“Kamu tahu nggak, Mas, saya bisa tahu kalau tulisan sampean itu copy-paste dari mana?” tanya saya ke Marwoto. Tentu saja itu bukan nama sebenarnya.

Dia cuma terdiam. Dalam posisi ketangkap basah seperti itu memang agak sulit bagi seseorang untuk berkelit.

“Ma-maaf, Pak. Saya sudah plagiat tulisan orang,” kata Marwoto mengaku begitu saja, tak mau menduga-duga dari mana saya bisa tahu tulisannya dicomot dari mana.

“Tulisan yang sampean aku-aku itu, sebenarnya tulisan teman saya, Mas. Itu tulisan lebih dari lima tahun lalu dan saya sudah pernah membacanya. Bahkan ketika saya baca sejak paragraf pertama, saya sudah tahu kalau sampean copy-paste. Cuma yang saya tidak habis pikir, kok ya sejudul-judul dan se-typo-typo-nya bisa sama itu lho. Bahkan kamu sendiri kayaknya tidak baca tulisan yang kamu plagiat sendiri ya,” kata saya.

Itu adegan yang berlangsung tak lebih dari lima menit. Marwoto seperti terbakar di atas kursi neraka kalau harus kelamaan dihakimi soal perilaku plagiarisme yang ketahuan seperti itu.

Usai mengakui kesalahannya, berikut juga dengan mahasiswa-mahasiswa setelahnya, saya tak mau ambil pusing. Saya minta mereka untuk tidak mengulangi lagi. Kesempatan kedua rasanya masih patut diberikan.

Toh, setidaknya pengalaman ketakutan ketahuan plagiat langsung dari dosennya itu bisa jadi bekal yang sangat diingat sepanjang hidupnya nanti. Terutama kalau mereka akhirnya berkarier sebagai jurnalis atau seorang penulis suatu hari nanti.

—000—

Problem plagiarisme di kampus seperti itu tadi, meski hampir selalu saya temukan di tiap kelas yang saya ajar, pada prinsipnya masih bisa diatasi.

Setidaknya, kalau mereka ketahuan melakukan tindakan plagiarisme, pihak yang akan menghukum mereka adalah dosen atau yang tertinggi adalah institusi kampus. Masih ada pihak yang peduli untuk menegur dan mengingatkan. Paling tidak begitu.

Masalahnya, hal yang sama tak berlaku di dunia luar. Setiap penulis yang dengan berani melakukan plagiarisme di dunia luar, terutama di era media sosial seperti sekarang, hampir bisa dipastikan karier kepenulisannya akan runtuh. Kalaupun tidak runtuh, ia akan goyah dan tidak dipercaya lagi oleh orang lain.

Hal inilah yang kerap dialami oleh Mojok sebagai sebuah majelis ghibah. Sepanjang saya kerja di majelis ini, sekurang-kurangnya setiap tahun selalu ada kasus plagiarisme yang ramai dan melibatkan tulisan di Mojok. Orang-orang di luar sana yang memanfaatkan tulisan-tulisan yang ada di Mojok.

Seingat saya, dalam kurun waktu dua tahunan ini, sedikitnya ada tiga penulis di luar sana yang pernah memanfaatkan tulisan-tulisan yang ada di Mojok, untuk diterbitkan di website mereka sendiri (tentu saja copy-paste), nama penulis diganti menjadi nama si pelaku plagiarisme tersebut, lantas konten itu dimanfaatkan untuk mendulang adsense.

Meski saya sangat membeci perilaku plagiarisme, sejatinya pencurian konten seperti itu masih bisa saya mengerti jika motifnya semata-mata adalah cuan. Maksudnya, ya itu tak beda jauh dengan orang nyolong motor atau nyolong alat produksi lainnya. Motifnya emang murni ekonomi. Titik.

Nah, masalahnya, selain motif duit, ternyata ada juga motif lain seseorang melakukan tindakan plagiarisme. Sebuah motif absurd yang sama sekali tak terpikirkan oleh saya sebelum bertemu langsung dengan orang-orang aneh seperti itu.

Dan motif absurd itu adalah: ingin dicitrakan sebagai penulis di hadapan orang-orang di sekitarnya.

Bukan sekali dua kali saja saya menemukan kasus seperti itu. Gejalanya biasanya ada seorang megalomaniak yang selalu memamerkan tulisannya (entah dari esai yang diakuinya ia yang nulis atau buku yang diaku-aku ia yang nulis). Dan tentu saja semua tulisan-tulisan yang ia bagikan di medsos itu adalah hasil comotan dari tulisan orang lain.

Tulisan itu bisa ia alihkan jadi status Facebooknya lalu dikasih embel-embel “oleh…” lalu menuliskan namanya tanpa malu-malu. Ada juga yang mau effort dikit bikin blog pribadi. Terus di blog itu ada puluhan sampai ratusan tulisan orang lain yang sudah diganti nama menjadi karyanya.

Menemukan orang-orang seperti ini, sebenarnya tidak membuat saya marah sama sekali. Hal pertama yang saya rasakan biasanya adalah sedih. Sedih untuk orang yang terbiasa melakukan plagiarisme, sehingga ia sampai menganggap plagiarisme adalah hal yang lumrah.

Tentu saja, ini bukan rasa sedih karena alasan moral atau pribadi luhur bla-bla-bla, melainkan karena rasa sedih bahwa betapa tidak tahunya orang-orang kayak gini kalau dicitrakan sebagai penulis itu tidak ada enak-enaknya sama sekali.

Pekerjaan yang kalau dalam wilayah obrolan arisan atau sedang reuni jadi jenis pekerjaan yang dianggap hobi, tidak begitu menghasilkan cuan, dan dilakukan hanya untuk senang-senang saja. Bahkan stigma pertama yang muncul biasanya: wah, keuangan ini orang tidak stabil pasti. Hawong kerjanya cuma nulis.

Makanya itu, selain merasa sedih saya juga kadang heran, kok ya ada ya orang yang berusaha sekeras itu agar mau diakui sebagai seorang penulis oleh orang-orang di sekitarnya?

Padahal pada saat yang sama, ada banyak penulis (beneran) yang harus berpura-pura mengajar di kampus (seperti saya, hehe), jualan buku, ikut CPNS, jadi pengusaha, ikut penelitan NGO, agar mendapat strata yang lebih baik ketika mau menghadap calon mertua atau ketika ditanya oleh tetangga kerjaannya apa.

Penulis yang sukses, terkenal, kaya raya, royalti sampai ratusan juta memang ada. Tapi jika itu dibuat dalam skala piramida, hanya sedikit yang bisa sampai di atas sana. Di bawahnya, jauh lebih banyak penulis yang kariernya biasa saja, atau bahkan harus nyambi kerjaan lain untuk bisa bertahan hidup.

Dari sanalah perasaan sedih saya muncul untuk orang-orang seperti ini. Melihat ketidaktahuan mereka berjuang sekeras itu melakukan plagiarisme dalam hidupnya, hanya semata-mata bisa disebut sebagai seorang penulis oleh orang-orang di sekitarnya.

Apa orang-orang seperti ini tidak tahu, kalau ketimbang jadi penulis, ternak teripang itu sebenarnya jauh lebih menjanjikan?

BACA JUGA Kok Bisa ya Ada Orang Kepikiran buat Plagiat dan tulisan Ahmad Khadafi lainnya.

Exit mobile version