Namanya juga pemilu, para kandidat baik personal maupun partai politik boleh sesuka hati menjanjikan sesuatu yang bisa ditawarkan kepada para calom pemilihnya. Lha wong namanya juga pemilu, momen paling potensial untuk menjual janji dan program.
Dari mulai Prabowo dengan “Make Indonesia Great Again” (yang kerap diplesetkan dengan Migrain), Jokowi yang masih terus “Kerja… kerja… kerja…” (Kerja terus, kapan pacarannya?), PSI dengan penolakan poligaminya (setia nih, yeeeee), sampai Partai Berkarya dengan konsep mengembalikan “Penak jamanku”-nya itu (Program Birrul Walidain-nya anak-anak pak Harto)
Dari sekian banyak program dan janji yang diumbar oleh para peserta kontestasi pemilu mendatang, PKS boleh jadi menjadi partai yang cukup menyita perhatian.
PKS mendadak hadir dengan program yang, oleh banyak orang dianggap sebagai program yang kontroversial dan lucu.
Program yang ditawarkan oleh PKS adalah program SIM seumur hidup. Program ini oleh banyak orang sangat didukung, maklum, Indonesia ini memang dipenuhi oleh manusia-manusia anti samsat yang malas buat perpanjang SIM. Kalaupun nggak malas, seringnya lupa. Kalaupun nggak malas dan nggak lupa, ndilalah pas nggak punya duit.
Maka, program SIM seumur hidup yang ditawarkan oleh PKS ini cukup menarik.
Namun, program tersebut oleh pihak kepolisian dianggap sebagai program yang ngawur, sebab SIM itu soal kecakapan dalam mengemudi, sehingga statusnya berkala, tidak bisa seumur hidup.
Nah, belum selesai dengan program SIM seumur hidup, PKS kembali melahirkan rencana program yang tak kalah kontroversial. Kali ini, cukup bikin banyak orang meradang, yakni program penyusunan RUU Pemuliaan alim ulama.
Rencana tersebut disampaikan langsung oleh Presiden PKS Sohibul Iman.
“Kalau di pileg menang, kami berjanji akan memperjuangkan lahirnya RUU Pemuliaan Alim Ulama, Tokoh Agama dan Simbol Agama,” ujar Sohibul di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS.
Sepintas lalu, RUU Pemuliaan Alim Ulama ini tampak sangat baik dan meyakinkan. Namun, ia ternyata menyimpan satu polemik tersendiri.
RUU Pemuliaan bagi banyak orang dianggap menciderai semangat kesetaraan hukum dalam masyarakat. Ia menciptakan kasta hukum tersendiri untuk satu golongan.
Pemuliaan seharusnya berlaku untuk siapapun, tak peduli ia ulama atau tidak.
Kalaupun memang harus dibikin pemuliaan atau perlindungan hukum, maka yang lebih berhak seharusnya bukan alim ulama, melainkan para petani, para nelayan, para pedagang kecil, dan para pekerja bawah lainnya yang memang hidupnya hampir selalu berhadapan dengan kesewenang-wenangan.
Alim ulama mah nggak perlu dibuatkan RUU, asalkan sikap dan lakunya baik, peran sosialnya di lingkungan terlihat dengan nyata, serta bikin masyarakat adem dengan keilmuannya, maka dia sudah pasti bakal dimuliakan. Nggak perlu itu RUU-RUU-an.
Ah, PKS, dan juga partai-partai yang lain agaknya memang menjadi bukti sahih dunia perpolitikan kita. Bahwa untuk sekadar bikin rencana program saja mereka tidak becus, apalagi memperjuangkan program dan melaksanakannya.
Kelihatannya (sekali lagi) memang benar apa Pak Pelix Siauw. Khilafah solusinya.