Pentingnya Kursus Pernikahan Biar Nggak Gampang Cerai dan Dipoligami

Tinggal Bersama Sebelum Menikah, Mau Kumpul Kebo apa Adu Banteng? mojok.co

MOJOK.CO Kursus pernikahan membuat kita menjadi pribadi yang terbuka dan tulus. Siapa tahu bisa dimaksimalkan untuk mencegah cerai dan kemungkinan poligami.

Waktu ikut kursus pernikahan di gereja beberapa minggu yang lalu, saya baru tahu kalau di KUA pun sekarang punya “kegiatan” yang sama. Setelah membaca beberapa literatur, saya menemukan kalau Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menyarankan calon pengantin yang beragama Islam untuk ikut kursus pernikahan.

Beliau merasa prihatin dengan grafik angka cerai yang terus meningkat. “Grafik (perceraian) terus meningkat. Adanya kecenderungan generasi muda menganggap pernikahan sesuatu yang biasa saja. Di sini terlihat hilangnya kesucian dari pernikahan yang seharusnya dimaknai dengan baik sehingga tetap terjaga,” kata Pak Menteri dilansir oleh Media Indonesia.

Keprihatinan Pak Menteri itu sudah beliau ungkapkan sejak tahu 2017. Nah, apakah kamu sendiri sudah paham pentingnya kursus pernikahan? Atau menganggap kegiatan berbuah sertifikat itu cuma sebatas syarat?

Kalau buat orang Katolik, sih, proses menuju pernikahan itu bikin kapok. Maksudnya kapok mau menikah lagi. Pun poligami memang nggak diperbolehkan.

Misalnya, untuk mengurus dokumen di Catatan Sipil harus diawali dari surat RT, RW, Kelurahan, hingga Kecamatan. Umat Katolik masih harus mengurus surat keterangan dari lingkungan. Untuk laki-laki yang akan menikah di paroki calon istrinya, dia harus bikin surat pengantar dari paroki sendiri.

Masalahnya, biasanya, ketua lingkungan itu orang sibuk. Mau ketemuan minta tanda tangan udah seperti berburu alien di Area 51. Sulit, ndes! Untungnya, ketua lingkungan di lingkungan saya sangat mudah ditemui.

Setelah itu, kamu harus mengumpulkan surat baptis. Bukan sekadar fotokopian saja, tetapi yang sudah diverifikasi oleh paroki tempatmu tinggal. Tujuannya supaya gereja nggak kecolongan. Suatu kali pernah terjadi ada laki-laki menghamili pacarnya. Dia mau bertanggung jawab menikahi. Namun, setelah dicek lewat surat baptis, si laki-laki ternyata pernah menikah.

Poligami, di Katolik, sangat dilarang. Cerai pun nggak boleh, karena yang sudah disatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Welok.

Nah, setelah urusan berkas selesai, boleh langsung kawin? Ya belum, ndes. Kamu kudu ikut kursus pranikah. Ada gereja yang memampatkan kursus pranikah menjadi dua hari saja. Per hari, kursus ini berlangsung seharian penuh. Ada juga yang membagi jadwal kursus menjadi beberapa minggu. Ya sak luwesnya gereja saja, asal kursus.

Awalnya sih saya memandang kursus pranikah ini sebatas formalitas saja. Ternyata, isinya oke juga. Materi yang diberikan sangat beragam. Mulai dari pengantar soal finansial keluarga, soal kekerasan dalam rumah tangga–di mana istri yang banyak jadi korban–hingga mempelajari makna membangun keluarga ala gereja Katolik.

Nah, ketika tahu kalau kursus pranikah juga ada di KUA, saya jadi teringat dengan cerita-cerita betapa suramnya pernikahan bagi perempuan. Banyak yang belum mengetahui apa itu bentuk kekerasan psikis, yang kalah populer ketimbang kekerasan fisik dan seksual. Hinaan “Kok kamu bau ikan asin, sih!” itu termasuk kekerasan psikis yang jahat betul. Bahkan ketika disampaikan dengan bercanda. Makanya, consent menjadi penting.

Kursus pranikah mengajarkan perempuan untuk berani berbicara, sekaligus mengenal jati diri calon suami. Sering terjadi, jati diri seseorang akan berubah. Manis pas pacaran, pahit betul pas udah kawin. Lembut ketika mbribik, tapi kasar ketika minta dibuatkan kopi tiap pagi. Di Katolik, pernah terjadi pasangan nggak jadi kawin setelah kursus pranikah karena jati diri pasangannya terkuak!

Saya setuju dengan Pak Menteri. Harapannya, banyak pasangan yang nggak dengan gampang minta cerai ketika ada masalah. Kursus pernikahan memberikan semacam road map bagi pasangan untuk mengatasi cek-cok dalam rumah tangga. Jangan karena istri pantatnya hitam, laki-laki langung minta cerai. Nggak kelas banget, sih.

Cerai, sebaiknya menjadi solusi paling final, yang nggak boleh dibahas di awal ketika terjadi cek-cok. Kecuali kalau sudah ada kekerasan dalam rumah tangga, cerai memang jadi solusi. Apalagi kalau sudah mengancam keselamatan salah satu.

Satu hal menarik yang bisa dibahas ketika ikut kursus pranikah itu soal poligami. Pihak perempuan kan punya kuasa untuk menolak sebuah pernikahan. Tentunya supaya nggak sampai salah pilih suami. Terkadang, salah satu masalah besar yang malu-malu untuk dibahas itu soal poligami. Ada baiknya poligami ini dibahas sebelum lamaran.

Misalnya, ada teman saya, sebelum menikah, menerima syarat dari calon istrinya soal poligami. Pokoknya, teman saya ini nggak boleh poligami seumur hidupnya. Kamu bisa bilang ini sebagai perjanjian pranikah meski tidak tertulis, tapi dibawa ketika ijab kabul.

Memang, pernjanjian pranikah bukan sesuatu yang lazim di Indonesia. Namun, menarik juga untuk dipakai mencegah cerai dan poligami. Posisi saya di sini sih bukan ingin bergabung di gerakan menolak poligami. Cuma mau ngasih sudut pandang baru saja. Soal poligami tentu masalah pribadi masing-masing dan agama yang dianut.

Perjanjian pranikah, yang dibahasa dengan kepala dingin ketika kursus pernikahan bisa menghindarkan masing-masing dari kebohongan dan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan kalau mau, sekalian bahas soal harta. Kan banyak tuh pasangan yang cerai karena masalah tidak mendapat nafkah.

Intinya adalah kursus pernikahan membuat kita menjadi pribadi yang terbuka dan tulus. Bukan menikah semata biar nggak miskin lagi. Jangan sampai, seperti kata Pak Menteri Lukman, pernikahan kehilangan kesuciannya.

Exit mobile version