Pengalaman Horor Nonton Bareng Film G30S/PKI

MOJOK.COSaya pernah mengalami keharusan nonton film G30S/PKI ini tiap akhir September ketika masih SD. Dan hingga kini, pengalaman horor itu masih membekas.

Saya ingat, kami duduk di aula SD Kanisius Baciro, Yogyakarta, lebih tepatnya di atas panggung di bagian depan aula. Kami duduk dengan rapi, lesehan, tanpa alas. Lantai panggung yang terbuat dari kayu itu yang menjadi alas duduk kami.

Kalau tak salah ingat, kami nonton bareng film G30S/PKI menggunakan proyektor yang ditembakkan ke kain putih berukuran cukup besar. Sebetulnya, saya lebih takjub dengan cara kerja proyektor dan sinarnya yang menimpa kain itu daripada nonton film yang tak pernah diberi pengantar oleh para guru.

Maksudnya pengantar itu dikasih tahu terlebih dahulu film G30S/PKI itu tentang apa, atau mengapa kami harus nonton ramai-ramai tiap akhir September. Kan itu sangat kompleks ceritanya, tentang sebuah peristiwa yang mengubah wajah Indonesia. Beda dong dengan kalau kita nonton Doraemon atau Kesatria Baja Hitam tiap hari Minggu pagi yang disiarin RCTI. Tanpa perlu dijelaskan, dengan nonton saja, kita sudah tahu itu film tentang apa.

Pokoknya yang terekam dalam ingatan saya adalah kata “harus”. “Nanti, kalian harus nonton film.” Kalimat dari guru itu seperti rekaman kaset pita yang diputar terus-menerus di hari nonton bareng film G30S/PKI. Selain kalimat itu, yang terekam dalam ingatan saya hanyalah fragmen-fragmen mengerikan dan itu membekas sampai sekarang.

Mulai dari kata “Cakrabirawa”, adegan seseorang diberondong senapan serbu, adegan membasuh muka dengan darah, adegan penyiksaan jenderal di sebuah rumah, adegan para simpatisan PKI dan Gerwani yang datang ke sebuah tempat dengan mengendarai truk besar – deru truk itu bukin dada berdesir – adegan mayat yang dibuang ke dalam sumur kecil, sampai pengangkatan mayat itu sendiri.

Namun, adegan yang paling membekas dari film G30S/PKI adalah ketika kamera zoom in ke arah tangan yang sedang mengambil silet yang diselipkan di dinding bambu. Adegan kecil itu justru yang paling jelas terekam karena setelah itu, silet digunakan untuk menyiksa tawanan. Raungan dan rintihan ketika silet membeset bagian tubuh manusia itu terdengar mencekam untuk anak SD. Bukan film yang menyenangkan untuk ditonton para bocah.

Apakah film film G30S/PKI sukses menanamkan pandangan soal kekejaman PKI? Saya kira sukses karena terekam hingga saya berusia 30 tahun. Ini kalau kita bicara soal ingatan. Tetapi, apakah film itu sukses membuat saya dan mungkin banyak orang lalu membenci PKI? Tidak juga.

Terutama ketika saya dan mungkin teman seangkatan saya terpapar internet dan laju zaman itu sendiri. Kami mendapatkan beragam informasi, hasil penelitian, bersifat akademis, dari para antropolog, ahli sejarah, dan lain-lain. Paradigma kekejaman PKI itu lalu bergeser, berkembang menjadi pertanyaan. “Apakah Orde Baru memang sekejam itu? Menumbalkan ribuan orang demi pondasi sebuah rezim?” Sampai sekarang, kesimpulan pribadi saya masih tetap mengambang.

Mengapa mengambang? Karena berbagai hasil penelitian akademis itu belum sukses “menelanjangi dalang sebenarnya” di balik peristiwa 1965 itu. Maksud dari menelanjangi adalah menegaskan bahwa Si A bersalah, mendapatkan hukuman, dan yang tertuduh dan para korban tanpa peradilan sehat itu dipulihkan namanya.

Situasi ideal tersebut semakin sulit terwujud ketika kini, setiap September, gaung pemutaran film film G30S/PKI terus bergema. Kini, saya sih langsung paham bahwa hasrat mendorong masyarakat menonton film G30S/PKI itu tak lebih dari sebuah strategi politik. Apalagi menjelang tahun politik dan masa kampanye resmi sudah dimulai. “Tujuannya apa sih dengan mendorong rakyat kembali menonton film horor film G30S/PKI itu?”

Menggaungkan bahwa PKI akan bangkit dengan jutaan pendukungnya? Sejak sama SMA, lalu kuliah, jargon itu sudah sering saya dengar, sampai sekarang. Kalau sejak 15 tahun jargon itu benar adanya, Indonesia sudah berubah jadi negara komunis lagi, saya kira. Padahal, paham komunis itu sudah menemui senjakalanya sejak dulu kala. Paham itu sudah tak laku.

Stigma, bisa sangat berbahaya, terutama di Indonesia ini. Cap PKI, adalah senjata yang seksi untuk terus digunakan demi kepentingan politik. Masalahnya, ketika cap itu kembali diviralkan lewat film film G30S/PKI, bagi kami beberapa generasi 1990an, ingatan yang terpanggil hanya soal kengerian saja. Kengerin, horor kosong, yang kini kami tahu penuh manipulasi.

Jadi, untuk apa sih terus-menerus menggaungkan bahayanya PKI lewat film film G30S/PKI? Lebih baik membahas soal global warming atau masalah ledakan populasi yang mengancam bumi. Kok saya merasa itu lebih berfaedah.

Bagi generasi penyembah Orde Baru yang masih memburu kekuasaan, jangan seret kami, yang sudah melek informasi, ke dalam perang ideologi usang itu. Silakan berkontes di panggung politik. Toh kami ini tahu maksud di balik kerasnya gaung nonton bareng film G30S/PKI tiap September.

Kengerian hanya melahirkan kebencian. Bahkan ketika horor itu ditimpakan kepada orang-orang bersalah. Manusia punya batas welas asih. Kalau itu ditabrak, meski merasa benar, Anda justru mempermalukan diri sendiri.

Exit mobile version