Konser dangdut koplo dengan pasukan joget adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ia bagai satu kesatuan. Harus dibaca dalam satu tarikan napas.
Njoget, ngibing, ngesul, atau apa pun itu istilahnya menjadi sebuah seni tersendiri dalam perdangdutankoploan.
Nah, saya bersama Mojok Institute mencoba membahas secara mendalam tentang fenomena pasukan joget ini. Setelah melalui beberapa penelitian yang tentu saja tidak komprehensif dan sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan
Dari penelitian singkat tersebut, didapat data bahwasanya pasukan joget di konser dangdut koplo terbagi menjadi beberapa kelas atau tingkatan.
Kelas C
Ini adalah kelas yang paling dasar. Para penjoget dari kelas ini adalah orang-orang dengan jam terbang sebagai seorang penjoget yang masih sangat minim. Mereka biasanya berada di barisan paling belakang. Mengamati konser sambil merapal lagu yang sedang dinyanyikan. Dengan perasaan ingin njoget tapi malu-malu.
Maka, yang biasa mereka lakukan hanyalah berdiri di belakang sambil bersedekap. Yang bergoyang hanya kedua jempol tangannya.
Penjoget kelas ini masih butuh sekitar 10 kali konser untuk setidaknya bisa naik ke level berikutnya.
Kelas B
Ini adalah kelas medium. Isinya para penjoget yang berani maju njoget di depan panggung, namun harus didahului oleh penjoget lain. Sebagus apa pun lagunya, dari mulai “Secawan Madu” sampai “Kandas”, ia tak akan pernah mau njoget selama belum ada yang mendahuluinya.
Penjoget pada kelas ini jumlahnya sangat dominan. Hampir 75 persen penjoget yang sering ada di konser-konser dangdut koplo adalah kelas ini.
Kelas A
Ini kelas premium. Isinya para maniak ngibing yang memang sedari awal sudah membulatkan tekad untuk ngibing di depan panggung.
Begitu musik dimainkan, lagu dilantunkan, dia langsung maju ke depan panggung untuk njoget tanpa perlu banyak pertimbangan.
“Nggak mau pulang, maunya digoyang”, itu motto mereka.
Untuk bisa berada di kelas ini, seseorang harus pernah mendatangi setidaknya 50 konser dangdut koplo. Sebab, hal itulah yang menguji mentalnya, dan menggerus urat malunya.
Kelas A+
Ini kelas khusus dan hanya bisa dijangkau oleh mereka yang tubuh dan jiwanya menyatu dengan hentakan ketipung dangdut.
Orang-orang di kelas ini tidak pernah berjoget di depan panggung, melainkan justru berjoget di satu area yang agak jauh dari panggung, di pojokan, kadang jauh di belakang panggung, di area di mana mereka tak bisa melihat penyanyi dan para pemain orkesnya.
Kendati demikian, mereka berjoget dengan begitu khusyuk. Mengangkat tangan mereka dengan gerakan yang sangat geboy.
Mereka tak peduli dengan lagu apa yang dimainkan atau siapa biduannya. Yang mereka tahu, ketika ketipung sudah mulai menghentak, itulah saat bagi mereka untuk lebur dalam aktivitas ngibing yang memisahkan mereka dari segala urusan duniawi.
“Bojo muring, tetep ngibing”