Kepulan asap itu terlihat dari dekat rumah saya. Ia tak segera hilang, malah terlihat makin tebal. Saya tahu bahwa dunia memang penuh kejutan, tapi bagi saya, menyaksikan asap hitam dari pasar yang terbakar tetaplah berlebihan.
Pasar Wonogiri terbakar (lagi), pagi ini. Dilansir dari Tirto, kebakaran katanya dimulai dari lantai dua, lalu menyebar ke atas. Dari yang saya lihat di video TikTok yang beredar, seluruh kios di lantai dua habis dilalap api.
Kepulan asap itu masih terlihat saat perjalanan dari rumah saya menuju bangjo Ponten. Di pekatnya asap itu, saya teringat kejadian sekitar 22-23 tahun lalu. Dua dekade lebih yang lalu, Pasar ini juga terbakar, sebelum dibangun lagi, dan dilalap api, lagi.
23 tahun yang lalu
Mari kembali ke waktu saya masih bocah, 23 tahun yang lalu. Saya lupa kapan tepatnya, tapi kabar pasar terbakar menyebar begitu cepat. Saya dan Bapak pun ke sana, sekitar beberapa jam setelah pasar ludes terbakar. Bapak menghentikan motor di terminal angkuta, di salah satu kios yang menghadap terminal. Panas masih begitu terasa, dan saat itulah saya tahu seperti apa pasar yang sebenarnya. Bangunan habis tak tersisa, hanya tinggal tembok di kios daging yang akhirnya runtuh beberapa waktu kemudian.
Pasar Wonogiri dulu tak sebesar yang sekarang. Saya bahkan lupa dulu tingkat atau tidak. Setahu saya, pasar dulu hanya terlihat seperti bangunan kotak yang begitu tak teratur. Dalam pasar begitu becek, makanya saya tak pernah suka diajak ibu saya ke pasar.
Tapi di sanalah saya beli sepatu bola pertama saya. Di sanalah saya beli tas, sepatu sandal merek Carvil, serta beberapa kenangan lain yang masih terekam hingga kini. Bau busuk sampah, semriwing bau kembang yang dijual di kios bagian depan, beceknya lantai di dekat penjual lele, masih terekam hingga sekarang.
Dulu saat Pasar Wonogiri terbakar pertama, saat saya melihatnya dari terminal 23 tahun yang lalu, saya tak merasakan apa-apa. Ayolah, saya masih terlalu bocah. Tapi kini, rekaman-rekaman itu bikin saya trenyuh. Betul pasar itu becek, dan di beberapa tempat pun kini masih seperti itu, tapi ketika semuanya sudah ludes, ada duri-duri di hati saya yang bikin nafas terasa berat.
Pasar Wonogiri terbakar (lagi)
Setelah pasar terbakar, pedagang menggelar dagangannya di jalan depan pasar. Praktis, saat itu, lalu lintas di daerah Pasar-Baru-Kantor BPS (Saya lupa dulu ini bangunan apa, sekarang sih BPS) lumpuh total. Isinya lapak dari triplek bikinan pedagang. Kegiatan ekonomi pun berjalan lagi. Ada yang jual sayur, sepatu, baju, di jalan itu. Dan di lapak-lapak itulah saya pertama kali melihat tongkol yang dimakan belatung.
Hingga kini, saya tak mau makan tongkol, sesegar apa pun. Bayangannya masih begitu nyata di kepala.
Mungkin sekitar setahun atau dua tahun, bodo amat saya lupa, akhirnya Pasar Wonogiri yang baru jadi. Pasar tersebut berdiri begitu gagah, 3 lantai, berlantai keramik, dan kiosnya lebih tertata. Saya tak begitu menggerutu lagi diajak Ibu ke pasar. Saudara saya pun sempat buka salon di sana. Lama-lama, pasar tak hanya jadi tempat jual beli sayur dan sandangan. Tapi, kini malah jadi tempat kuliner. Ada beberapa penjual yang jadi langganan saya kini.
Tapi dua dekade lebih kemudian, Pasar Wonogiri terbakar lagi. Yang lebih kecut lagi, pasar itu terbakar di masa-masa ekonomi sedang hancur-hancurnya. Di kepala saya, saya tak begitu memikirkan apakah pasar itu akan dibangun lagi. Tapi, bagaimana penjualnya akan bangkit, di masa uang begitu susah dicari, tapi pemerintah juga tak memberi solusi.
Sepanjang perjalanan dari Wonogiri ke Jogja pagi tadi, kepala saya dipenuhi memori-memori saya tentang Pasar Wonogiri. Dulu, saya diajak Ibu belanja di situ. Lalu kini, anak saya yang masih balita, gantian menemani Ibu saya tiap ke pasar. Di kios bagian depan itulah pas foto untuk sekolah anak saya dicetak. Kini, kios-kios tersebut direnggut api.
Saya berdoa agar para pedagang yang terdampak diberi kekuatan. Tapi saya berharap, negara tak cuma ikut-ikutan mendoakan.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Alasan Pemadam Kebakaran Sering Terlambat dan Mengapa Kita Harus Tetap Menghargainya dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
