MOJOK.CO – Sebelum baca ini, sangat direkomendasikan untuk nonton episode PutCast edisi Sabrang Mowo Damar Panuluh dulu. Terutama kalau kamu jamaah Maiyah.
Sepertinya saya harus sepakat dengan satu kesimpulan Mas Puthut EA usai ngobrol ngalor-ngidul bersama Sabrang Mowo Damar Panuluh, atau yang lebih dikenal dengan nama Noe, di PutCast Mojok.
“Dia itu filsuf,” kata Mas Puthut di akhir video.
Oke, oke, saya pribadi tahu, sematan itu bisa jadi agak berlebihan bagi beberapa orang.
Terutama kalau kamu bukan orang yang mengikuti rekam jejak Sabrang, bukan jamaah Maiyah, bukan penggemar Letto, atau bukan pengagum Cak Nun, bapaknya Sabrang.
Oke, mari lupakan dulu soal kesimpulan Mas Puthut itu, dan ayo kita tempatkan obrolan tersebut pada posisi seolah-olah ini adalah obrolan di warung kopi atau di cakrukan yang kebetulan direkam.
Masalahnya, ketika obrolan itu ditempatkan di suasana yang lebih rileks, saya kira tidak sedikit orang yang tak paham Sabrang dan Puthut EA ini lagi ngomongin apa. Ngobrol oposeeeh? Kok mbulet tenan?
Setidaknya kebingungan ini muncul bukan hanya berdasar dari asumsi saya, tidak sedikit komentar di video tersebut yang menyebut kalau obrolan Sabrang ini terlalu “tinggi”, IQ rata-rata nggak akan nyampai.
Oh, sekali lagi, itu istilah yang dipakai mereka yang komen-komen lho ya, bukan dari saya.
Oleh sebab itu, di tulisan kali ini saya akan mencoba sedikit membantu menelisik semesta pemikirannya Sabrang di episode PutCast Mojok.
Ya kalau dianggap gagal monmaap, IQ saya juga nggak setinggi itu. Apalagi tulisan ini juga nggak bisa panjang-panjang amat, bisa jadi tesis atau disertasi nanti malahan.
Nah, untuk memahami obrolan Sabrang ini, kita bisa membagi tiga topik fundamental saja. Tiga topik yang cukup bisa merepresentasikan secara garis besar Sabrang itu sebenarnya sedang menyampaikan apa di PutCast kali ini
Pertama, alasan Sabrang atau Noe untuk memilih jurusan matematika dan fisika di University of Alberta, Kanada. Memahami ini penting sebagai pondasi memahami obrolan bareng Sabrang.
Kedua, tidak terbebani sebagai anaknya Cak Nun.
Ketiga, soal pandangan “dingin” Sabrang terhadap Maiyah.
Meskipun ketiganya sangat berkaitan satu sama lain, tapi mari kita coba bedah satu-satu.
Premis persoalan pertama. Begini: Sabrang memilih jurusan matematika dan fisika, karena mengakui kalau dirinya pemalas.
Yang bikin bingung: Lah, kalau malas kenapa milihnya jurusan matematika sama fisika dong? Ini kan aneh banget. Bukannya dua jurusan itu justru untuk orang-orang pinter dan rajin ya?
Jawaban Sabrang:
“Itu bukan karena (aku) canggih. Itu karena (aku) keset, karena pemalas. Aku pengen belajar sesuatu yang tidak perlu mengupdate. Sepuluh tahun dua puluh tahun ra perlu update cepet-cepet. Paham sekali, (bakal) paham seterusnya. Yang bisa punya sifat seperti itu kan matematika dan fisika.”
Sabrang sempat mengutip pernyataan Elon Musk si CEO mobil listrik Tesla soal “first principle thinking”. Maksudnya kurang lebih, kalau melihat sesuatu itu ada baiknya menggunakan prinsip dasarnya dulu. Dan prinsip dasar yang paling cocok bagi Sabrang ya melalui matematika dan fisika tadi.
Dalam semestanya Sabrang, matematika itu sangat berguna karena itu adalah tools dasar dalam menerjemahkan “aksioma” atau asumsi dasar manusia yang nanti bisa dipakai untuk membedakan mana asumsi yang bener dan mana asumsi yang salah.
Misalnya, saya percaya kalau jarak dari Solo ke Jakarta itu jauh. Aksioma saya itu berdasar pada pengalaman saya yang pernah melakukan perjalanan darat dari Solo menuju Jakarta.
Nah, matematika ini kemudian (dibantu dengan rumus fisika) memverifikasi asumsi dasar saya tadi: bahwa jarak Solo dengan Jakarta itu memang jauh karena ada simbol secara angkanya, yakni 538 km.
Di situlah ada simbol yang dipahami secara unversal dalam bentuk angka. Angka ini kemudian dianggap mampu mewakili kebenaran asumsi saya. (Tolong jangan diperdebatkan dulu soal perspektif “jauh-dekat” ya? Karena itu pembahasan yang lain lagi).
Sabrang kemudian juga menjelaskan, kenapa matematika tidak bisa berdiri sendiri. Ya karena matematika itu nggak ada contoh riilnya di hidup ini. Ambil contoh saja, matematika itu butuh fisika untuk menjadi cocok kalau mau dipakai di kehidupan sehari-hari.
“Matematika itu tidak ada representasinya di hidup karena tidak punya unit. (Angka) 5 itu tidak ada artinya. Tapi kalau 5 kilogram, jelas itu berat, 5 meter itu jelas panjang. Tapi kalau 5 (doang) itu konseptual.”
Dan dari penjelasan ini, cukup masuk akal kalau Sabrang lantas menyebut matematika sebagai language of logic alias bahasa logika. Dan fisika, membantu menerjemahkan matematika untuk berfungsi dalam hidup.
Oke itu pertama.
Premis kedua: Sabrang tidak terbebani menjadi anaknya Cak Nun.
Yang bikin bingung: Lah, masak sih? Kan Cak Nun itu jamaahnya buanyaak dan kontribusinya besar sekali.
Jawaban Sabrang:
“Ini kan sesuatu yang tidak bisa di-cancel atau diganti, anyway. Ya itu sebuah konstanta.”
Njiir, Sabrang pakai istilah matematika lagi dong. Konstata ini maksudnya sama aja ya, teman-teman. Ketetapan nilai yang tidak bakal bisa berubah. Udah, gitu aja.
Salah satu poin kenapa Sabrang tidak merasa terbebani adalah pertama; dia nggak bisa mengontrol anggapan orang (soal Sabrang yang digadang-gadang jadi penerusnya Cak Nun), kedua; Sabrang merasa punya hak untuk tidak percaya dengan anggapan itu.
Apalagi dalam konsep Sabrang, “Tidak mungkin orang bisa meneruskan orang lain. Opo kuwi?”
Dalam hal ini kita harus sama-sama paham, bahwa asumsi seseorang mewarisi kemampuan orang tuanya itu datang dari sejarah yang panjang. Sabrang menganalogikan dengan konsep kerajaan.
Begini penjelasannya. Putra mahkota itu logis kalau dianggap sebagai pewaris sah tahta kerajaan karena arus informasi ada di istana doang. Semua data informasi hanya raja di istana yang pegang.
Akhirnya, secara sederhana, si putra mahkota ini adalah yang paling dekat dengan akses informasi tersebut sehingga dianggap paling berpotensi jadi raja berikutnya. Ya iyalah, putra mahkota kan yang paling terdidik ketimbang orang lain.
Masalahnya adalah asumsi semacam itu sudah menurun akurasinya di era saat ini. Zaman sekarang, arus informasi dan pengetahuan sudah sangat terbuka.
Secara normatif, bisa dibilang semua orang lebih gampang mengakses pengetahuan dari mana-mana. Itu artinya, semua orang punya kesempatan yang relatif lebih seimbang untuk meneruskan jejak orang lain, tidak harus selalu berdasar dari jalur biologisnya.
Meski begitu, Sabrang mengakui kalau segala dasar pengetahuannya saat ini ada pengaruh dari orang tua (dalam hal ini Cak Nun). Pendidikan dari kecil, pengalamannya bergaul dengan pengajian-pengajiannya Cak Nun, hal itu sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir Sabrang.
Hanya saja, Sabrang tidak sepakat kalau hal seperti itu digunakan sebagai legitimasi pasti (Sabrang pakai istilah “prediktor”) bahwa dirinya otomatis bakal meneruskan Cak Nun, nah di poin itulah dia tidak setuju.
Dan hal itulah yang menjadi dasar kenapa Sabrang Mowo Damar Panuluh merasa tidak terbebani menjadi putra dari Cak Nun.
Meski begitu, Sabrang mewanti-wanti, “Tapi bukan terbebani (di sini), bukan berarti saya tidak peduli Maiyah, bukan berarti saya akan ninggalke Maiyah, tak culke, ra peduli dengan Maiyah. Bukan berarti gitu.”
Oke, iku topik kedua.
Sekarang, premis ketiga: Sabrang mengaku dirinya “dingin” melihat Maiyah.
Yang bikin bingung: Lah, katanya peduli Maiyah? Kok dingin gitu? Dingin kan asosiasinya lebih deket ke ketidakpedulian?
Jawaban Sabrang:
“Aku ki rodo bosok dalam sudut pandang emosional. Dingin aku ki.”
Dari tafsir saya, kurang lebih jadi begini.
Sabrang mengaku kalau dirinya pernah melihat Maiyah dalam aspek fungsionalnya saja. Bahwa sebagai jamaah, Maiyah ini sangat worth it untuk ditumbuhkan jadi sesuatu.
Saya bisa asumsikan dari omongannya Sabrang, Maiyah ini sangat berpotensi untuk dikembangkan jadi kelompok yang sangat fungsional.
Kalau mau difungsikan sebagai unit kemanusiaan—misalnya, Maiyah bisa aja dibikin jadi lembaga bantuan. Kalau mau difungsikan sebagai alat pengumpul massa yang punya kekuatan struktural, bisa dibikin ormas. Bahkan kalau mau difungsikan jadi alat politik, Maiyah pun bisa aja dibikin partai.
Bisa “jadi” apa saja ini pun akhirnya merujuk pada fungsinya, tujuannya. Kasarnya, kalau di organisasi itu ada visi-misinya gitu. Toh jamaah Maiyah itu saya pikir sangat mampu kalau mau difungsikan jadi begitu-begitu.
Kurang apa coba? Massa-nya banyak, militan, punya tokoh-tokoh yang jelas serta kredibel, dan begitu berpengaruh.
Masalahnya, jika melihat Maiyah dari aspek fungsional begitu, Sabrang mengaku begini, “Tapi jadi dingin nih aku. Tidak melihat Maiyah sebagai personal connection.”
Bahkan Sabrang sampai menyebut, dalam hal ini dirinya kayak robot. Hehe.
Meski begitu, hal tersebut harus dipahami sejak dari premis pertama yang saya jelaskan tadi. Bahwa keputusan Sabrang memilih matematika dan fisika ketika kuliah, sebenarnya sudah menunjukkan betapa dirinya melihat sesuatu itu dalam konsep-konsep logis.
Dan karena logis, semua jadi harus terukur, dan karena semua perlu diukur makanya pikiran fungsional ketika melihat Maiyah ini muncul dalam kepalanya. Hal ini sebenarnya patut juga untuk dimaklumi.
Sekaligus memaklumi, bahwa kita (mau kamu jamaah Maiyah atau bukan) tak perlu melihat Sabrang sebagai Cak Nun versi mudanya. Mereka berdua punya kekuatannya masing-masing, dengan varian akal yang berbeda dan “kenakalan” yang berbeda pula.
BACA JUGA Cak Nun, Iqbal Aji Daryono, dan Mojok atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.