Pada Satu Titik, Influencer Adalah Profesi yang Aksesibel dan Bisa Mendobrak Sekat Ketidakadilan

ilustrasi Hanya Orang-orang Bermental Baja yang Sanggup Jadi Influencer Indonesia mojok.co

ilustrasi Hanya Orang-orang Bermental Baja yang Sanggup Jadi Influencer Indonesia mojok.co

MOJOK.COMenjadi influencer berhonor tinggi adalah profesi yang sangat mungin dicapai oleh semua orang.

Twit Dea Anugrah tentang ketimpangan yang amat besar dalam iklim pekerjaan sukses memancing pembicaraan utamanya terkait lingkungan kerja influencer. Dea, dalam twitnya, menuliskan betapa tidak adilnya ketika ada orang yang sudah bekerja siang malam namun hanya dibayar 800 ribu sebulan, namun di sisi yang lain, ada selebgram yang dibayar sampai 80 juta untuk pekerjaan yang “hanya” bikin postingan Instagram dalam satu atau dua jam saja.

“Kalau menurutmu dunia kayak gini nggak rusak, berarti nalarmu yang rusak.” Begitu kata Dea.

Dea beralasan, banyak kawan-kawannya yang melakukan kerja-kerja kreatif dengan hasil yang jauh lebih bagus dan bermanfaat ketimbang postingan influencer namun bayaran yang didapat jauh lebih kecil ketimbang pekerjaan yang dilakukan oleh para influencer bertarif puluhan juta.

Banyak yang tak setuju dengan twit Dea karena menganggap bahwa pekerjaan seorang influencer adalah mekanisme pasar yang memang sudah menjadi keniscayaan. Tarif puluhan juta itu didapat dengan banyak perjuangan di baliknya: merawat audience, menjaga interaksi dengan follower, membikin konten yang konsisten, dan bahkan tak jarang, membikin sensasi.

Pun begitu, tak sedikit juga sepakat dengan twit Dea. Mereka menganggap ada yang salah dengan iklim ketidakadilan tersebut. Ada ketimpangan yang amat besar dalam upaya mencari nafkah utamanya karena faktor struktural seperti keterbatasan akses dan lain sebagainya.

Pembicaraan tersebut kemudian memunculkan argumen terkait high risk high return, argumen yang mewajarkan seorang influencer mendapatkan banyak penghasilan sebab untuk menuju titik itu, ia harus menghadapi banyak risiko termasuk salah satunya adalah pembullyan di media sosial.

Namun argumen ini pun kemudian dibantah dengan fakta bahwa banyak pekerjaan yang punya risiko kerja tinggi namun upah yang didapat tetaplah sedikit.

Pada akhirnya, hal tersebut kemudian melebar dan menghadirkan perbenturan antara pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya fisik dengan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya akal. Akal vs okol. Pekerjaan-pekerjaan berat yang kerap menggunakan fisik memang selama ini identik dengan honor yang lebih kecil ketimbang pekerjaan yang lebih banyak menggunakan akal. Gaji seorang manajer dealer motor yang pekerjaannya lebih banyak dihabiskan di kursi kerjanya yang dingin dan ber-AC pastilah lebih tinggi ketimbang gaji sales yang pekerjaannya turun langsung ke lapangan dan membagikan brosur ke orang-orang.

Hal tersebut sepintas lalu memang tampak wajar. Intelektualitas seseorang menjadi tampak lebih dihargai ketimbang kekuatan fisik seseorang.

Kendati demikian, hal tersebut pun sebenarnya tak sepenuhnya bisa diwajarkan. Menurut Iqbal Aji Daryono, mantan kurir dan supir truk di Australia yang kini beralih menjadi penulis itu, di Australia, gap antara gaji pekerja kerah putih dan kerah biru tidak terlalu besar bahkan malah cenderung setara.

Di Perth, tempat Iqbal bekerja dulu, rata-rata gaji karyawan staf dengan pendidikan sarjana sekitar 3.000 sampai 4.000 dolar per bulan. Sementara gaji pekerja sopir, tukang bersih-bersih jalan, tukang bangunan, juga tak jauh beda, angkanya sama-sama berkisar antara 3.000 – 4.000 dolar per bulan.

Ini menjadi bukti valid bahwa bukan sebuah kemustahilan gaji kerja fisik bisa dihargai setara dengan gaji kerja-kerja berpikir.

Kalau begitu, seharusnya ketimpangan bisa dihilangkan dengan mudah, dong? Disparitas gaji yang mencolok antara influencer dengan tukang bangunan atau antara profesi satu dengan profesi yang lain bisa ditekan, dong? Bisa jadi ya, namun bisa jadi tidak. Apalagi kalau itu sudah menyangkut dunia internet.

Internet adalah hal yang baru. Ia menciptakan lingkungan yang tanpa batas. Ia melahirkan banyak hal baru.

Tukang kaca boleh jadi hanya digaji satu setengah juta sebulan, namun jika ia mau rutin mengunggah video “cara memotong kaca”, “cara membuat aquarium cupang”, dan video-video perkacaan lainnya di Youtube dan ternyata yang menonton banyak, ia punya potensi penghasilan yang jauh lebih besar dari gajinya sebagai tukang kaca.

Internet membuat banyak orang mendapatkan potensi penghasilan dari kerja-kerja mudah. Dropshiper, affiliate marketer, blogger, termasuk di antaranya endorser adalah beberapa contoh di antaranya.

Kalau mau melihat dari kacamata keadilan, pekerjaan-pekerjaan di internet dengan potensi honor besar itu justru memunculkan harapan yang tinggi untuk menembus sekat-sekat ketidakadilan bagi banyak orang. Menjadi influencer berwujud selebgram, selebtwit, atau Youtuber, adalah profesi-profesi yang diakui atau tidak, adalah pekerjaan dengan potensi honor besar yang paling aksesibel.

Mau miskin atau kaya, berpendidikan tinggi atau rendah, cakep atau jelek, punya koneksi yang luas atau tidak, punya bapak kaya atau tidak, semuanya punya potensi untuk menjadi seleb di internet.

Penghasilan puluhan juta yang selama ini oleh orang-orang dianggap hanya bisa dicapai oleh orang yang berpendidikan tinggi ternyata bisa diraih oleh orang yang hanya lulusan SD.

Bukankah itu adalah manifestasi keadilan juga? Bahwa orang yang pendidikannya rendah juga bisa punya potensi untuk berpenghasilan tinggi.

Namun, itu juga bisa dilihat sebagai ketidakadilan juga. Bayangkan, kalau ada orang yang lulusan S3 namun penghasilannya sama dengan orang yang hanya lulusan SD, maka akan sangat tidak adil hidup ini. Masak orang yang sudah susah-susah belajar bertahun-tahun di kampus mendapatkan penghasilan yang nggak jauh beda ketimbang orang yang hanya belajar di sekolah sampai SD. Di mana keadilan?

Nah lho. Lantas, bagaimana seharusnya keadilan itu berlaku?

Untuk yang satu ini, tampaknya memang akan selalu rumit, sebab keadilan ternyata relatif juga. Hal yang bagi kita adil, toh belum tentu adil juga di mata orang lain.

Memanglah keadilan sejati hanyalah milik Allah.

BACA JUGA Netizen Menggonggong Selebgram Berlalu dan artikel AGUS MULYADI lainnya. 

Exit mobile version