Menjadi Kanojo Pencinta Anime alias Pacaran dengan Wibu

MOJOK.CO Beginilah rasanya pacaran dengan wibu, sementara saya baru menyadarinya ketika sang pacar sudah hampir membayar lunas dakimakura bergambar Tachibana Kanade.

Pandangan soal anime, produk serial khas Jepang, sedikit berubah di mata saya di tahun pertama perkuliahan. Kala itu, kekasih hati saya (sekarang mantan, semoga doi nggak baca ini)—sebut saja namanya Suripto—mendadak menjelma menjadi orang dengan karakter baru yang membuat saya terkejut. Hobinya membaca komik meningkat, ditambah dengan kemudahan internet yang membuatnya makin sering men-donwload anime-anime yang judulnya saja saya nggak tahu.

Saya—yang playlist lagu di hapenya cuma soundtrack telenovela zaman dulu, semacam Amigos X Siempre, Mariana y Silvana, serta lagu-lagu lawas ala Broery Marantika dan Bob Tutupoli—jelas tidak tahu lagu apa yang didendangkan Suripto tiap kali kami menunggu pesanan kami datang di warung nasi. Saya juga tidak tahu siapa karakter mbak-mbak berambut ungu yang menghiasi layar hapenya dengan tulisan “Ganbatte, Surip-kun!” besar-besar. Saya kira, ketertarikannya pada anime normal-normal saja karena saat itu saya juga menggunakan foto Presiden SBY sebagai wallpaper hape.

Tapi, lambat laun, saya mulai merasa ada yang aneh. Dengan intuisi seorang wanita, saya mulai bergerak mengamati Suripto, baik diam-diam maupun terang-terangan. Setelah dicermati dalam-dalam, barulah saya sadar bahwa Suripto sudah “berkembang” ke arah yang mengejutkan.

*JENG JENG JENG*

Obsesinya terhadap budaya Jepang meningkat—bahkan berlebih-lebihan. Obsesi ini berbanding lurus dengan kegemarannya pada anime, manga, dan figure berbau Jepang yang lalu lalang di internet. Dia mulai lupa tanggal ulang tahun saya (“Kamu ulang tahunnya hari ini apa tiga bulan yang lalu, ya, Beb?”) dan lebih ingat tanggal rilis anime baru di situs yang isinya cuma tulisan judul kecil-kecil dan selalu dibukanya setiap kali kami kencan ke warnet.

Iya, iya, kencan kami pun ke warnet, bukan ke tempat ngopi biar kayak pasangan indie. Alasannya? Ya biar dia bisa men-download anime-anime teranyar, mylov~

Kalau pacar-pacar orang lain suka memberi kejutan pada kekasihnya, atau minimal sesekali mengajak jalan-jalan ke tempat yang menarik dan Instagramable, tidak demikian dengan Suripto. Ia lebih suka berkata, “Yah, duitku abis. Makan di angkringan lagi aja, Beb,” padahal besoknya pamer habis-habisan, “Aku baru saja beli figure karakter anime yang baru. Untung murah, cuma sejuta enam ratus.”

[!!!!11!!!!!!1!!!!]

Foto profil Facebook-nya terus menerus berganti berupa karakter anime perempuan yang rambutnya warna-warni kayak Tante Rambut Palsu di telenovela Carita de Angel. Nama akunnya juga berubah berbau Jejepangan, diikuti dengan gaya-gaya komen yang mulai menyisipkan istilah bahasa Jepang. Dia tidak lagi menulis status semacam “Kemarin aku pergi bareng pacarku,” melainkan menggunakan kalimat yang lebih ribet, seperti “Kemarin watashi pergi bareng ore no kanojo.” Sebelum saya mencari tahu kanojo itu artinya apa, saya juga melihat istilah-istilah lain yang dilontarkannya dan teman-temannya di media sosial: oppai, ecchi, hentai, loli, dan lain sebagainya.

Waktu saya googling, muka saya memerah. Rasanya kesal setengah mati. Kok bisa-bisanya mereka pakai istilah-istilah itu di publik tanpa rasa bersalah sama sekali???

Pada akhirnya, saya mengenal karakter anime yang kian lama kian sering muncul di gadget dan akun media sosial Suripto: Tachibana Kanade, karakter dari anime Angel Beats. Dalam beberapa diskusi di kolom komentar Facebook-nya, Suripto bahkan memproklamirkan Kanade sebagai waifu-nya. Tak jarang, ia menyebutkan keinginannya untuk memiliki dakimakura bergambar Kanade. Dulu, karena saya nggak tahu dakimakura itu apa, saya hanya menanggapi sekadarnya.

“Beb, watashi mau beli dakimakura.”

“Apaan itu?”

“Bantal. Gede.”

“Beli aja.”

“Tapi malu nyuci sarungnya. Ada gambar anime-nya.”

“Ya nanti aku cuciin.”

[!!!!11!!!!!!1!!!!]

O, astaga, saya ternyata pacaran dengan wibu, Saudara-saudara!!! Dan saya baru menyadarinya ketika ia sudah hampir membayar lunas dakimakura bergambar Tachibana Kanade!!!!!!11!!1!!!!

FYI, wibu sering kali merujuk pada orang-orang yang mencintai budaya Jepang dengan kadar berlebihan. Tapi, tenang saja, tulisan ini bukan dibuat untuk merendahkan wibu, apalagi Suripto yang kini tengah berbahagia dengan anak cucunya (lah, tua amat?!). Lagi pula, sebagai wibu, Suripto cukup bersih dan menarik, tidak berbau bawang seperti yang digosipkan orang-orang. Suripto cukup wangi, parfumnya ganti setiap bulan, bajunya juga rapi—meskipun bentuknya tetap saja berupa kaus dengan gambar Kanade di tengahnya.

Tapi, saran saya bagi Anda-Anda yang tertarik pacaran dengan wibu atau merelakan diri menjadi kanojo-nya pencinta anime cuma satu: sabar.

Kenapa sabar?

Ya gimana ya, Sist— nggak pernah, kan, kamu pacaran tapi disuruh pakai akun media sosial yang nama profilnya Tachibana Kanade biar pacar kamu seneng saat membaca komentarmu bertuliskan Sayangkutapi dari akun si Kanade—bukan dari akun dengan namamu? Kebayang nggak kamu disaranin untuk berpenampilan kawaii dengan poni penuh menutupi dahimu kayak di anime-anime, padahal dahimu gampang berjerawat kalau pakai poni? Siap nggak kamu jarang diapelin karena pacarmu menjunjung tinggi prinsip “malam minggu adalah waktunya nonton anime”? Rela nggak kamu dibagi cintanya dengan karakter perempuan 2D yang disukainya sedikit berlebihan, sementara orang-orang menganggapmu hanya sebagai “pacar pura-pura”-nya pacarmu yang dianggap maniak di masyarakat?

Yang nggak kalah penting, kuat nggak kamu nemenin dia nonton anime, sedangkan kamu sebenarnya langsung auto-ngantuk di menit pertama???

Selain itu, bagi beberapa wibu, hukum bersosialisasi memang sedikit berbeda. Kalau kita merasa berinteraksi dengan orang lain adalah suatu kewajiban dan kebutuhan, wibu justru sebaliknya. Aksinya ini didasarkan pada prinsipnya yang meyakini bahwa orang-orang di 3D (dunia nyata) tidak lebih penting dan cerdas daripada tokoh-tokoh anime alias dunia 2D. Tak jarang, ia terang-terangan menulis kebenciannya pada semua manusia 3D di hidupnya…

…tentu dengan embel-embel gombal berupa, “Tapi kecuali kamu, Beb. Hehe. Pokoknya suki da yo.

Hiliiiiih!!!!!11!!!!!1!!!

O, itu belum seberapa. Ada juga klan wibu yang merasa bahwa tindakan menarik diri dari lingkungan adalah sesuatu yang cool dan keren, daripada harus bergabung dengan orang lain dan merasakan kebodohan mereka. Halah, memangnya kamu itu bebas dari kebodohan, bu, wibu???

Pada akhirnya, saya memang menyerah dalam perjalanan pacaran dengan wibu. Sekali lagi, ini tak ada hubungannya dengan bau bawang, tapi sepertinya memang pacaran dengan wibu belum menjadi bakat saya, apalagi passion.

Yaaah, mungkin nanti suatu hari saya bisa, dengan catatan: saya rela bertingkah lucu-lucu gemas pas lagi marah, tsundere, atau bersedia memanggil kekasih saya dengan sapaan Onii-chan setiap hari sambil ber-moe-moe-kyun.

Tapi yang jelas, saya nggak mau lagi pacaran sambil disuruh pakai akun palsu bernama Tachibana Kanade. Hih!

Exit mobile version