MOJOK.CO – Nganggep Youtuber nggak pantas masuk kuliah di jalur prestasi, kayaknya karena banyak yang terbelenggu kalau namanya prestasi hanya dikuasai sama ranking 10 besar doang.
Selama ini, kita masih saja selalu menganggap kalau yang namanya prestasi itu ya cuma soal akademik. Atau paling mentok, ya di bidang olahraga dan keahlian soal IT atau bikin-bikin robot. Jadi, ketika ada universitas yang menginisiasi kalau Youtuber bisa dijadikan salah satu cara kuliah melalui jalur prestasi, langsung banyak yang kowah-kowoh dan orang berbondong-bondong mempercandainya. Padahal, itu nggak lucu sama sekali.
Apa mereka-mereka yang nganggep kalau program jalur prestasi untuk Youtuber ini sebagai guyonan dan berprasangka UPN Veteran Jakarta cuma pengin viral, nggak ngerti soal 9 macam kecerdasan, ya? Apa mereka ini nggak ngerti kalau setiap manusia itu tumbuh dengan kecerdasan yang berbeda, sehingga bikin Howard Gardner seorang tokoh pendidikan dan psikologi, bikin teori multiple intelligences soal 9 macam kecerdasan manusia?
Iya, fyi aja, nggak semua anak itu punya kecerdasan logika-matematis yang tampak dalam kemampuannya dalam mengerjakan soal-soal matematika—sehingga, dengan mudah dia dianggap “pintar” di kelas. Ada pula anak yang punya bakat dan menonjol dalam kecerdasan kinetiknya, intrapersonal, naturalis, musikal, eksistensial, linguistik, intrapersonal, atau visual spasialnya.
Itu artinya apa, Sayang? Artinya, menganggap kemampuan seorang Youtuber itu nggak pantas untuk disejajarkan dengan kemampuan jalur prestasi lain yang selama ini sudah ada, sebetulnya itu sungguh menyakitkan. Khususnya bagi teman-teman kita yang punya kreativitas mumpuni dalam bikin konten.
Youtuber saat bikin konten, itu nggak sekadar bikin doang, loh. Di dalamnya ada kemampuan berbicara di depan kamera, dan itu nggak mudah. Nggak semua orang bisa melakukannya tanpa gelagapan atau plegak-pleguk. Belum lagi mikirin kontennya, editingnya, judul yang clickbait-nya. Itu semua butuh nalar dan kreativitas yang nggak main-main, loh. Apalagi untuk bikin konten Youtube yang original. Bukan sekadar tiru sana-tiru sini. Atau malah… (((cuma konten yang cuma bisa nge-repost postingan orang doang))).
Menurut psikolog anak dan remaja, Kantiana Taslim dilansir dari CNNIndonesia, seorang Youtuber untuk bikin konten yang baik, relevan, dan menarik, diperlukan fungsi kognitif, daya analisa, kreativitas, dan proses berpikir yang strategis. Nggak hanya itu, tapi juga ada pengambilan keputusan dan solusi praktis, sekaligus wawasan yang luas. Jadi, keahlian yang kelihatannya cuma main-main ini, justru menempatkan pendidikan sebagai kuncinya. Pasalnya, itu semua terlahir melalui proses kognitif dan itu harus dikembangkan dan diasah, salah satunya lewat pendidikan formal.
Sehingga, gebrakan untuk menjadikan kemampuan seorang Youtuber sebagai salah satu prestasi, tentu menjadi peluang. Nantinya dapat membuka kemungkinan kemampuan-kemampuan lain juga (((akhirnya))) dianggap sebagai prestasi.
Lagian, apa ya nggak capek terus-terusan nganggep cuma yang pintar di pelajaran matematika, kimia, atau fisika saja yang unggul di kelas? Atau malah jadiin ranking sebagai satu-satunya patokan soal “kepintaran” ini? Padahal, ranking hanya mampu merangkum bab yang itu-itu saja~
Kalau kita masih saja terus-menerus fokus pada hal yang itu-itu saja, apa nggak khawatir kalau “kecerdasan alami” yang diberikan Tuhan akan luntur seiring waktu? Lantaran, dia nggak dikasih kesempatan untuk diasah.
Bukankah dunia ini bisa berjalan seimbang karena ada manusia-manusia yang punya kemampuan berbeda-beda? Kalau bumi ini cuma diisi sama ilmuwan tok, apa ya hidup rasanya sungguh membosankan? Nggak akan terlahir musik-musik bikin adem di Spotify yang jadi satu-satunya teman di segala kondisi. Nggak bakalan tercipta ayam geprek atau indomie. Dan nggak bakal ada akun-akun penyedia jasa konsultasi online, karena orang abai dengan kecerdasan interpersonalnya.
Saya punya teman, sebut saja namanya Herman. Saat sekolah dulu, dia bukan Youtuber tapi dia jago betul main gitar. Teman-teman sekelas saya yang lain nggak ada yang melampaui keahliannya itu. Tapi soal akademik, dia memang tidak terlalu unggul dan sering kali jadi urutan kelima dari bawah.
Lingkungan pendidikan kami, secara tidak langsung mengklaim dia tidak pintar. Mungkin, stigma tersebut terlalu sering Herman dengar. Mungkin, akhirnya lambat laun otaknya menerima dan mengiyakan omongan-omongan dari orang-orang. Hingga, saya cukup terkejut sekitar hampir dua tahun yang lalu saya bertemu dengannya di pusat perbelanjaan dan ia menjadi pramuniaga di sana.
Maaf, bukannya saya mendiskreditkan seorang pramuniaga. Hanya saja, saya kira dia akan tumbuh menjadi seorang musisi yang bakal mencipta banyak lagu—yang mungkin dua atau tiga di antaranya menjadi lagu yang saya sukai di Spotify. Saya kira, kemampuan fingerstyle-nya dalam bergitar bisa membawanya menjadi seseorang yang dia mau.
Dalam basa-basi dan saling sapa di pertemuan singkat itu, saya sempat nyeletuk, “Kamu masih main gitar, nggak?” Saya ingat betul jawabannya, “Hahaha, sudah lupa caranya. Malah sekarang udah nggak punya gitar.”
(((sudah lupa caranya))). Bagi saya, itu terdengar getir.
Kalau saja, Herman ini tumbuh di era sekarang, mungkin akan sedikit berbeda. Setidaknya, tidak terlalu sulit baginya untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana eksistensi untuk menunjukkan kemampuan fingerstyle-nya yang alamak itu.
Eh, tapi kan Herman belum tua-tua banget, ding. Kalau dia memang mau, sebetulnya nggak ada alasan sudah kehilangan kesempatan. (((Kalau dia mau))).
Jadi, apa iya soal kemampuan Youtuber dalam bikin konten ini masih perlu dinyinyiri karena nggak pantas dianggap sebagai sebuah prestasi yang mumpuni? Viral itu jelas-jelas mendatangkan pundi-pundi dollar untuk hidup, loh. Fyi, aja~