MOJOK.CO – Ngerjain skripsi aja udah ribet. Bisa dibayangin pas nggak ada laptop dan internet, susahnya kayak gimana?
Nggak heran kalau generasi bapak-ibu kita, sering menyebut kalau generasi kita ini manja. Mungkin, mereka berpikir dengan kemudahan fasilitas seperti saat ini, selain menjadi bucin sejati yang nekat falling in love with people can’t have, urusan skripsi menjadi sumber kegalauan yang sering dikoar-koarkan.
Pakdhe-Budhe saya, sering kali “menyombongkan” usahanya waktu nggarap skripsinya dulu. Katanya, apa yang kami-kami perjuangkan itu nggak ada apa-apanya. Lha wong fasilitas laptop dan internet sudah memudahkan semuanya.
Iya, sih. Saat saya ngerjain skripsi dulu, saya merasa skripsi sebegitu ribetnya. Tapi, saya nggak pernah mikir: Bagaimana generasi orang tua saya dulu harus bertahan dengan drama-drama skripsi tanpa laptop dan internet? Suatu fasilitas yang sungguh-sungguh memudahkan akan tetapi jarang saya syukuri penuh keberadaannya. Seolah-olah keduanya memang seharusnya ada di situ untuk membantu saya.
Ibu teman saya pernah cerita, kalau pada mesin tik lah, mereka berusaha menyelesaikan salah satu syarat kelulusan itu. Ya, hanya bisa mengandalkan mesik tik untuk menyelesaikan skripsi.
Bayangkan saja bagaimana rasa sakit hati itu hadir berkali-kali lipat saat sedang bimbingan. Saya saja yang mengerjakannya dengan laptop, sering kali masih harus merasa sakit hati saat melihat draft skripsi itu dicoret-coret sama dosen pembimbing. Lha, bagaimana dengan mereka yang harus mengerjakannya dengan mesin tik dan mendapati kenyataan kalau skripsinya itu dicoret-coret dengan penuh rasa jumawa—seolah merasa berkuasa penuh atas skripsi kita?
Dengan laptop, coretan itu memang menyakitkan. Padahal sistem di laptop kita kan masih merekam data skripsi tersebut hingga kita hanya perlu membenarkan yang salah saja. Kita pun masih bisa mengedit tulisan dengan suka-suka. Lha kalau pakai mesin tik? Berarti harus ngetik ulang, kan? Yang literally ngetik ulang?
Belum lagi, kepemilikan mesin tik orang dulu tidak sama dengan pemerataan kepemilikan laptop generasi kita. Bukan hanya soal kepemilikan perorangan. Akan tetapi, tidak semua keluarga punya alat ini. Jadi, perihal semangat ngerjain skripsi nggak lagi dipengaruhi mood seperti yang biasa kita lakukan. Mbel gedes soal mood. Yang penting mesin tik yang bisa dipinjam ada dulu.
Tidak hanya soal nggak-ada-pilihan-lain-selain-pakai-mesin-tik, zaman itu juga belum ada sinyal internet. Padahal sinyal internet ini betul-betul memudahkan kita untuk mengakses e-book atau jurnal tanpa ribet-ribet ke perpustakaan dan tanpa susah-susah nenteng banyak buku ke mana pun kita pergi.
Di zaman yang belum ada akses internet itu, perpustakaan menjadi sumber primer bagi referensi tulisan. Kalau punya uang berlebih ya, bisa bertamasya ke toko-toko buku. Tapi, kalau nggak ya, mengandalkan hubungan sosial dengan pinjem atau tanya-tanya ke kakak angkatan.
Dengan kemudahan fasilitas saat ngerjain skripsi—dibandingkan zaman generasi orang tua kita, saya nggak tahu apa yang membuat makin banyak mahasiswa merasa paling susah sedunia.
Apakah karena memang mental kita yang tidak kuat menerima tekanan? Atau karena orang tua dan lingkungan memberi tuntutan berlebih yang membuat kita semakin tertekan? Ataukah karena “ikut-ikutan” merasa terbebani karena temannya di media sosial juga merasa demikian?