Merindukan Ahok dan “Pemahaman Nenek Lo” tentang APBD Jakarta

Pemahaman_nenek_Ahok_Mojok

Pemahaman_nenek_Ahok_Mojok

[MOJOK.CO] “Saat banyak anggaran ajaib muncul di RAPBD Jakarta, sosok Ahok kembali jadi perbincangan.”

Ahok sudah dipenjara. Ia bukan lagi gubernur Jakarta, tapi hingga hari ini sosoknya masih diperbincangkan. Tidak hanya oleh para pendukungnya, tapi juga mereka yang membencinya. Lho kok bisa? Ya bisa. Di hari-hari pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, nama Ahok dan komentar klasik “Pemahaman nenek lo” menjadi penting dan relevan.

Bukan apa-apa. Kini muncul generasi baru kecebong dan Ahoker gaya baru. Mereka yang tiba-tiba jadi kritis, galak, dan rupa-rupanya menganggap bahwa keberpihakan ala Anies adalah soal bagi-bagi anggaran. Bentar, jangan marah dulu. Ini hal baik. Bukan rahasia jika Ahoker itu kritis, mereka bisa sangat kritis karena punya tradisi skeptis yang diwariskan oleh Ahok. Setiap hal yang disajikan oleh orang yang tak suka kepada Ahok akan mereka periksa dengan saksama, mencari kebenarannya untuk kemudian melakukan pembelaan.

Tradisi ini jelas penting. Dulu, dalam kasus Sumber Waras, banyak betul orang-orang yang tiba-tiba menjadi ahli anggaran, ahli keuangan, dan ahli regulasi. Apakah ini tradisi yang buruk? Ya nggak. Artinya orang tak lagi menerima suatu hal sebagai hal yang terberi. Masak sih orang cuma membela buta? Masing-masing orang yang membela Ahok ini kan pasti membaca aturan, memeriksa anggaran, hingga melihat secara saksama agar kebijakan yang dibikin tidak merugikan negara. Nah, bagaimana membacanya, tentu itu soal tafsir, tapi tradisi bahwa kini setiap aturan dan penganggaran dibaca kritis, itu yang paling penting.

Misalnya, sebelum Ahok atau Jokowi jadi gubernur Jakarta, mungkin soal renovasi, pembangunan gedung, anggaran kunjungan, dan berbagai pengadaan barang di Jakarta belum jadi sorotan. Saya sih belum nemu berita anggaran belanja DKI pada masa Sutiyoso atau Foke diprotes sekencang ini. Sekarang, jangankan mau beli UPS bermiliar-miliar, mau memperbaiki kolam pancuran air dengan dana ratusan juta saja bakal dimaki-maki sebagai bentuk pemborosan anggaran.

Niatnya mau basah-basahan dengan APBD Jakarta, apa daya, nggak bisa.

Apakah ini hal yang buruk? Jelas tidak. Jika dulu Ahok dan timnya yang harus bekerja ekstra mengawasi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan teliti, kini seluruh warga Jakarta dan Indonesia juga bisa. Emang apa urusan warga Patrang, Jember dengan keuangan DKI Jakarta? Memang nggak ada, tapi tradisi kritis mengawasi keuangan daerah ini menular. Pemimpin daerah tak lagi mudah bikin bancakan atau sekongkol membayar utang politik kepada pendukungnya. Kalau dulu yang teriak cuma Ahok, sekarang “Pemahaman nenek lo” bisa jadi kor publik untuk mengendalikan pemimpinnya.

Anjir, susah amat jadi kepala daerah?

Ya, emang susah, yang gampang itu jadi ulama. Kalo kena kasus, ngaku aja dizalimi, ntar yang bela jutaan. Kalo diperkarakan? Ya berangkat umrah aja, nggak usah pulang sekalian. Enak kan? Lagian siapa suruh jadi pemimpin daerah? Emang gampang ngurus Jakarta? Kota ini punya sejarah panjang keruwetan yang nggak bisa selesai dengan retorika dan janji manis. Ali Sadikin harus melawan ulama, menempeleng orang, dan harus berulang kali berurusan dengan LBH Jakarta dalam proses pembangunannya. Tidak mudah memuaskan semua orang, tapi ia bisa berkomitmen membangun dengan keras kepala dan bukan cuma omongan santun.

Ahok mungkin kasar, sangat kasar bahkan, urakan, dan tidak punya kesadaran komunikasi yang baik. Ia jarang sekali berjanji, tidak mengenal retorika, dan selalu blak-blakan. Ia pernah bilang, pemahamannya tentang HAM berbeda dengan kebanyakan orang. Ia juga secara terbuka memaki dan mengucapkan kata-kata kasar di media, tapi apakah ini membuat ia tidak kompeten?

Kalau sekadar santun, Pak Harto itu santun, tapi kita tahu ia punya masalah besar dengan kejahatan kemanusiaan. Kalau sekadar berpihak, keputusan Megawati memberlakukan Daerah Operasi Militer di Aceh ya bentuk keberpihakan, tapi keberpihakannya benar?

Tidak ada pemimpin yang sempurna. Ahok jelas tidak sempurna, ia harus dikritik dan dikendalikan. Dalam 10 kebijakan, ia mungkin dikritik 10 kali, tapi tidak membuat seluruh kebijakan yang ia bikin salah. Tata kelola pemerintahan, pembangunan prasarana transportasi publik, peningkatan kualitas infrastruktur pendidikan, hingga pembangunan ruang publik ramah anak adalah beberapa dari sedikit prestasi Ahok. Apakah seluruhnya baik? Ya nggak, tentu ada yang dikorbankan. Penggusuran paksa dan kekerasan oleh aparat dalam prosesnya adalah satu dari banyak kritik yang dialamatkan kepada Ahok.

Anies dan Sandi jelas punya pekerjaan rumah yang besar. Mengimbangi dan mengejar standar mutu pemerintahan yang dibuat Ahok dengan sangat tinggi. Ahok menerima keluhan terbuka, ia berinteraksi langsung dengan orang-orang yang dipimpinnya. Ia banyak bertikai, marah, dan memutuskan langsung kebijakan sebagai respons langsung pertemuan tersebut. Bukan malah lari, melarang kunjungan langsung ke balai kota, sampai menutup gedung itu dengan korden. Apa yang ditakutkan? Rakyat yang mengadu atau takut ketahuan nggak becus ngurus kota?

Ini kenapa saat kampanye terakhir, Ahok berulang kali menekankan bahwa ia tak mau menipu hanya untuk mendapat suara. Ia bilang akan terus menggusur, ia juga secara terbuka bilang tidak akan berhenti melakukan apa yang ia lakukan. Butuh nyali untuk tetap jujur di saat dengan sedikit berbohong, orang bisa dapat suara. Tapi, buat apa? Berjanji punya konsekuensi serius. Kita harus memenuhinya. Menjanjikan sesuatu yang tak murah punya harga yang mahal untuk dibayar.

Bayarnya lewat apa? Ya anggaran tadi, tapi sekarang susah, orang-orang yang haus dan lapar di bawah Ahok jadi girang di bawah Anies. Tapi, semua masih diawasi ternyata. Oleh publik. Mau naikin kualitas jaringan internet aja diawasi, mau kunjungan dikritisi. Kapan mereka makan besar?

Satu per satu perencanaan yang ada di Pemda Jakarta diperiksa publik. Masyarakat bisa melihat dan mengakses perencanaan itu. Publik kini bisa mengetahui untuk apa uang pajak mereka dan akan dimanfaatkan untuk apa. Ini jelas bukan jasa Ahok semata, tapi Ahok yang membuat tradisi ini bisa dijalankan. Ia mau dikontrol publik dan mau publik tahu apa yang ia lakukan.

Anies dikritik karena sebuah lembaga mendapatkan hibah padahal kantornya kosong. Tim ahli (atau tim sukses?) diakomodasi dalam unit satuan kerja. Ahelah, belum juga berapa bulan menjabat udah dikritik aje. Oh bisa, ini fair, kalau mau jujur, kita ukur efektivitas Jokowi usai serah terima jabatan dari Foke, lalu efektivitas Ahok setelah Jokowi. Nah kita lihat seberapa baik kinerja Ahok dibanding Anies. Kalau udah, apa yang bisa kita pelajari dari semua ini?

Yak benar, keberpihakan nenek lo!

Exit mobile version