Sejak pandemi corona beberapa bulan terakhir ini, orang-orang berbondong-bondong menggeluti hobi dan aktivitas baru. Ada yang bersepeda, beternak lele, bikin cemilan, ikut kelas zoom melulu, sampai membeli dan merawat tanaman-tanaman hias.
Yang saya sebut terakhir adalah aktivitas yang sekarang sedang digeluti oleh istri saya. Dan itu menjadi salah satu cobaan saya sebagai seorang suami.
Hampir setiap seminggu sekali, istri saya selalu merajuk agar diantarkan ke tempat nursery langganannya. Hal yang sebenarnya tak terlalu saya suka. Sebab di sana, nasib saya tak ubahnya seperti seorang suami yang menunggu istrinya berbelanja pakaian.
Saya hanya duduk di pojokan taman sementara istri saya sibuk berkeliling dari depan taman nursery sampai pojok taman, melihat dan memeriksa banyak tanaman dengan seksama layaknya seorang ahli botani jempolan atau petugas penyuluh pertanian.
Kalau hanya sebentar, mungkin tak jadi soal. Sialnya, bagi istri saya, memeriksa tanaman dari segi selera dan estetika tak pernah bisa dilakukan hanya dalam beberapa menit. Ia harus benar-benar meyakinkan dirinya sendiri sebelum memutuskan untuk membeli. Dan keyakinan untuk tiap tanaman biasanya lahir setelah belasan menit pengamatan.
Masalahnya tentu tak hanya berhenti di situ. Sesampainya di rumah, tanaman-tanaman yang sudah dibeli dengan harga yang seringkali tak murah itu kemudian ia letakkan secara rombongan di depan rumah.
Saya tak hafal apa saja nama tanaman yang sudah dibeli oleh istri saya, sebab untuk menghafal nama-nama tanaman tersebut tak kalah susahnya dengan menghafal nama-nama personel Soneta selain Rhoma Irama.
Sebagai seorang mantan desainer grafis, saya selalu agak terganggu dengan komposisi letak tanaman tersebut. Di mata saya, rombongan tanaman itu tampak sangat tidak estetis.
Yang lebih menyebalkan lagi, istri saya dengan entengnya menciduki dan memindah tanah untuk tanaman itu di teras rumah, sehingga teras yang keramik itu kemudian selalu penuh dengan tanah.
Rumah kami jadi tampak seperti rumah seorang pengebul umbi-umbian ketimbang rumah seorang penulis dan pedagang buku.
Saya bukannya tak suka tanaman. Saya suka (apalagi kalau tanamannya kangkung dan sudah dalam versi ditumis), kendati demikian, saya memang agak merasa nggak cocok kalau kemudian harus memelihara tanaman hias dalam jumlah yang kolosal, sebab hal tersebut sangat berpotensi akan menjadi masalah tersendiri.
Pada kenyataannya, kekhawatiran tersebut perlahan mulai menunjukkan gelagatnya.
Istri saya mengira bahwa memelihara dan merawat tanaman hias tak perlu pengetahuan yang banyak, cukup rajin menyiramnya setiap sore dan pagi hari. Padahal, semua orang seharusnya tahu bahwa tanaman hias tak bisa disamakan dengan pohon ketela. Perawatannya sangat berbeda. Saya tahu ini sebab paman saya di kampung adalah seseorang yang hobi memelihara aneka tanaman baik yang hiasa maupun yang bukan.
Hal tersebut mulai disadari oleh istri saya beberapa hari terakhir ini saat beberapa tanaman mulai tampak layu dan tidak segar padahal sudah disiram secara teratur.
Istri saya kemudian mulai rajin meng-googling dan betapa kagetnya dia ternyata saat mengetahui bahwa banyak penanganan-penanganan khusus yang seharusnya ia lakukan agar tanaman hiasnya tetap tumbuh dengan baik. Dari mulai menjaga asupan pupuk, suhu ruangan, kelembaban, sampai pasokan sinar matahari.
“Mas, ternyata tanaman ini (saya lupa apa nama tanamannya) kalau kena panas agak lama jadi layu, jadi harus ditaruh di dalam atau kalau ditaruh di luar harus dikasih jaring paranet,” ujarnya suatu kali.
“Lha memang,” balas saya sok tahu.
“Mas, ternyata tanaman ini (lagi-lagi saya lupa apa nama tanamannya) kalau disiram air pagi dan sore secara malah jadi nggak bagus, justru harus dibiarkan nggak basah-basah banget, nggak lembab,” katanya kali lain.
“Lha memang,” balas saya lagi-lagi sok tahu. Saya memang tak punya jawaban untuk masalah-masalah yang sama itu. Jadi saya jawab template saja.
Semangat istri saya yang menggebu-gebu buat memelihara dan merawat tanaman saya amati tampak mulai menurun seiring dengan fakta bahwa merawat tanaman hias bukanlah hal yang gampang.
Dia sering sekali mengeluh dan curhat kepada saya soal hal ini.
Kalau saja bukan suami yang baik, mungkin sudah saya timpali, “Salah sendiri pelihara tanaman hias, karuan pelihara kemangi, sewaktu-waktu bisa dikremus!”
Untungnya saya masih cukup luhur sebagai seorang suami.
Ah, kita memang suka dengan yang indah-indah, tapi tak pernah suka dengan yang susah-susah.