Menilai Penilaian

Banyak yang mengatakan bahwa urusan good looking itu adalah urusan relatif. Ini tentu saja benar, sebab good looking, atau katakanlah, cakep, menarik, atau apalah, memang tidak ada parameternya.

Kita semua punya parameter tersendiri untuk menilai faktor menarik atau tidak seseorang. Tidak ada parameter yang baku. 

Dalam sebuah wawancara bersama Soleh Solihun, drummer SID, Jerinx –yang doyan minta alamat email sama banyak orang itu– mengatakan bahwa perempuan yang terlalu kurus menjadi tampak tidak menarik di matanya.

Saya pikir, itu penilaian yang lumrah. Banyak lelaki yang juga punya penilaian seperti itu. Termasuk saya. Saya menganggap perempuan yang terlalu kurus memang tampak tidak menarik. Cantik tapi kalau langsing banget serasa ada yang kurang.

Perempuan saya kira juga begitu. Untuk urusan fisik, mereka punya penilaian yang boleh jadi unik untuk menilai lelaki.

Ada perempuan, misalnya, yang sangat suka dengan lelaki yang bertato karena terkesan sangat bad boy dan pemberani. Pun ada juga perempuan yang sangat benci dengan lelaki bertato karena memunculkan kesan urakan.

Kali lain, ada perempuan yang suka pria dengan cambang, pun ada yang tidak. Ada perempuan yang suka lelaki berdada bidang dan berperut six pack ala model susu L-Men, pun ada pula yang justru lebih suka berperut dad bod dan njembling alias ala model susu Prenagen.

Penilaian ini tentu tak bisa dibenturkan dan tak bisa dibantah. Kita hanya bisa mempercayainya sebagai sebuah bentuk keanekaragaman perspektif.

Tadi sore, saya bertanya pada Prima, si perempuan bertampang Yayuk Basuki yang sebentar lagi menggantikan saya sebagai pemimpin redaksi di Mojok, tentang siapa yang paling cakep di antara seluruh personel Club Eighties. Ia menjawab dengan thas-thes tanpa tedeng aling-aling.

“Ya Lembu, lah,” kata Prima.

“Kok bisa Lembu?”

“Iya, Lembu. Coba aja kamu buka video klik ‘Gejolak kawula muda’, itu Lembu cakep banget.”

“Bukan Desta atau Vincent?”

“Enggak, Desta biasa, kalau Vincent itu tampangnya kayak blo’on-blo’on, gitu.”

Saya tentu saja tertawa dengan jawabannya sembari membayangkan tampang blo’on itu kayak gimana.

“Kalau Keanu Reeves sama Tom Hardy, lebih cakep mana?” tanya saya lagi.

Prima tampak diam sejenak. Agaknya ia sedang berpikir keras. Dua pilihan yang saya tawarkan memang sepintas lalu terasa cukup imbang.

“Tom Hardy!” Jawab Prima setelah berpikir sejenak.

Saya melirik Dafi yang ada di sebelah saya, “Kalau menurutmu, lebih cakep siapa, Daf?”

“Yo jelas Keanu Reeves,” jawabnya.

“Iya, aku juga begitu, jelas cakepan Keanu Reeves. Kok Prima bisa jawab Tom Hardy, ya?”

Saya kemudian beralih kembali pada Prima.

“Apa yang membuatmu menganggap Tom Hardy lebih cakep ketimbang Keanu Reeves?”

“Ya gimana ya, Tom Hardy itu kelihatan lebih lakik, kelihatannya lebih sedap dipandang, lebih enak dipeluk gitu.”

Lebih lakik. Itulah jawaban yang keluar dari mulut Prima.

“Tapi, Prim,” kata saya, “Kalau soal lakik, sebenarnya ada yang lebih lakik dari Tom Hardy.”

“Siapa?”

“Luhut Panjaitan!”

Exit mobile version