Sungguh, saya kok baru tahu kalau di belakang rumah paklik saya ada pohon jambu biji yang jambunya punya rasa ngaudubillah setan enaknya. Saya baru tahu tiga hari yang lalu, saat menemukan dua glundung jambu biji di meja makan di rumah nenek saya.
Ini sejenis bentuk penyesalan yang sungguh sukar untuk saya maafkan. Sebab, jarak rumah paklik saya dengan rumah saya hanya selisih satu rumah.
Maka, sebagai bentuk penebusan terbaik atas ketidaktahuan saya selama ini, saya tentu saja harus “menggasak” jambu-jambu di belakang rumah paklik saya itu.
“Ambil saja sana, wong ya jarang ada yang metik,” kata paklik saya sewaktu saya meminta izin untuk menggasak jambu-jambu miliknya.
“Itu genter (galah)-nya di belakang dekat jemuran,” lanjutnya sembari menunjukkan genter alias galah.
“Walah, Paklik, lha nggasak jambu kayak gini kok pakai genter, nggak ada seninya blas,”
“Lha njuk meh gimana metiknya?”
“Lha yo dipanjat tho mas, biar ada tantangannya, ada adrenalinnya, dan yang jelas, ada seninya,” kata saya.
“Yo wis, saksakmu, hati-hati.”
Sejak kecil, saya memang sudah terbiasa memanjat apa saja, dari memanjat pohon, sampai memanjat sosial. Dengan rekam jejak per-panjat-an yang cukup mentereng, maka tentu tak akan susah bagi saya untuk memanjat pohon jambu milik Paklik saya yang tak seberapa tinggi itu. Pantang bagi saya untuk memetik buah dengan galah. Sangat tidak menantang. Sangat tidak “Hidup seperti Larry”.
Saya langsung memasang kuda-kuda. Mencoba memetakan pang alias dahan mana saja yang kira-kira potensial dan bisa dijadikan pegangan untuk manjat.
Begitu selesai memetakan pang, saya segera memulai langkah awal saya. Dengan kesigapan dan keterampilan serupa kukang, saya langsung meraih salah satu dahan. Hingga kemudian… Mak sengkring!!!
Bajangkrek setan alas, saya menjerit ngilu. Dahan pertama yang saya raih ternyata menyembunyikan ulat bulu di baliknya. Tangan saya langsung merah ngilu, perih, dengan beberapa bulu ulat nampak tertancap di jari-jari tangan saya.
“Taeeeeek!!!” aaya berteriak spontan.
Demi mendengar kegaduhan kecil di belakang rumahnya, Paklik saya segera keluar. Ia meringis, saya pun meringis.
Pada akhirnya, saya pun mengalah dengan keadaan. Saya lantas memetik itu jambu dengan galah. Cara memetik buah yang di mata saya sangat tidak lelaki. Sangat tidak nyeni.
Namun, rasa ngilu pada tangan akibat menyentuh ulat bulu membuat saya berpikir, kelihatannya, memang tidak semua hal harus dilakukan dengan cara yang nyeni.