Mendukung Penuh Tes Psikologi Sebagai Syarat Kepemilikan SIM

SIM, test psikologi, polisi mojok.co

SIM, test psikologi, polisi mojok.co

MOJOK.CO Banyak orang Indonesia yang membikin SIM karena semata takut kena tilang, bukan untuk membuktikan bahwa mereka memang pantas diberi izin untuk berkendara. Tes psikologi diharapkan menghasilkan para pengendara yang paham berkendara dan juga bertaqwa, mandiri, dan cendekia.

Jika Anda akhirnya kepikiran untuk punya SIM, sekarang lebih baik Anda buka buku atau internet untuk belajar. Untuk mendapat SIM, selain harus lolos tes kesehatan, keterampilan, dan tertulis, Anda juga harus lolos tes psikologi. Harapannya tentu saja agar para orang yang lolos SIM memang orang yang mahir dan layak berkendara.

Dimasukkannya tes psikologi sebagai rangkaian tes untuk mendapatkan SIM mendapat reaksi negatif dari banyak pihak, dengan dalih bahwa tes yang sebelumnya sudah susah akan makin susah. Tingkat kesulitan yang bertambah akan membuat makin banyak orang gagal mendapat SIM.

Pertanyaannya, gunanya tes apa kalau kalian minta harus lulus?

Pernahkah Anda baca buku manual motor yang Anda beli? Kalau pernah, berapa jarak yang dianjurkan untuk menyalakan lampu sein sebelum berbelok? Atau ingat-ingat lagi, berapa kali Anda diteriaki orang karena menyalakan sein terlalu mendadak atau memaki orang yang berkendara di tengah-tengah jalur? Itulah gunanya tes psikologi untuk mendapatkan SIM.

Di negara ini, potensi orang menambah motor di rumahnya dalam 2 tahun jauh lebih besar dari meningkatnya kemampuan berkendara dalam 5 tahun. Saya nggak berlebihan bilang ini, karena di kota besar saja masih banyak orang belok ke kanan dengan cara memotong dari kiri dan menghidupkan sein ketika berbelok, bukan sebelum belok.

Tes untuk mendapatkan SIM memang harusnya susah, karena ini menyangkut keselamatan banyak orang. Saya melihatnya begini, ketika Anda dapat SIM, itulah saat di mana Anda sadar bahwa Anda adalah orang yang tidak berpotensi membunuh orang lain di jalan. Kecelakaan memang sesuatu yang tidak bisa diprediksi, tapi masih bisa dihindari. Tes psikologi punya tujuan bahwa Anda memang cukup waras untuk berkendara.

Kenapa kewarasan penting? Begini. Kita terhibur melihat video ibu-ibu yang belok kanan padahal seinnya ke kiri. Kita bangga bisa motoran di Gejayan tanpa pakai helm. Saya masih melihat banyak orang ngebut di perempatan yang rame, dan mobil yang jalan di tengah-tengah dengan kecepatan pelan. Itu jelas tanda bahwa di jalan penuh orang tidak waras yang kebetulan punya duit lebih untuk beli kendaraan.

Ketidakwarasan itu dirayakan dengan bahagia. Kita bangga lolos dari maut, kita tertawa keras melihat tingkah ibu-ibu itu, kita menggerutu dengan tingkah pengendara mobil itu. Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Kita sendiri sebenarnya dalam hati tahu bahwa tes SIM yang lengkap akan menghasilkan pengendara yang memang mahir dan paham cara berkendara. Angka kecelakaan akan bisa ditekan jika pengendara paham cara berkendara. Sekali lagi, paham. Tahu cara menghidupkan sein, kapan memasukkan gigi dan kapan mengatur gas itu bukan berarti dia paham berkendara.

Tapi tes psikologi tersebut sudah direspon dengan kalimat nanti banyak yang gagal tes. Ya kalau memang skill berkendaramu ampas, ya lebih baik nggak dilolosin. Perkara mobilitasmu terganggu karena kamu tidak punya SIM dan transportasi umum yang disediakan pemerintah ampas, ya maki saja pemerintah, jangan polisi.

Meski ujungnya tiap tes itu bayar sendiri-sendiri, itu urusan lain. Harusnya kita paham lah kalau sudah berurusan dengan polisi, pasti ujungnya boros. Kalau nggak boros uang, ya boros kesabaran. Ini masih ngurus SIM, coba kapan-kapan gitu kalau barangmu dimaling terus lapor polisi, kamu bakal ngerti kalau urusan SIM itu tingkat kesulitannya masih beginner.

Terima saja tes psikologi jadi salah satu tes yang harus ditempuh untuk mendapatkan SIM. Kita hidup di Indonesia sudah cukup lama untuk tahu bahwa tidak ada yang mudah di negara ini, bahkan untuk bertahan hidup sekali pun. Beli kendaraan hanya perlu duit, nggak ditanyain punya otak apa nggak, jadi kalau punya SIM dipersulit, anggap saja impas.

BACA JUGA Pengalaman Disunat oleh Kakak Sendiri dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version