Memahami Logika Jokowi saat Ingatkan Datangnya Gelombang Kedua Pandemi

MOJOK.COGelombang pertama pandemi corona aja masih belum ketemu ujungnya kok sudah ngomongin gelombang kedua? Ini bijimana logikanya sih, Pak Jokowi?

Tidak ada keledai yang jatuh pada lubang yang sama.

Barangkali pepatah itu yang sedang dipegang betul-betul oleh Pemerintahan Jokowi baru-baru ini. Tentu saja dong, siapa sih yang mau mengulangi kesalahan ketika posisi sedang berada di pucuk tertinggi pimpinan dan dilihat oleh banyak orang?

Tidak ingin mengulangi kesalahan meremehkan corona kayak pada awal tahun, Presiden Jokowi pun dengan tegas mewanti-wanti akan datangnya gelombang kedua virus corona jenis baru.

“Kita tetap harus waspada kemungkinan dan antisipasi kita terhadap risiko terjadinya gelombang kedua, second wave, dan masih berlanjut sekali lagi ketidakpastian ekonomi global di tahun 2021,” kata Presiden Jokowi.

Masalahnya, pernyataan ini sebenarnya cukup membingungkan karena dua hal.

Pertama, angka positif COVID-19 di Indonesia sudah menembus angka 100 ribu. Angka yang meningkat di saat kampanye new normal udah muncul dari pemerintah dan program rapat-rapat ke hotel-hotel di luar daerah di Indonesia akan dilangsungkan.

Kedua—lebih fundamental lagi—gelombang pertama aja masih belum ketemu ujungnya kok sudah ngomongin gelombang kedua? Ini bijimana logikanya sih? Bingung koprol dua belas deh rasanya.

Hal ini juga disayangkan oleh ahli epidomologi, Pandu Riono, yang membaca bahwa jumlah total mereka yang terinfeksi itu belum terdata secara keseluruhan.

“Tidak tepat. Puncak gelombang pertama saja belum terlihat,” katanya seperti dilansir dari Kompas.com.

Dari logika ini, kita bisa menaksir bahwa yang dimaksud gelombang pertama adalah ketika angka positif tidak bertambah lagi selama beberapa waktu. Di Jakarta penurunan angka positif memang sempat terjadi, tapi jaraknya hanya beberapa hari lantas naik lagi.

Kalau kita mau ambil contoh di Wuhan, Cina, proses penurunan jumlah kasus memang pernah terjadi secara signifikan—artinya angka positif yang berhenti. Lalu dalam jangka waktu satu atau dua bulan tidak ada penambahan pasien baru lagi.

Uniknya, di Indonesia, netijen dan para ahli merasa ada kesan dipaksakan terjadinya situasi “normal” oleh pemerintah. Belum ada penurunan angka positif secara signifikan, namun tiba-tiba Pemerintahan Jokowi menghendaki pemberlakuan new normal.

Akibatnya, efek yang terjadi belakangan (sampai menembus angka 100 ribu kasus kemarin) sebenarnya bukan ancang-ancang mau datangnya gelombang kedua, tapi emang gelombang pertamanya masih terus naik.

Ibarat orang punya tanggungan bayar cicilan utang Bank. Pada tagihan pada bulan pertama belum bayar, tapi udah mikir untuk mempersiapkan pembayaran pada utang bulan kedua. Ya cicilan utang pada bulan pertamanya dikelarin dulu, Bambaaangk. Napa malah ngurus tagihan yang belum datang sih?

Gelombang pertama di pelupuk mata belum tampak, gelombang kedua di seberang lautan malah tampak. Sikap visioner yang bener-bener kepolen.

Namun, kalau tetap mau berprasangka baik terhadap pemerintah, bisa jadi gelombang kedua yang dimaksud Presiden Jokowi itu bukan berpatokan pada konsensus pada umumnya.

Jika pemahaman umum menyatakan gelombang kedua corona baru terjadi ketika gelombang pertama udah kelar, maka di Indonesia gelombang kedua ini jangan-jangan dimaksudkan pada kemunculan lahirnya klaster baru di tengah-tengah masyarakat.

Yakni klaster kelompok masyarakat yang percaya bahwa corona adalah konspirasi elite global, macam Jerinx dan—terakhir kemarin—Anji. Ya, beberapa pihak yang sudah menunjukkan gejala kemunculan klaster pemuja teori konspirasi.

Kalau soal perkara orang-orang kayak gitu sih, Pak Jokowi rasanya memang patut aja mewanti-wanti. Jangankan Pak Jokowi, masyarakat umum juga waswas dengan sikap masa bodoh dengan bahaya corona itu karena percaya ini semua settingan elite globak kok.

Lah gimana? Wong yang nggak percaya konspirasi aja suka lengah sampai betulan terinfeksi, apalagi mereka yang percaya teori konspirasi.

Nah untuk menghadapi orang-orang kayak gini, ada baiknya Presiden Jokowi nggak perlu pakai istilah gelombang pertama atau gelombang kedua deh untuk menggambarkan lonjakan kasus corona ke depan nanti. Soalnya, terasa kurang mewakili begitu.

Gimana kalau pakai istilah “tsunami” aja, Pak? Biar lebih cucok.

Pas banget kalau pakai istilah itu soalnya. Penanganan yang kocar-kacir, berantakan, semua sambat, plus jadi ada perasaan bahwa ini adalah bencana yang tak bisa dikendalikan manusia sehingga tidak pantas rasanya untuk mengkritik pemerintah. Soalnya, semua pihak menderita.

Lebih daripada itu, istilah ini juga efisien kalau dikutip wartawan ketimbang diksi “gelombang pertama” atau “gelombang kedua”. Misalnya, kita sematkan itu untuk pernyataan Pak Jokowi di awal tadi.

“Kita tetap harus waspada kemungkinan dan antisipasi kita terhadap risiko terjadinya tsunami…

… kedua, second tsunami.”

Yaelah, tetep bisa kena dua kali juga ternyata.

BACA JUGA Cara Terjitu Memprediksi Kondisi Negara: Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi, Lalu Lihat Sebaliknya atau tulisan soal Pandemi lainnya.

Exit mobile version