Maulid Nabi: Alasan Saya Sebagai Umat Katolik Mengagumi Nabi Muhammad

Maulid Nabi Muhammad MOJOK.CO

MOJOK.COSelamat Maulid Nabi Muhammad SAW. Berikut alasan saya, umat Katolik, bisa mengagumi sosok Nabi Muhammad, pemimpin umat Islam.

Selamat Maulid Nabi Muhammad SAW. Semoga damai selalu menyertai umat Islam di seluruh dunia. Bukan hanya umat Islam. Saya rasa, hari bahagia, hari penuh keberkahan itu layak dirasakan semua umat manusia. Pada dasarnya, kebahagiaan dan berkah keselamatan memang harus bisa dirasakan saya, kamu, kita semua.

Bagi saya, umat Katolik, hari kelahiran nabi selalu dirayakan begitu semarak. Bahkan sejak jauh-jauh hari, aura Natal itu sudah terasa. Di mana-mana terdengar lagu Natal, pohon Natal mulai dijajakan di pusat-pusat perbelanjaan. Perayaan yang meriah, meski terkadang hanya sampai batas seremonial semata.

Mengapa? Karena pesan Natal, yaitu saling memberi kebahagiaan dan keselamatan sendiri tak selalu diamalkan oleh umatnya. Yang penting bisa liburan, dapat angpao, beli kado Natal, makan enak, pesta, lalu menyambut tahun baru. Ingar-bingar dan gegap-gempita itu hanya pesta. Sudah, begitu saja.

Pada titik tertentu saya merasa jengah. Seremonial boleh saja dilakukan. Namun jangan sampai jadi pesan dominan. Pesan Natal yang perlu diamalkan sepanjang tahun. Dalam aura kesederhanaan. Hening dalam doa, meriah dalam hati. Saya rasa, atas kesederhanaan itu, saya mengagumi Maulid Nabi Muhammad SAW.

Hampir tidak ada ingar-bingar di sana. Tanggalan di kalender tetap berwarna merah. Libur satu hari dan pada sore harinya, dilakukan arak-arakan atau doa bersama. Sudah, cukup begitu saja. Tanpa pesta yang berlebihan. Hmm…atau mungkin saya saja yang introvert dan tidak suka keramaian? Hmmm…mungkin saja.

Kekaguman saya tidak sampai pada kesederhanaan Maulid Nabi saja. Rasa kagum itu juga tersemat kepada sosok Nabi Muhammad SAW itu sendiri.

Satu hal yang paling saya kagumi adalah sifat welas asih. Umat Katolik punya satu hukum utama yang disebut sebagai Hukum Cinta Kasih. Intinya, hukum ini mengajarkan kepada umat untuk mencintai sesama seperti mencintai dirimu sendiri. Dan tentu saja, termasuk mencintai umat dari agama dan kepercayaan lain. Sifat welas asih ini mirip seperti Nabi Muhammad.

Ketika berdakwah di Thaif, Nabi Muhammad ditolak oleh banyak orang. Bahkan, tidak hanya penolakan verbal saja. Orang-orang Thaif yang tidak suka melempari Nabi Muhammad dengan berbagai macam benda. Dari batu, kotoran, hingga kayu. Nabi tidak membalas, bahkan ketika para malaikat penjaga gunung siap menghabisi orang-orang jahat di Thaif.

Nabi Muhammad melarang para malaikat untuk memberi hukuman. Beliau mendoakan anak dan keturunan dari orang-orang jahat itu supaya di masa depan bisa menerima dan memeluk  Islam. Sisi welas asih ini sungguh orisinal. Mengampuni orang yang menyakiti diri kita itu susahnya minta ampun. Apalagi ketika tubuhmu sampai luka dan hatimu panas. Iklas itu berat adanya.

Selain welas asih, saya juga belajar toleransi dari hari Maulid Nabi Muhammad ini. Lewat Ahmad Khadafi, redaktur Mojok, saya mendapatkan salah satu kisah sisi toleransi Nabi. Dikisahkan Nabi punya seorang paman bernama Abu Thalib. Pamannya ini memegang kepercayaan yang berbeda dengan Islam yang tengah diwartakan oleh Nabi.

Meski agama yang dibawa keponakannya itu berbeda, Abu Thalib tak lantas membenci. Abu Thalib justru melindungi Nabi ketika mendapatkan ancaman. Perlindungan selalu disediakan Abu Thalib, sosok yang ditakuti.

Satu hal yang menarik. Nabi tidak pernah memaksa Abu Thalib untuk memeluk Islam. Nabi hanya mendoakan supaya hidayah itu datang. Meski memang, hingga akhir hayatnya, Abu Thalib tak pernah masuk Islam. Ini satu hal yang disayangkan oleh Nabi. Beliau bersedih karena paman yang amat ia kasihi meninggal dalam keadaan belum memeluk Islam.

Tidak memaksakan kehendak dan menghormati pilihan orang lain menjadi hal yang semakin lesap saat ini. Intoleransi, antara agama, antara kepercayaan, bahkan preferensi politik, semuanya menjurus kepada kekerasan dan kebodohan. Mengapa kita tidak meneladani Nabi? Lha wong contohnya saja sangat jelas dan pastinya selalu diajarkan sejak kanak.

Maulid Nabi Muhammad juga menjadi sesuatu yang istimewa buat saya, terutama ketika mengetahui ajaran Nabi untuk tidak berpikiran jahat. Curiga, meragukan ketulusan orang lain. Nabi mengajarkan saya, orang Katolik, untuk tidak suudzon, atau berburuk sangka. Satu keburukan lintas agama. Maksudnya semua umat beragama pasti pernah menyimpan perasaan jahat ini.

Suatu kali, Imam Bukhari pernah meriwayatkan Nabi pernah sangat marah kepada Usamah bin Zaid, salah satu cucu angkat. Pasalnya, Usamah bin Zaid meragukan niat orang lain, dalam hal ini lawan, untuk bertobat.

Suatu ketika, ketika tengah berperang, Usamah bin Zaid dan temannya berhasil memojokkan seorang tentara musuh. Ketika hendak diserang, dari mulut tentara musuh terdengar kalimat syahadat. Rekan Usamah menahan diri untuk tidak menyerang. Namun, Usamah tidak menggubrisnya dan menusukkan tombak ke badan tentara musuh.

Mendengar peristiwa itu, Nabi memanggil Usamah. “Apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Illaha Illa Allah?”

Usamah berkilah bahwa ia curiga si musuh mengucapkan syahadat hanya karena takut dibunuh, bahwa imannya palsu.

“Apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Illaha Illa Allah?”

Kemudian, dengan lemah-lembut, Nabi berkata kepada Usamah yang gemetaran dan mulutnya terkunci: “Kenapa engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau mengetahui apakah hatinya mengucapkan La Illaha Illa Allah secara ikhlas atau karena alasan-alasan lain?”

Usamah adalah saya, kamu, kita semua. Kecurigaan itu seperti udara yang kita hirup setiap saat. Berprasangka, memandang isi hati orang lain selalu berwarna hitam. Beda golongan, beda kepercayaan, beda pilihan politik, langsung dicurigai sebagai “calon pembuat masalah”. Bahkan sampai dimaki-maki dan disudutkan.

Pikiran manusia adalah senjata maha-dasyat. Semua kejadian, dirancang di dalam alam pikiran manusia. Semua kejahatan, dimulai dari alam pikiran manusia. Dan segala kebaikan, juga hidup di dalam alam pikiran manusia. Maulid Nabi mengajarkan kita untuk memilih hal terakhir. Kebaikan. Sangat sederhana.

Maulid Nabi, saya rasa bukan perkara perayaan saja. Peristiwa ini perlu diingat dengan sebuah kejelasan. Terutama bagi pemeluk agama lain, dan tentu saja muslim semua. Mengapa? Karena belajar hal-hal baik dari agama lain itu tidak salah. Inti kebaikan selalu sama. Tidak kurang, tidak lebih. Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, aliran kepercayaan, semuanya punya inti kebaikan.

Saling mempelajari tidak berarti melebur. Saling memahami tidak berarti menyatu. Saling mempelajari berarti bergandengan tangan saling menjaga, dengan pemahaman kebaikan masing-masing.

Selamat Maulid Nabi Muhammad SAW. Damai beserta kita.

 

Exit mobile version