Tahun baru. Saya dapat jatah libur akhir tahun empat hari. Tentu saja empat hari itu saya manfatkan betul-betul dengan ulang kampung ke Magelang dan kemudian menyusuri setiap jalanan kota. Ah, sebenarnya tak layak juga kalau disebut pulang kampung, wong ya Jogja-Magelang kan cuma satu jam perjalanan. Tapi yah, demi dramatisasi, anggap saja hal itu sah belaka.
Menghabiskan malam tahun baru di kota sendiri tentu hal yang istimewa. Ia setara seperti melaksanakan ibadah salat ied di halaman masjid di desa tempat masa Kecil kita bertumbuh.
Di Magelang, saya banyak motoran keliling kota. Tentu selalu ada hal yang berubah. Dan saya menemukannya perubahan itu banyak sekali. Satu yang tidak pernah berubah dari Magelang sampai sekarang adalah, ia masih tetap menjadi basis PDI Perjuangan. Ia masih tetap kandang banteng.
Sehari sebelum akhir tahun, Kalis pacar saya menyusul, ia katanya ingin juga merayakan malam tahun baru di Magelang.
Sembari menunggu malam, saya ajak dia berkeliling menikmati setiap sudut kota.
Dan seperti layaknya kandang banteng, di seluruh penjuru, semuanya penuh dengan bendera PDI Perjuangan.
Magelang, apalagi menjelang pemilu seperti sekarang ini memang merias diri menjadi Magelang yang lebih merah.
Di salah satu jalanan di bilangan Jagoan, Magelang Selatan, hampir seluruh kanan-kirinya terpasang bendera PDI Perjuangan.
“Di sini semuanya PDI (saya terbiasa menyebut PDI Perjuangan sebagai PDI saja), Lis,” ujar saya sembari menunjuk bendera-bendera serba merah yang terpasang di samping kanan dan kiri jalan.
Motor sengaja saya pelankan sagar saya bisa menikmati betapa merahnya daerah ini. Bendera PDI aneka ukuran, dari yang paling besar sampai yang terkecil saling berlomba menampakkan diri.
Kalis yang mungkin baru pertama kali melihat kampung yang semilitan Jagoan pun tak habis pikir.
“Baru pertama kali ini aku melihat ada kampung yang benar-benar markas PDI seperti ini,” kata Kalis.
“Magelang dari dulu memang PDI. Bahkan saking PDI-nya, kalau saja diperbolehkan, sekolah-sekolah di Magelang ini mungkin sudah punya mata pelajaran ke-PDI-an sebagai muatan lokal,” kata saya.
Kalis merenges.
Motor kami kemudian melaju ke arah Cacaban, Magelang Tengah. Di sini, mulai ada beberapa bendera partai lain. Tapi, tetap saja bendera PDI yang mendominasi.
Beberapa bangunan tampak sangat PDI, dalam artian bukan hanya memasang bendera, namun juga bercat merah dengan gambar banteng bermoncong putih yang seolah-olah berkata, “Sini kalau berani, coblos moncong putihku!”
Saya kemudian memacu motor ke arah Kaliangkrik. Menyeberang sungai Progo yang terkenal sebagai wahana rafting nomor satu di Magelang itu.
“Nah, kalau ini kita sudah mulai masuk daerah Kabupaten, daerah yang banyak pesantrennya. PDI-nya mulai nggak banyak, namun tetep solid. Kalau di sini, kelihatannya PKB yang unggul,” kata saya memberi kuliah singkat tentang demografi kepartaian di Magelang.
Saya kemudian menyanyikan lagu khas kampanye PKB yang dulu kerap dinyanyikan oleh anak-anak di kampung nenek saya di Kaliangkrik tiap kali mereka diajak ikut pawai PKB.
“Epiya iya iya, epiye iye iye…
“Aku milih PeKaBe wae…
“Nek awan tak jak pawe…
“Mbayare dhewe-dhewe…
“Ora ketung ngedol cawete…
“Mbokne…
Memasuki daerah Bandongan, ternyata dugaan saya meleset. PKB nggak banyak-banyak amat benderanya. Yang ada justru tetap bendera PDI.
Di salah satu ruas jalan raya Bandongan, tepat di tepi sawah samping jalan, saya bahkan menemukan semacam monumen PDI. Sebuah monumen bambu, dengan dengan patung banteng bertampang sangar di atasnya. Di depan sang banteng, ada patung tiga orang yang sedang menancapkan bendera PDI, seperti adegan penancapan bendera Amerika di Iwo Jima oleh tentara Amerika.
Tulisan di monumen itu gahar betul “Kami banteng kontheng, bukan banteng cengeng!” Sedangkan tulisan di baliknya tak kalah sangar: “Ora melang-meleng, tetep kandang banteng.”
Dahsyat. Di Bandongan, ternyata PDI tidak kaleng-kaleng.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan.
Sembari menikmati pemandangan persawahan yang menghijau, Kalis bertanya, “Mas, dengan kondisi yang sangat PDI kayak gini, kamu berani nggak nyaleg di sini lewat PKS?”
Saya tersenyum kecil.
“Lis, nyaleg itu cari suara, bukan cari perkara…”