Karena Jarang OTT, KPK Justru Dinilai Sukses oleh DPR

MOJOK.COMenurut DPR, KPK saat ini dinilai sudah berhasil mencegah korupsi. Indikasinya, karena Operasi Tangkap Tangan (OTT) jarang dilakukan. Hm, baiklah.

Jika ada lembaga negara yang unyu dan menggemaskan di negeri ini, maka jelas itu adalah DPR RI. Lagi dan lagi, DPR bikin komentar ajaib soal KPK. Menurut DPR, KPK saat ini dinilai sudah berhasil mencegah korupsi karena jarang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Sebentar, sebentar, mari kita cerna pernyataan itu dulu.

Hm, oke.

Pernyataan ini muncul dari Anggota Komisi III DPR RI, Supriansa. Menurutnya, karena sepanjang dua bulan ini (sejak Januari 2020) sudah jarang pejabat kena OTT KPK, maka bisa dikatakan Ketua KPK yang baru, Firli Bahuri, sukses mereformasi KPK menjadi lebih baik.

“Jangan diukur keberhasilan KPK dengan banyaknya OTT. Bahkan menurut saya, dengan jarangnya OTT itu berarti KPK justru berhasil melakukan pencegahan korupsi,” kata politisi dari fraksi Golkar ini seperti diberitakan law-justice.co.

Sebagai gambaran, capaian tahun ini sangat jomplang dengan capaian KPK pada periode yang sama di tahun 2019. Tahun lalu, sepanjang Januari-Maret 2019, KPK sedikitnya melakukan 4 kali OTT. Kalau tahun ini? Hm, KPK baru satu kali melakukan OTT.

Satu kali itu aja adalah OTT yang menjerat Wahyu Setiawan dan menjadikan Harun Masiku sebagai buron. Kasus terbaru soal Masiku itu aja merupakan kasus receh yang nggak penting-penting amat sebenarnya. Terutama kalau kita membandingkan kasus Djoko Susilo soal Simulator SIM atau Setya Novanto soal E-KTP.

Dalam prosesnya, OTT satu-satunya ini pun terkendala banyak masalah teknis. Mulai dari Masiku yang sukses kabur, petugas KPK yang dihalang-halangi saat melakukan OTT, sampai dua penyidik KPK yang melakukan OTT dikeluarkan dari KPK secara tiba-tiba.

Itu belum dengan bejibunnya persyaratan untuk melakukan penyadapan, penyidikan, penyelidikan, dan penyitaan. Karena semua proses itu harus izin dulu ke Dewan Pengawas KPK.

Tentu saja banyak orang merasa terkencing-kencing dengan logika ajaib DPR soal ini. Terutama mengenai parameter kesuksesan KPK menurut DPR bahwa… makin dikit koruptor yang ditangkap, berarti itu makin bagus.

Logika DPR ke KPK model gini sebenarnya tak jauh beda dengan pernyataan Tommy Soeharto ketika mengomentari soal kasus korupsi di era sekarang sangat banyak dibandingkan dengan era Orde Baru Pak Harto.

Hal ini, menurut Tommy, jadi tanda bahwa korupsi sekarang jauh lebih banyak ketimbang zaman bapaknya dulu.

“Faktanya membuktikan bahwa apa yang terjadi, kasus KKN atau korupsi paling utamanya, malah lebih parah di era reformasi hingga kini,” kata putra pendiri Partai Golkar pada 2018 silam.

Tentu saja, di era bapaknya masih berkuasa pelaku korupsi yang tertangkap sedikit sekali. Itu pun itungannya masih level kroco-kroco saja. Mungkin benar seperti kata Tommy Soeharto, korupsi di era Pak Harto memang dikit ketahuannya.

Padahal Pak Harto pernah juga lho bikin lembaga anti-korupsi pada Januari 1970. Namanya Komisi Empat. Tugasnya pun lumayan mirip dengan KPK yang kita miliki sekarang.

Bedanya, saat itu Komisi Empat tidak punya wewenang penindakan. Mereka cuma ngasih informasi dan saran aja kalau ada pihak-pihak yang dicurigai korupsi.

Lantas kepada siapa bocoran informasi ini disampaikan?

Hayaaa tentu saja ke the only one Pak Harto sendiri.

Jadi ngebayangin nggak sih kalau anggota Komisi Empat ngasih info dugaan korupsi ke Pak Harto.

“Pak, lembaga anu pada korupsi tuh,” kata Komisi Empat.

Pak Harto cuma senyum manis aja.

“Gimana, Pak? Mau sampeyan tindak nggak itu?” tanya Komisi Empat lagi.

Masih sambil tersenyum lalu tanya, “Kamu, siapa yang nyuruh tanya begitu?”

“Oh, nggak jadi laporan, Pak. Kami cuma salah lihat ternyata,” kata Komisi Empat keringetan lalu cabut.

Padahal baru beberapa bulan bekerja, Komisi Empat saat itu sudah menemukan dugaan korupsi di Pertamina, Bulog, dan Perhutani. Lantas informasi ini diserahkan ke pemerintah dengan hasil…

… yaaah, dicuekin aja.

….

Dih, dih, kasihan amat.

Nah, karena hasil temuan Komisi Empat sering diabaikan, maka wajar usia Komisi Empat cuma seumur jagung. Baru dibentuk Januari, eh udah bubar pada Juli 1970. Cuma tujuh bulan doang hidupnya. Ealah, masuk PAUD aja belum udah mati.

Meski begitu, dalam sejarahnya, zaman Pak Harto bukannya tak pernah mengungkap kasus korupsi sama sekali. Ada kok. Setidaknya kita pernah dengar nama Edi Tansil yang—sama seperti Harun Masiku—berhasil kabur pada awal 1990-an. Kaburnya totalitas banget lagi, soalnya masih ngilang sampai sekarang.

Namun, jika membandingkan data kasus korupsi yang diungkap zaman Pak Harto dengan zaman sekarang, sudah jelas sangat jomplang jumlahnya. Zaman Pak Harto kasus korupsi yang terungkap bisa dihitung jari. Itu pun hanya menjerat orang-orang yang berada di luar lingkaran Keluarga Cendana.

Sekarang coba bandingkan dengan KPK yang dari 2004 sampai 2019 menemukan 1.064 kasus korupsi. Dengan lembaga negara yang paling banyak kena adalah DPR/DPRD dengan 255 kasus sepanjang 15 tahun terakhir.

Dari perbandingan itu jelas sudah bahwa KPK saat ini gagal melakukan pencegahan korupsi, dan itu benar-benar terlihat begitu jauh dengan prestasi zaman Pak Harto yang “korupsi”-nya dikit itu.

Melihat betapa suksesnya Pak Harto dalam melakukan “pencegahan” kasus korupsi, ada baiknya DPR dan KPK sekarang meniru langkah-langkah Pemerintahan Orde Baru. Jadi kalau ada orang yang mau korupsi ya tinggal dikasih tahu aja. Diingatkan agar jangan korupsi. Jangan langsung ditangkap.

Namanya juga pencegahan. Iya kan?

BACA JUGA Penyidik yang Hampir OTT Harun Masiku Dikeluarkan atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.

Exit mobile version