Pentingnya Komunikasi dalam Hubungan karena Kita Bukan Deddy Corbuzier

MOJOK.CO Selain kesetiaan, kepercayaan, dan kejujuran, komunikasi dalam hubungan tetap menduduki peringkat pertama yang harus diperjuangkan. Cieeee~

Ini terjadi saat saya masih duduk di bangku SMP. Seorang kawan menyukai kawan lainnya dan ingin menyampaikan perasaannya dengan segera. Surat cinta pun ditulis. Tapi, siapa penulisnya? Teman saya yang justru berbeda kelas—yang dianggap lebih jago menulis surat. Lah?!

Si kawan-yang-jatuh-cinta duduk diam di sudut meja, membiarkan perasaan cintanya ditafsirkan lewat kata-kata oleh orang lain. Saya heran: seberapa yakin dia bahwa perasaannya seluruhnya akan tersampaikan melalui orang lain dan bukannya dengan komunikasi yang ia bangun sendiri?

Sejak SMA hingga kuliah, saya pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Kami sangat berbeda, meski ada beberapa hal yang membuat orang-orang yakin kami diciptakan untuk satu sama lain. Saya merasa dia adalah orang yang baik, sementara dia yakin saya adalah perempuan yang asyik-asyik saja diajak berkompromi.

Suatu hari, malam minggu tiba. Saya berniat menanti pesan masuk darinya yang mengabarkan dia akan datang bertemu, seperti semua teman kos saya lainnya. Belum sempat membuka hape, saya memutuskan berselancar di Facebook dengan laptop hanya untuk menemukan sebuah komentar teman laki-laki kekasih saya yang berbunyi, “Nanti nggak malam mingguan?”—yang kemudian dibalas dengan penuh percaya diri oleh si pacar: “Nggak, nanti mau nonton anime. Lia bukan tipe yang ribet harus malam mingguan, kok.”

Saya membacanya dengan sedikit tertohok. Memang benar, saya bukan perempuan yang mengamini bahwa malam minggu adalah malam suci semua pasangan di dunia, tapi bukan berarti saya tak ingin juga turut ‘merayakannya’ bersama pacar, kan? Dan lagi, kenapa dia bisa seyakin itu saya tidak menunggunya datang untuk malam mingguan?

Di dunia kerja, saya bertemu pasangan yang menarik. Keduanya orang baik dan tampak saling percaya satu sama lain. Suatu hari, si pria didekati seorang perempuan yang mengaku ingin berteman. Dalam beberapa kesempatan, si perempuan basa-basi bertanya, “Kita ngobrol begini, apa pacarmu nggak cemburu?”

“Ah, tenang saja,” jawab si pria, “pacarku itu bukan tipe pencemburu, kok. Hal seperti ini bukan masalah besar baginya.”

Yang tidak diketahui pria tadi adalah: kekasihnya baru saja bercerita pada saya betapa ia sesungguhnya terganggu dengan keberadaan teman perempuan kekasihnya yang hampir setiap hari mengajaknya bicara lewat chat—pagi dan sore.

Oh, dan tak akan saya lupakan sebuah kisah teman saya yang lain: ia menahan jengkel setiap kali pacarnya kentut di depannya karena baginya hal itu terasa jorok dan tak pantas dilakukan. Tapi, apakah ia mengatakan keberatannya pada sang pacar? Tentu tidak—karena ia cenderung merasa “nggak enak dan nggak tahu gimana ngomongnya”.

Apa yang menjadi fokus saya pada keempat kisah di atas—dan banyak cerita asmara lainnya—adalah munculnya missing link yang sebenarnya tampak begitu terang. Di kasus pertama, teman saya yang jatuh cinta memang belum secara resmi menjalin hubungan, tapi ia sudah ‘melanggar’ aturan pertama dalam hubungan—setidaknya bagi saya.

Mencintai seseorang—dan memutuskan untuk mengakuinya—membutuhkan kejujuran. Setelah bulat tekad untuk menyampaikannya, komunikasi menjadi jembatan terbesar. Tentu saja, pelakunya harus dirinya sendiri, bukan orang lain. Lah, kalau perkara menulis surat cinta—alias menulis perasaan—saja dia sudah menyerahkannya pada orang lain, lalu bagaimana dengan komitmen hubungan mereka kalau nanti bisa terbangun? Mau diwakilin, gitu, pacarannya? Hadeh!

Kasus kedua dan ketiga, kalau diamati, memiliki pola yang sama. Satu pihak dalam sebuah hubungan yakin betul bahwa pihak lainnya akan bersikap A, sementara pihak lainnya merasa berhak bersikap B. Saya memutuskan diam saja saat mengetahui kekasih saya merasa saya tak perlu malam mingguan, padahal saya ingin sekali bertemu setelah berhari-hari sebelumnya kami sibuk sendiri-sendiri dengan tugas kuliah. Pertemuan kami tak terjadi malam itu, dan malam minggu berikutnya, yang kemudian justru membuat saya sebal dan uring-uringan.

Teman saya, di kasus ketiga, juga tetap diam dan berusaha menunjukkan sikap biasa-biasa saja saat mengetahui pacarnya berteman dengan si kawan perempuan. Padahal, diam-diam, dia tak henti-henti menangis dan berasumsi jelek setiap kali pacarnya menerima pesan pendek dari kawannya tadi. Tak jarang pula dia berpikiran negatif demi mengimbangi perasaan cemburu: apakah dia jauh lebih baik dariku? Apakah dia jauh lebih menyenangkan dariku?

Selanjutnya? Ya sudah, perang dunia pertengkaran pun pecah.

Kisah keempat adalah contoh paling sederhana soal minimnya komunikasi dalam hubungan. Teman saya keberatan pacarnya kentut di depannya, tapi pacarnya merasa bahwa ia baik-baik saja dengan keadaan ini. Apakah kentut membuat teman saya tidak mencintai pacarnya? Tentu saja tidak—ia hanya ingin pacarnya lebih bisa menempatkan diri dan, sayangnya, ia tidak mengomunikasikannya dengan baik.

Selanjutnya? Ya sudah, perang dunia pertengkaran pun pecah (lagi). Gara-gara kentut!

Tuntutan kita (hah, kita???) pada kekasih soal tingkahnya yang tak sesuai harapan memang bisa terjadi kapan saja, terutama saat kita (hah, kita???) akhirnya menyadari bahwa komunikasi tak dibangun sebelumnya. Daripada datang dan bicara empat mata (delapan mata kalau kita pakai kacamata, hehe!), akan jadi jauuuuh lebih mudah bagi kita untuk berasumsi dan hidup dalam pikiran-pikiran sendiri.

Padahal, FYI aja nih, Pemirsa: pikiran-pikiran bisa jadi senjata pembunuhan yang paling ampuh di dunia ini. Pikiran-pikiran datang dalam bentuk asumsi (“Jangan-jangan dia…”) ataupun labeling (“Dia egois banget, sih!”)  yang bisa menumpuk di titik jenuh dan meledak dalam pertengkaran.

Di tengah-tengah argumen ini, keyakinan semacam “Ternyata kita memang nggak cocok” atau “Kamu ternyata nggak seperti yang aku duga” pasti akan muncul. Padahal, pertanyaan awal tadi bisa dilempar keras-keras pada kita semua—saya, teman-teman saya, juga kamu: memangnya situ sudah mengomunikasikan semuanya jelas-jelas pada pasangan? Memangnya situ sudah benar-benar memaksimalkan komunikasi dalam hubungan?

Selain kesetiaan, kepercayaan, dan kejujuran, tak ada lagi yang lebih penting dari komunikasi dalam hubungan. Kamu mungkin merasa pasanganmu tidak memahamimu, tapi—hey—bagaimana kalau sebenarnya hal sebaliknya juga terjadi: kamu tak memahami pasanganmu?

Akui sajalah, hubunganmu dan pasangan adalah hubungan dua individu yang berbeda dan perlu bicara, bukannya hubungan antara Deddy Corbuzier dan penonton random di acara sulap yang ujung-ujungnya beradegan ‘membaca pikiran’….

Exit mobile version